Mengikuti negara-negara Barat lainnya, Prancis baru-baru ini mengesahkan Undang-undang pernikahan bagi kaum gay. Presiden Prancis, Francois Hollande secara resmi menandatangani UU tersebut pada Sabtu 18 Mei 2013. Dengan keputusan kontroversial ini, Prancis menjadi Negara ke-14 di dunia yang melegalkan UU pernikahan bagi kaum homoseks (Jawa Pos 19/05/2013).
Mahkamah Konstitusi (MK) Prancis yang mengesahkan UU pernikahan sejenis menyatakan bahwa lesbianisme dan homoseksualitas merupakan hak individu yang perlu dilindungi. Meski sebagian agamawan menolak, pemerintah Prancis tetap bersikukuh bahwa pernikahan sejenis tidak melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan. Atas nama kebebasan, MK menolak gugatan sejumlah kelompok yang menggunakan pandangan agama.
Paham kebebasan dan prinsip kemanusiaan di Barat merupakan paham kebebasan laa diniyyah (tanpa agama). Standar keagamaan tidak penting lagi. Bahkan tidak diperlukan sebagai landasan kehidupan. Karena itu, jika hubungan sejenis baik sesama laki-laki maupun sesama perempuan dilakukan atas dasar suka-sama suka maka hal itu tidak dianggap pelanggaran. Mereka juga berprinsip bahwa laki-laki dan perempuan sama saja. Jika hubungan laki-laki dan perempuan disahkan, maka mengapa hubungan sesama laki-laki atau sesama perempuan dilarang.
Jadi, kebebasan kaum lesbian, gay, biseksual dan transeksual-biseksual (LGTB) di Barat tersebut berparadigma paham humanisme dan gender equality. Kedua paham tersebut bermasalah pada konsep manusia. Yakni berpandangan bahwa manusia adalah makhluk yang kosong agama, bebas mengatur kehidupannya tanpa campur tangan hukum Tuhan; bisa mencari kebenaran tanpa melalui Tuhan atau agama. Manusia dalam paradigma sekuler, apapun jenis kelaminnya, adalah sama. Tidak ada ruang-ruang yang membedakan terkecuali segi fisik belaka. Sehingga prinsip-prinsip kemanusiaannya adalah netral agama. Komunitas LGTB, berlindung dibalik paham humanisme dan sekularisme ini.
Paradigma laa diniyyah seperti tersebut mengkhawatirkan. Sebab, tidak saja melegalkan hubungan sejenis, tapi bisa melegalkan seks bebas (free sex) antara laki-laki dan perempuan. Seorang akitivis liberal Indonesia pernah mengkampanyekan kebebasan seks ini dalam sebuah buku Jihad Melawan Ekstrimis Agama (2009) hal. 182:
“Saya rasa Tuhan tidak mempunyai urusan dengan seksualitas. Jangankan masalah seksual, persoalan agama atau keyakinan saja yang sangat fundamental, Tuhan – seperti secara eksplisit tertuang dalam al-Qur’an – telah membebaskan manusia untuk memilih: menjadi mu’min atau kafir. Maka, jika masalah keyakinan saja Tuhan tidak peduli, apalagi masalah seks? Jika kita mengandaikan Tuhan akan mengutuk sebuah praktek “seks bebas” atau praktek seks yang tidak mengikuti aturan resmi seperti tercantum dalam dictum keagamaan, maka sesungguhnya kita tanpa sadar telah merendahkan martabat Tuhan itu sendiri”.
Paradigma seperti tersebut memahami manusia sebagai makhluk yang terbebas dari Tuhan, agama, dan aturan-aturannya. Sementara itu, dalam perspektif Islam, manusia adalah makhluk yang memiliki perangkat spiritual untuk mengembalikannya kepada fitrah kemanusiaan. Model kebebasan seperti ditunjukkan Barat itu justru akan membawa kerugian bagi kemanusiaan. Manusia bisa saja berbuat kekejian dengan alasan kebebasan. Sementara dalam Islam, Tuhan merupakan ‘pembimbing’ manusia dalam hidup.
Karena manusia adalah makhluk yang asalnya dilahirkan dalam kondisi keadaan fitrah, maka kebebasan dalam Islam diatur oleh agama untuk mengembalikannya kepada keadaan semula (fitrah). Sebab, Islam dengan syari’atnya, merupakan ‘wadah sakral’ bagi manusia untuk kembali kepada fitrah. Tuhan adalah pencipta fitrah manusia, maka pengembalian kepada fitrah haruslah melalui jalan ketuhanan. Fitrah merupakan tabiat dan kodrat asal manusia sebelum dicemari dan dirusak oleh kehidupan sekelilingnya.
Karena itu, Islam memandang bahwa kebebasan identik dengan fitrah. Seorang manusia yang bebas adalah orang yang hidup selaras dengan fitrahnya. Sebaliknya, yang menyalahi fitrah dirinya sebagai hamba Allah, sesungguhnya tidak bebas, karena ia hidup dalam penjara nafsu dan belenggu setan. Dalam tataran praktis, kebebasan sejati memantulkan ilmu dan adab, sedangkan kebebasan palsu mencerminkan kebodohan dan kebiadaban (Syamsuddin Arif, Tiga Makna Kebebasan dalam Islam dalam Islam versus Kebebasan Liberalisme:2010 hal.61). Dari sini dapat disimpulkan bahwa kebebasan seharusnya tidak melahirkan kerusakan manusia dan masyarakat.
Kebebasan dalam Islam bukan membiarkan manusia untuk berbuat apa saja. Kebebasan adalah bertindak sesuai dengan yang dituntut oleh hakikat dirinya yang sebenarnya. Hakikat diri manusia adalah manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki perangkat spiritual untuk taat kepada Sang Pencipta. Syed Muhammad Naquib Al-Attas menyebut konsep kebebasan itu dengan terminologi ikhtiyar (yakni memilih yang baik). Memilih itu bukan yang buruk. Sebab, jika manusia itu memilih yang buruk itu bukan kebebasan tapi kecelakaan (Al-Attas, Peri Ilmu dan Pandangan Alam, hal. 63).
Dengan demikian, kebebasan itu sebenarnya bentuk penghambaan yang murni kepada Allah. Sesungguhnya syari’ah itu membebaskan manusia. Yakni membebaskan dari belenggu nafsu yang merusakkan dan mengakui hak-hak kemanusiaan secara proporsional.
Pelegalan LGTB atas nama kebebasan manusia, justru menistakan kesucian manusia itu sendiri. Lesbianisme dan homoseksualitas telah dipandang sebagai kelainan seksual, keluar dari fitrahnya sebagai manusia. Wajarlah jika kelompok LGTB tidak seharusnya diberi ruang seluas-luasnya untuk mempraktikkan kehidupan abnormalnya itu. Mereka harus disembuhkan karena sesungguhnya mereka sedang sakit. Selain itu sangat rawan menyebarkan penyakit kelamin menular melalui hubungan seks sejenis.
Dalam Islam, hubungan sejenis merupakan perbuatan keji. Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah Subhaanahu wa ta’ala melaknat tujuh golongan dari makhluk-Nya dari atas tujuh lapis langit.” Lalu, beliau melaknat satu golongan di antara mereka sebanyak tiga kali. Setelah itu, melaknat setiap golongan satu kali-satu kali, kemudian bersabda, “Terlaknatlah, terlaknatlah, terlaknatlah orang-orang yang melakukan perbuatan kaum Luth” (HR. al-Hakim).
Imam Syafi’i menetapkan pelaku homoseksual dan lesbianisme wajib dihukum mati, sebagaimana keterangan dalam hadits, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mendapatkan orang-orang yang melakukan perbuatan kaum Nabi Luth (praktik homoseksual dan lesbianisme), maka ia harus dihukum mati; baik yang melakukannya maupun yang dikumpulinya.” (HR. Abu Daud).
Itulah Syari’at Islam yang memiliki tujuan memuliakan manusia dengan kembali kepada fitrah asalnya. Maka, tujuan syari’at dalam menetapkan hukum itu ada lima; yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (Imam al-Ghazali, Al-Mustashfa, hal. 275). Pada intinya, Syari’at Islam menghindarkan manusia dari segala hal yang merusak jiwa, harta, keturunan, akal, dan agama.
Jika ada bentuk kebebasan yang justru merusak kelima hal tersebut sesungguhnya bukan kebebasan yang sebenarnya. Tapi itu bentuk kecelakaan dan kerusakan yang harus dicegah. Perilaku LGTB adalah perilaku abnormal yang merusak jiwa dan fitrah manusia. Pemberian ruang bagi mereka untuk mengekspresikan perilaku abnormalnya merupakan kebebasan palsu yang merusak fitrah sebagai manusia.
************
Penulis: Dr. Kholili Hasib, M.Ud
(Dosen IAI Dalwa dan Direktur Institute Pemikiran dan Peradaban Islam)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)