MUJAHIDDAKWAH.COM, JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, menduga sebenarnya kecurangan di pemilu sudah dirancang sejak lama. Namun saat itu, Presiden Jokowi yang masih satu gerbong dengan PDIP menyiapkan rancang bangunnya untuk memenangkan capres nomor urut 03, Ganjar Pranowo.
“Kami berpandangan ini rancangan sudah lama, ketika Pak Jokowi satu bangunan dengan PDIP, dan diperuntukkan untuk rancang bangunnya begitulah ya, untuk partai-partai yang mensupport Pak Jokowi,” ucap Feri dalam talkshow kumparan, Info A1, yang tayang Jumat (23/2).
Dalam film “Dirty Vote” itu pun, kata Feri, ia sempat menyinggung beberapa kasus, termasuk kasus Pj Bupati Sorong yang diminta meneken MoU untuk memenangkan Ganjar. Namun tiba-tiba arah politik Jokowi berubah tajam jelang pendaftaran capres-cawapres.
“Lalu yang tersisa semua ini diperuntukkan untuk keinginan Pak Jokowi. Dan kita ada bukti rekaman, video yang menyebutkan mereka ditugaskan untuk memenangkan 02. Jadi ada peralihan kepentingan di masa akhir. Apakah itu disadari oleh Pak Ganjar dan timnya kami tidak tahu, tapi masih ada tuh sisa-sisanya,” kata Feri.
“Kami menduga memang ini sudah dirancang lama, awalnya tidak untuk anak Pak Presiden, tapi belakangan itu semua total untuk 02,” imbuhnya.
Feri juga mengungkapkan, saat Pilpres 2019 lalu, kecurangan yang dilakukan Jokowi tak terlalu terlihat karena ia maju sebagai calon petahana. Sebagai petahana, jika ada keterlibatan kekuasaan atau potensi ‘menyalahgunakan kekuasaan’ pasti terlihat namun akan dianggap sebagai keistimewaan presiden saja.
“Nah sekarang beliau tidak lagi peserta, tapi anak beliau. Ini problematikanya. Tidak banyak negara sistem presidensial yang membuka ruang kepada anaknya ketika menjadi petahana,” ungkapnya.
Dengan begitu, lanjut Feri, publik lalu melihat bagaimana presiden menggunakan fasilitas negara bukan untuk kepentingan dirinya, melainkan untuk anak. Inilah yang membuat Feri khawatir karena menurutnya tak seharusnya seorang presiden membudayakan nilai-nilai nepotisme yang sudah ditinggalkan usai reformasi.
“Mungkin Pak Jokowi lupa masih ada UU yang berlaku, UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Di dalam ketentuannya disebutkan bahwa penyelenggara negara di dalamnya termasuk presiden tidak boleh menggunakan kuasa dan fasilitas untuk kepentingan keluarga dan kroninya,” tutur Feri.
Ia menyebut, mungkin orang bisa berkata tak masalah dengan manuver politik Jokowi. Meski dalam hati, Feri yakin, ada banyak pertanyaan di hati mereka.
“Untuk urusan Pak Jokowi sendiri sebagai penyelenggara negara harusnya patuh pada UU. Nah UU ini menjadi patokan dan lama kelamaan mohon maaf, terutama di periode Pak Jokowi yang kedua, ini tergerus luar biasa. Harus diakui,” kata dia.
Feri juga menyoroti hasil hitung cepat atau quick count yang memperlihatkan suara Prabowo Subianti-Gibran Rakabuming Raka meroket. Menurutnya data itu hanya data di atas kertas yang merupakan bagian dari kecurangan karena telah dimanipulasi.
“Saya sering menggunakan istilah, kalau sleeding tackle di sepak bola itu biasa. Itu bagian dari keindahan permainan. Bahkan tangan Tuhan Maradona pun bagian dari keindahan permainan. Tapi yang tidak boleh itu adalah pengaturan skor permainan,” pungkasnya.
Laporan: Media Center Pejuang AMIN