Sejak masuk era Renaisans pada abad ke-17, kemajuan bangsa Barat dalam bidang keilmuan secara gradual memang merupakan fakta yang tak terbantahkan, bahwa memang benar bangsa Barat mulai bangkit dan mengalami pencerahan ketika berhasil menggulingkan otoritas agama (gereja) yang dogmatis serta menjunjung tinggi rasionalitas. Agama bagi masyarakat Barat yang tercerahkan tidak lain hanyalah kumpulan mitos, dongeng, khayalan, dan fiksi yang didasarkan pada keyakinan buta yang dogmatis, dimana ia diasumsikan bertentangan dengan cara berpikir rasional kritis serta menjadi penghalang bagi perkembangan ilmu pengetahuan, oleh karena itu era ini juga dikenal dengan Age of Reason.
Kalau ditilik lebih mendalam, sejatinya watak peradaban Barat itu memang irreligius sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhammad Asad aka Leopold Weiss dalam Islam at the Crossroads bahwa “Western is Irreligious in its very essence”. Agama dalam hal ini Kristen tidak pernah benar-benar meresap ke dalam peradaban Barat, malah justru Kristen yang ter-Barat-kan (westernized), dimana embrio dari peradaban Barat adalah Yunani “Ionia is the craddle of Western Civilization” yang memang mendasarkan padangan hidupnya pada falsafah materialisme (kebendaan).
Dimana lebih lanjut Muhammad Asad menjelaskan bahwa Kristen (Katolik) sebagai agama yang bersifat dogmatis dan absolutis yang menekankan aspek spiritual begitu membenci hal yang bersifat keduniaan atau kebendaan (material), dimana Kristen memposisikan hal-hal yang bersifat kebendaan dan keduniaan sebagai kehinaan dengan adanya kredo bahwa setiap manusia lahir dalam keadaan berdosa (sinful) serta kepatuhan pada kecenderungan material (jasad) adalah suatu dosa yang harus dibebaskan dengan jalan asketisme atau rahbaniyya. Sedangkan cara pandang integral antara materialisme yang dalam hal ini adalah Barat dan spiritualisme yang dalam hal ini Kristen menurut Alija Ali Izetbegovic dalam Islam Between East and West, adalah bertentangan secara diametral.
Artinya pergolakan dan pemberontakkan yang terjadi di Barat terhadap agama pada era Renaisans sejatinya merupakan akumulasi permusuhan dari peradaban Barat itu sendiri terhadap agama, sehingga menjadi suatu keniscayaan tatkala Barat bangkit pada Era Renaisans untuk menolak agama (Kristen) yang diasumsikan hanya berurusan dengan kepercayaan yang merupakan ranah privat, serta tidak mengizinkan agama terlibat dalam ruang publik dengan menetapkan cara pandang yang Sekular yang berteraskan falsafah Humanisme.
Berdasarkan hal ini bisa jadi Sekularisasi atau penanaman paham Sekularisme adalah suatu hal yang patut terjadi di Barat, karena memang pengalaman bangsa Barat terhadap agama dipenuhi dengan kejahatan dan kebiadaban, tapi hal ini bisa tidak berlaku bagi bangsa atau peradaban lain. Bagi Islam misalnya, bahwa tiada pemisahan dan pertentangan antara aspek material dan spiritual, dunia dan akhirat, jiwa dan raga, sakral dan profan, maupun ilmu dan iman, semuanya bersifat menyatu padu yang mencirikan suatu pandangan kesatuan atau Tauhidic yang merupakan asas fundamental dari peradaban Islam.
Sedangkan dalam hal ini Sekularisme diartikan sebagai suatu paham yang menihilkan peran Tuhan (atau agama) dari dunia, yaitu “disenchantment (entzauberung) of nature”. Disini terlihat adanya anggapan (presupposition) bahwa Tuhan itu hanya sekedar ilusi dan khayalan dengan dipilihnya kata “enchant” yang memiliki makna mempengaruhi dengan sihir (lihat misalnya dalam Merriem-Webster Dictionary entry “enchant”), yang mana Tuhan disamakan dengan ilusi yang disebabkan oleh sihir, sehingga kata “dis-enchant” berarti menihilkan atau menghapuskan jejak sihir itu, atau membebaskan pikiran manusia dari ilusi Tuhan atau agama (free from illusion). Tuhan dan agama dalam hal ini secara jelas dihinakan dengan disamakan seperti ilusi sihir yang ditanamkan secara doktriner oleh gereja. Demikian Sekularisasi bermakna menghapus Tuhan dan agama yang merupakan ilusi serta khayalan manusia tersebut dalam melihat alam. Hal ini menurut Max Weber dalam The Sociology of Religion mencirikan pandangan alam masyarakat modern yang bertentangan dengan masyarakat tradisional yang justru tenggelam dalam ilusi agama “the world remains a great enchanted garden”.
Pandangan alam Sekuler ini mengakar pada setiap relung kesadaran masyarakat Barat, yang darinya mereka mengembangkan skema konseptual keilmuan untuk menjabarkan realitas alam semesta yang bebas Tuhan. Menurut Seyyed Hosein Nasr dalam Man and Nature bahwa orang-orang Barat telah berusaha menghindari hal-hal yang bersifat metafisik untuk berpihak kepada yang fisik. Sebagai suatu usaha yang dijalankan secara sistemik, sekularisasi menurut Holmes Rolston dalam Science and Religion: A Critical Survey, dilakukan dengan menolak secara programatik kategori-kategori (causa) formal dan final yang merupakan medan makna dalam setiap penjelasan ilmiah mereka, bahwa ilmu pengetahuan (sains) berhenti dari melakukan pencarian makna di balik fenomena.
Implikasi dari cara pandang Sekuler terlihat dari beberapa bidang keilmuan yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh dan ilmuan di Barat, baik dalam bidang sains alam maupun sosial. Pierre de Laplace misalnya, seorang astronom Perancis yang dikenal sebagai pelopor teori “Big Bang”, ketika ia menulis karya besarnya yang berujudul Celestial Mechanics (Le System de Mundo), ditanya oleh Napoleon mengenai tidak disebut nama Tuhan, ia menjawab “I don’t need that kind of hypotheses” (saya tidak memerlukan hipotesis seperti itu).
Charles Darwin sebagai seorang ilmuan Biologi setelah menemukan teori Evolusi dengan seleksi alamiah yang menyebabkan beragam spesies di alam, ia menyimpulkan bahwa beragamnya spesies makhluk hidup bukan karena diciptakan oleh Tuhan, melainkan berasal dari diri makhluk itu sendiri untuk beradaptasi dengan lingkungannya selama jutaan tahun, yakni oleh alam itu sendiri. Teori evolusi Darwinian berkembang menjadi suatu paham (ideologi) yang cukup populer bagi masyarakat Barat hingga kini.
Sigmund Freud seorang ilmuan Psikologi, ahli Psikoanalisis dalam bukunya The Future of an Illusion, ia menyebut agama sebagai ilusi, dan tentu juga Tuhan. Menurutnya dengan semakin rasionalnya manusia modern, maka agama akan semakin ditinggalkan, karena agama itu bersifat memperdaya (illusory), demikian pula nilai moral jangan disandarkan kepada agama. Mengenai pendapat Freud, Erich Fromm dalam bukunya Psychoanalysis and Religion menjelaskan bahwa ide tentang Tuhan muncul dalam pikiran manusia ketika lemah dan tidak berdaya karena tidak mampu berpikir rasional untuk menghadapi tantangan alam. Tuhan kemudian tercipta dalam pikiran manusia sebagai proyeksi dari kelemahan, keterbatasan, dan kesengsaraan manusia sendiri dalam menghadapi alam.
Hal yang sama juga tentu berlaku untuk ilmu Ekonomi, meski tentu saja akan dianggap ganjil, karena dianggap jauhnya relevansi antara ilmu Ekonomi dengan ketuhanan. Hal ini dikarenakan cara pandang Sekuler, memakai istilah Ziauddin Sardar memang telah menjadi “mode of thinking” secara menyeluruh bagi masyarakat moderen. Artinya, asumsi bahwa Ekonomi dan Metafisika itu tidak relevan tidak lain adalah proyeksi yang diperoleh dari hegemoni pendidikan modern yang telah ditanamkan oleh bangsa Barat yang Sekuler sejak era Kolonial.
Adam Smith yang dikenal sebagai bapak Ekonomi Modern misalnya dituduh sebagai orang yang anti agama karena memiliki hubungan dekat dengan David Hume yang mendukung masyarakat komersial yang Sekuler, buktinya bahwa Tuhan tidak disebut sama sekali dalam karyanya The Wealth of Nations. Namun Mark Skousen dalam bukunya The Making of Modern Economics The Lives and Ideas of the Great Thinkers berargumen bahwa Smith masih tetap pada imannya, dimana dalam bukunya yang lain yaitu Theory of Moral Sentiments yang diedit kembali setelah publikasi The Wealth of Nations banyak merujuk pada Tuhan dan agama.
Titik perhatiannya berada di sini, bahwa agama atau iman bagi masyarakat Barat itu kalau bukan tidak diimani sama sekali bahkan dianggap hanya sebuah ilusi, ia hanya bersifat personal dan terbatas pada ranah privat berupa keyakinan dalam diri. Artinya peran Tuhan dinihilkan dari berjalannya alam semesta ini, serta tidak memiliki relevansi dengan kejadian dunia fenomenal termasuk pada realitas sosio-ekonomi.
Anggapan ini dibangun dari paham yang mengasumsikan bahwa alam ini berjalan secara deterministik berdasarkan hukum sebab-akibat, kalaupun peran Tuhan dipertanyakan, maka Dia hanya sebatas Sebab Pertama yang memulai alam semesta beserta keteraturan sebab-akibat tersebut, kemudian membiarkannya berjalan dengan sendirinya. Paham ketuhanan ini dikenal dengan Deisme atau sebagai teori ia disebut dengan Clockmaker Theory, bahwa setelah Tuhan menciptakan alam semesta, Dia membiarkannya berjalan dengan sendirinya, bahkan Tuhan dianggap tidak mampu mengintervensi jalannya hukum tersebut.
Sedangkan Tuhan yang dikonsepsikan oleh kaum Muslimin yang direpresentasikan oleh kalangan Mutakallimin itu sangat imanen karena berperan aktif secara langsung dalam dunia fenomena sekaligus sangat transenden sebagaimana hakekat Dzat-Nya tidak diketahui atau tidak dapat diketahui kecuali oleh Diri-Nya sendiri. Tuhan sebagai satu-satunya pelaku yang menjalankan alam semesta berdasarkan keinginan, kebebasan, dan pengetahuan. Sebagaimana dijelaskan oleh al-Ghazali bahwa Tuhan itu lebih tepat disebut sebagai pelaku daripada sebab, dimana “pelaku” itu bersifat aktif berdasarkan kehendak, sedangkan “sebab” itu bersifat pasif sebagai konsekuensi keberadaan-Nya, dan hal ini merupakan kritiknya terhadap paham yang pada umumnya dianut oleh kalangan Falasifah.
Demikian pula dalam memahami realitas ekonomi tidak dapat dilepaskan dari campur tangan Tuhan secara langsung, sebab cara pandangan metafisik itu menjadi dasar kerangka epistemik dan nilai legalistik-etik dalam konsep keilmuan Islam. Kenyataan ini yang terlihat dari sikap baginda Nabi shalallahu alayhi wa sallam ketika diminta oleh para Sahabat untuk menetapkan harga, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dan al-Tirmidzi dari hadits Anas yang berkualitas Hasan Shahih:
غلا السعر على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقالوا: يا رسول الله سعر لنا، فقال: إن الله هو المسعر القابض الباسط الرازق وإني لأرجو أن ألقى ربي وليس أحد منكم يطلبني بمظلمة في دم ولا مال.
“Telah terjadi peningkatan harga pada zaman Rasulullah shalallahu alayhi wa sallam, maka para Shahabat berkata: “Wahai Rasulullah tetapkanlah harga untuk kami.” Beliau menjawab: “Sesungguhnya Allah yang Maha Menetapkan Harga (Price-maker), Yang Maha Menyempitkan dan Yang Maha Melapangkan serta Yang Maha Pemberi Rezeki, dan sesungguhnya aku ingin berjumpa dengan Rabb-ku dengan tidak ada seorangpun di antara kalian yang menuntutku atas kezaliman atas diri dan hartanya.”
Hadits di atas menunjukan secara jelas bahwa baginda Nabi shalallahu alayhi wa sallam menisbatkan perubahan harga kepada Allah sebagai pelaku secara langsung yang mempengaruhi perubahan harga “al-Musa’ir” (Price-maker(?), berbeda dari yang pada umumnya diyakini para Ekonom bahwa perubahan tersebut terjadi secara alamiah berdasarkan mekanisme permintaan dan penawaran dalam pasar (market) yang didasarkan pada kepentingan pribadi (self-interest) masing-masing, dimana konsep ini dikenal dengan istilah “Invisible Hand of Market”.
Kesalahan yang pada umumnya dilakukan oleh pihak yang mencoba memahami hadits ini tanpa mempertimbangkan aspek metafisika adalah tindakkan menyamakan sikap Nabi shalallahu alayhi wa sallam dengan paham “leissez-feire” yang didasarkan pada kekuatan alamiah dan impersonal pasar. Yakni mekanisme harga (ceteris paribus) bekerja dengan sendirinya secara deterministik berdasarkan kepastian sebab-akibat (sekedar diganti istilahnya dengan Sunnatullah) dari interaksi antara berbagai kepentingan (interest) manusia, bahwa alam itu bekerja dengan dirinya sendiri. Hal ini menunjukkan adanya implikasi cara pandang Sekuler yang memisahkan antara kenyataan fisik dan metafisik.
Permasalahan lainnya, teori “Invisible Hand” ini dikembangkan berdasarkan postulat manusia ekonomi (Homo Economicus) yang dikonsepsikan sebagai manusia pencari kepuasan dan keuntungan pribadi, individualistis, konsumeris, materialis, serta hedonis, dimana kepentingan individual diasumsikan menjadi dorongan kesejahteraan sosial. Mankiw dan Taylor mengutip Adam Smith dalam mendukung ide tersebut: “participants in a market economy are motivated by self-interest, and that the „invisible hand‟ of the market place guides this self interest into promoting general economic well-being.”
Kenyataannya bahwa “Invisible Hand” menurut Asad Zaman dalam Death of a Metaphor: The “Invisible Hand”, hanya merupakan metafora kosong yang jelas-jelas keliru di alam nyata (real world), bahwa monopoli dan eksternalitas negatif justru merupakan akibat dari kerakusan pribadi manusia. Menurutnya, para ekonom sadar bahwa sejumlah situasi dan kondisi yang serupa dimana perilaku egoistis (selfish) berbahaya secara sosial (social harm), namun merupakan hal yang ganjil ketika ungkapan “Invisible Hand” dipertanyakan, karena metafora itu memang “benar”. Oleh karena itu Joseph Stiglitz menyatakan bahwa sejatinya tidak ada yang namanya Invisible Hand dalam dunia nyata “There is no Invisible Hand”, ia hanya merupakan ideologi yang didoktrinkan dalam setiap buku teks utama pengajaran ilmu Ekonomi. Jika hal ini dikaitkan dengan ketetapan Tuhan, atau diganti istilahnya dengan “God Hand”, maka tentu implikasinya menjadi bermasalah, bahwa seolah-olah Tuhan mengizinkan perilaku egoistis manusia.
Jika menganalisis struktur semantik kata “al-si’r” atau harga yang berakar dari kata “sa’ira” yaitu “sin, ‘ain, dan ra'” yang mengandung makna “berkobar”, “menyala”, “gesit”, “berubah-ubah”, “gejolak”, “acak”, dan “tidak terkontrol”, maka pada hadits di atas diperoleh suatu ketentuan universal bahwa “al-si’r” atau harga itu memiliki watak fluktuatif atau berubah-ubah secara konstan. Artinya harga itu tidak memiliki ketetapan dalam artian bahwa ia bersifat tidak tetap selamanya pada setiap kondisi dan situasi apapun, melainkan ia senantiasa berubah-ubah, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Ishfahani dalam al-Mufradat sebagai gerak kobaran api: “al-si’r fi al-suq, tasybihan bi isti’ar al-nar.”
Sedangkan hukum menetapkan harga atau yang disebut dengan “al-Tas’ir” merupakan ranah pembahasan Fiqhiyyah (tentu tidak akan dibahas di sini), dimana para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya. Terdapat risalah khusus yang bagus yang menjelaskan secara terperinci berkenaan dengan hukum menetapkan harga “al-tas’ir” yang ditulis oleh al-Syaikh al-Allamah Abu al-Huda Muhammad al-Ya’qubi al-Hasani yang berjudul Ahkam al-Tas’ir fi al-Fiqh al-Islamiy, dimana beliau menjelaskan titik permasalahan antara perbedaan pendapat di kalangan ulama yang melarang (al-mani’in) dan yang yang memperbolehkan (al-mujizin) berdasarkan analsisis Fiqhiyyah dan Maqashid Syari’ah. Jika ingin mendalami permasalahan tersebut silahkan rujuk pada karya tersebut.
Allah disebut dengan nama “al-Musa’ir” (Ibn Hazm memasukkan ism al-Musa’ir sebagai bagian dari al-Asma’ al-Husna) oleh baginda Nabi shalallahu alayhi wa sallam menunjukkan suatu kenyataan bahwa Allah memiliki peran secara langsung dengan dunia fenomenal, bahwa Allah yang menetapkan harga-harga secara fleksibel dan berubah-ubah dari satu keadaan ke keadaan lainnya, dari satu harga ke harga lainnya yang dilakukan secara terus-menerus, mencirikan suatu proses penciptaan secara terus-menerus.
Peran Allah ini ditekankan lebih lanjut dengan nama sifat yang disebutkan berikutnya yaitu “al-Qabith” Yang Maha Menyempitkan dan “al-Basith” Yang Maha Melapangkan, yang secara kontekstual dalam hadits “qabdh” dipahami sebagai tindakkan menyempitkan rezeki “dhayyaqa”, dan “basth” sebagai tindakkan melapangkan rezeki “awsa’a” melihat konteks lihaq al-kalam disebutkannya nama sifat berikutnya “al-Raziq”. Namun, istilah ini sebenarnya memberikan implikasi yang lebih luas secara metafisis, bahwa hal tersebut merupakan bentuk penciptaan dan pemusnahan oleh Allah secara terus-menerus, dimana Syed Naquib al-Attas dalam On Quddity and Essence menjelaskan bahwa “basth” (expansion) tatkala Allah menciptakan (creating), dan “qabdh” (contraction) ketika Allah memusnahkan (anihilating). Al-Attas sepertinya menganut teori Atomisme Asya’irah, bahwa daya hidup (life-duration) atom (jawhar) tidak bertahan satu dua saat dan terus musnah secara konstan (fana’), dimana realitas dari wujud partikular itu dapat dicerap sebagai sesuatu yang bertahan karena peran Tuhan dalam menciptakannya secara terus-menerus setelah kebinasaannya (constant flux of re-creating).
Keterlibatan Allah secara langsung tidak menafikan keteraturan gerak alam tersebut berdasarkan hukum sebab-akibat, sebagaimana yang dituduhkan kepada al-Ghazali yang menafikan kausalitas karena menyerang pemahaman “illah wa ma’lul” yang diyakini kaum Falasifah. Namun sebenarnya beliau hanya menafikan kepastian kausalitas tersebut yang bersifat deterministik yang ditetapkan melalui paham aliran pelimpahan (faydh) yang digagas penganut teori Emanasi Neo-Platonisme.
Dalam rangka mendamaikan hal ini, al-Ghazali sebagaimana dengan penjelasan yang disistematiskan oleh Hamid Fahmy Zarkasyi dalam bukunya Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan Membaca Pemikiran Religio-Saintifik al-Ghazali, menjelaskan tentang mekanisme dari penetapan Allah berdasarkan beberapa tahapan sebagai berikut:
Tahap pertama, Tuhan dengan hukum-Nya yang bijaksana menetapkan bahwa sebab (asbab) yang diarahkan kepada akibat (musabbabat). Hukum Tuhan menunjukkan adanya sebuah desain utama yang mutlak (al-tadbir al-awwal al-kulli) sekaligus perintah abadi (amr azali) yang hadir seketika itu juga. Struktur ini menentukan hakikat sebab-akibat di dunia dengan Tuhan pelaksana kehendak dan perbuatan-Nya.
Tahap kedua, Tuhan menetapkan sebab-sebab mutlak, mendasar, tetap, dan stabil (al-asbab al-kulliyah al-ashliyyah al-tsabitah al-musytarikah) yang tidak hilang ataupun berubah hingga akhir zaman (tentu saja dapat diintervensi oleh Allah sebagaimana dalam kasus mukjizat para Nabi). Al-Ghazali mengacu pada ayat al-Qur’an surat Fushshilat ayat 12: “Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mengilhamkan pada tiap-tiap langit urusan masing-masing.” Al-Ghazali menyebut tahap ini sebagai penetapan universal bagi sebab-sebab universal yang abadi (al-wadh’ al-kulli li al-asbab al-kulliyah al-daimah), maka ia menjadi suatu kebiasaan yang ditetapkan Tuhan (Sunnatullah).
Tahap ketiga, disebut qadar (ketentuan). Ini melibatkan arahan Tuhan (tawjih) atas sebab yang disebutkan di atas lewat proporsisinya masing-masing, mengukur gerak hingga akibatnya, yang diwujudkan dari gerakan-gerakan tersebut, waktu demi waktu (lahzhah ba’da lahzhah) menurut ukuran tertentu (al-qadar al-ma’lum). Pada tahap ini al-Ghazali menggunakan istilah “hadatsa” dalam arti perbuatan Tuhan mewujudkan sesuatu menjadi ada, artinya Tuhan berperan terus dalam setiap lapisan realitas dimana implikasinya menjadikan kekuasaan sebab efisien itu satu-satunya kepada sebab absolut, yaitu Tuhan.
Berdasarkan kenyataan ini, bahwa realitas perubahan harga “al-si’r” dalam Ekonomi yang ditetap-ubahkan oleh Allah dapat dijabarkan dengan cara pandang metafisika Islam, bahwa realitas dari alam luaran (external world) itu merupakan mode dan aspek dari Realitas Tunggal (Tuhan) yang melingkupi segala sesuatu secara dinamis. Dimana al-Attas menjelaskan bahwa dunia fenomena (phenomenal world) atau keteraturan hukum alam semesta (laws of nature) tidak lain adalah kebiasaan yang Allah tetapkan pada alam “customary way of acting” (Sunnatullah).
Cara pandang Sekuler yang ditanamkan oleh ilmu modern terlalu terpenjara pada dunia fenomenal sebagai objek kajian, dimana al-Attas menyatakan bahwa ilmu modern mereduksi kajian atas dunia fenomenal sebagai akhir pada dirinya sendiri, melihat sesuatu itu sekedar sesuatu. Sedangkan Islam melihat dunia fenomenal termasuk fenomena ekonomi sebagai bentuk pencarian makna spiritual di balik sesuatu, dimana mempelajari alam untuk tujuan spiritualitas dapat menciptakan sikap yang lebih bertanggung jawab terhadap alam semesta.
Fenomena ekonomi bagi cara pandang metafisika Islam mengantarkan kepada Realitas Sejati sebagai Wujud Mutlaq atau Wajib al-Wujud yang dimaknai oleh Al-Attas sebagai realitas yang tidak terbatas sama sekali (state of pure indetermination “ithlaq”), bahwa Tuhan tidak dapat dipisahkan dari realitas alam, dengan adanya keterhubungan fisik dan metafisik. Dimana cara pandang ini mengarahkan manusia untuk menemukan -menggunakan istilah yang sering dipakai Seyyed Hosein Nasr “Vestigia Dei” atau Jejak-jejak Tuhan pada realitas alam semesta.
***********
Penulis: Nur Shadiq Sandimula
Demikian Semoga Bermanfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel : www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)