Agresi Israel belum juga selesai. Terhitung sejak 7 Oktober 2023 hingga hari ini telah memasuki bulan ke-6 peristiwa genosida telah memakan korban yang tidak sedikit. 31 ribu jiwa telah melayang, nestapa Palestina hingga kini meski menjadi buah bibir masyarakat , namun realitanya belum ada yang kuasa untuk menghentikan kejinya agresi Israel terhadap Palestina. Pernahkah kita bertanya, mengapa?
Sebuah ironi memang, ditengah gencarnya seruan organisasi perdamaian dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 1946 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan perdamaian dunia juga diikuti pula dengan semakin meluasnya wilayah serangan dan genosida yang terjadi di Paletina.
Tidak dapat terhitung lagi, berapa banyak ledakan , dentuman bom dan kehancuran demi kehancuran yang melanda negeri Syam, Palestina.. Sekali lagi kita bertanya, apa gunanya dewan keamanan PBB saat genosida membumihanguskan bumi Palestina?
Kita hanya bisa menyaksikan melalui layar kaca masing-masing bagaimana anak-anak bertahan hidup ditengah kelaparan yang mendera. Kita sulit membayangkan bagaimana dahaganya bayi-bayi mungil yang terlahir tanpa air susu yang harus diganti dengan isapan buah kurma.
Kita menyaksikan betapa peliknya kehidupan di sana hanya dengan tanaman kaktus sebagai pengganjal perut yang diiris tipis oleh sang ayah dan dibagikan untuk seluruh anggota keluarga. Bagaimana mungkin kita masih bisa mengeluh saat Palestina mendidik kita dengan pesona iman dan tegarnya berjuang?
Nestapa palestina yang kita saksikan di media online dan media sosial hari ini seolah-olah hanya sekelumit kisah pahit yang sekadar berlalu saja. Turut sedih tanpa aksi peduli.
Sulit bagi kita menemukan ledakan dukungan untuk setidaknya bersama-sama menunjukkan empati kepada Palestina dengan cara boikot produk anti Israel.
Pada realitanya, kita semakin terdesak dengan gaya hidup konsumtif yang berujung pada perilaku hedonis terhadap harta bahkan tahta.
Saat tragedi berdarah genosida masih lalu-lalang di media sosial, kita harus disibukkan pula dengan carut-marut demokrasi nusantara akibat kontestasi politik yang mengkhianti asas jujur dan keadilan.
Lebih menyedihkan lagi, betapa kotor tangan-tangan penguasa yang mendurhakai amanat pancasila dan tidak menjunjung tinggiya. Mengapa itu terjadi? Lagi-lagi karena syahwat kekuasaan.
Pemilihan umum yang idealnya berasas pada nilai-nilai LUBER (langsung, umum, bebas dan rahasia) kini, hanya sekadar simbolis semata yang digaungkan oleh Komisi Pemilhan Umum agar masyarakat terdidik dan menentukan pilihan yang terbaik untuk bangsa.
Nyatanya, kecurangan sistematis dan anomali proses politik Indonesia telah mencoreng nilai-nilai adab dan moral yang selalu dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia. Masyarakat yang diperdaya dengan kuasa , selipan amplop putih berisi sekian rupiah, faktanya telah menjatuhkan harga diri manusia sebagai makhluk yang berbudi pekerta yang luhur.
Selanjuntya, apa yang akan terjadi pada negeri seribu pulau ini jika amanat konstitusi dibiarkan untuk terus dilanggar dan dikhianati? Aapa yang terjadi pada generasi mendatang, jika kepentingan kekuasaan mengalahkan tingginya nilai-nilai kejujuran dan keadilan?
Riuhnya demokrasi Indonesia dengan tindakan rusuh para elite politik hingga masyarakat biasa, mengajarkan dan menyadarkan kita tentang kekuatan dan integritas bersama untuk bangsa yang masih sangat jauh dari kata sempurna.
Sebaliknya, Palestina yang terus mendidik kita untuk berjuang mempertahankan negeri hingga nyawa menjadi taruhan, dan bertahan sampai titik darah penghabisan.
**********
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Penulis: Fauziah Ramdani, S.Sos., M.Si
(Penulis Buku, Dosen, Kontributor mujahiddakwah.com, Mantan Ketua Forum Muslimah Dakwah Kampus Indonesia dan Mahasiswa S3 Dakwah & Komunikasi UIN Alauddin)
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)