Banyak karunia Allah subhanahu wata’ala yang dilimpahkan kepada kita umat Islam dan bangsa Indonesia. Kita ditakdirkan berada di sebuah negeri yang sangat strategis. Sebuah negeri yang alamnya sangat kaya, baik di darat maupun di laut.
Dan yang terpenting adalah kita menjadi sebuah negara yang mayoritas penduduknya muslim. Nikmat ini jika dibandingkan dengan nikmat-nikmat tadi, jauh lebih hebat lagi. Ini adalah karunia yang mengkondisikan kita menjadi lebih mudah untuk membicarakan tentang syariat Islam. Bahkan untuk penerapan syariat Islam.
Ini karunia yang sangat besar, dan harus kita syukuri. Persoalan bahwa kondisinya belum ideal, namun sistem yang ada di negeri ini memungkinkan kita untuk berperan serta lebih maksimal dalam segala aspek kehidupan.
Tidak banyak negeri yang bisa seperti Indonesia, yang membuka kesempatan berpartisipasi pada masyarakatnya secara luas. Dalam aspek apa saja.
Misalnya dalam aspek sosial, disini jika ada orang mau berbuat baik secara informal maupun formal dengan mendidrikan yayasan atau sekolah, peluangnya terbuka.
Demikian juga dakwah, peluangnya terbuka. Persoalan politik juga demikian. Semua dapat berpartisipasi aktif.
Terbukanya partisipasi dalam politik, berarti ada kesempatan untuk turut memperbaiki kehidupan perpolitikan kita dari waktu ke waktu. Bentuknya bisa berupa nasehat-nasehat, kritikan, termasuk dalam pergantian kepemimpinan Dengan waktu yang sudah diatur dan disepakati yakni setiap 5 tahun sekali.
Sekarang ini akan menjadi lebih teratur, karena pergantian kepemimpinan kita sekali dalam 5 tahun benar-benar hanya dilakukan serentak dalam tahun yang sama. Berbeda dengan yang dulu, hampir tiap bulan ada Pilkada di Indonesia.
Sekali lagi, ini semua adalah karunia dari Allah subhanahu wata’ala. Harus kita syukuri, namun jangan lupa bahwa disini ada amanah untuk kita. Amanah sekaligus tantangan. Bahkan mungkin rintangan.
Partisipasi Umat, Bagaimana Konkretnya?
Dalam kaca mata siayasah syar’iyyah, partisipasi umat dalam pemilu merupakan hak sekaligus kewajiban. Hak di satu sisi, dan pada tataran tertentu, pada keadaan tertentu, dia menjadi wajib. Apalagi jika dikaitkan dengan kaidah maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajib (apa yang menjadi syarat terlaksananya kewajiban, maka dia berstatus wajib).
Jika kita merasa bahwa, kita ikut atau tidak ikut akan sama saja yang terpilih adalah calon dengan kriteria terbaik, maka statusnya mungkin hanya hak. Tapi kalau situasinya jika kita tidak berpartisipasi maka yang berpotensi terpilih adalah pemimpin yang tidak pantas, maka statusnya menjadi .
Kenapa? Karena mengangkat pemimpin adalah kewajiban. Tentu mengangkat pemimpin yang kriterianya lebih baik, itu juga wajib. Kriteria “baik” maksudnya ditimbang dari berbagai sisi.
Boleh saja seorang pemimpin yang kita pilih ada kekurangan tertentu. Tetapi jika dia telah memenuhi syarat-syarat mendasar dan memiliki skor yang tertinggi dari prasyarat sebagai seorang pemimpin yang terbaik, maka itu yang kita pilih.
Misalnya, syarat paling mendasar itu adalah keimanan. Contoh lainnya adalah menegakkan sholat. Bukan sekadar melaksanakan sholat, tapi benar-benar dia menegakkan sholat.
Syarat-syarat mendasar lainnya adalah ilmu. Memiliki kapasitas dan kemampuan kepemimpinan, memiliki sifat keadilan yang sudah teruji, dll.
***********
Penulis: Dr. KH. Muhammad Zaitun Rasmin, Lc., MA
(Pemimpin Umum Wahdah Islamiyah, Wakil Sekertaris Dewan Pertimbangan MUI Pusat dan Ketua Ikatan Dai dan Ulama se-Asia Tenggara)
Demikian Semoga Bermanfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)