Pertanyaan
Biasanya ayahku berkorban untuk dirinya dan untuk kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia. Bukan untuk ibuku yang masih hidup. Saya pernah bicarakan bersama beliau sekitar masalah ini, dan beliau mengatakan, “Dia tidak wajib berkurban atasnya karena dia sebagai ibu rumah tangga. Sementara yang lain mengatakan, “Bahwa suami tidak wajib berkurban untuknya (istrinya).
Pertanyaannya adalah kalau anak laki-laki atau perempuan memberikan kepadanya harga kurban atau membelikan untuknya apa hukumnya?
Teks Jawaban
Alhamdulillah.
Pertama:
Orang yang berkurban diperbolehkan mengikutkan pahala kurbannya, dari kerabat yang dikehendakinya, baik masih hidup maupun sudah meninggal dunia. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim di dalamnya ada, “Ya Allah terimalah dari Muhamad dan keluarga Muhammad.” Dan keluarga Muhammad, mencakup yang masih hidup dan sudah meninggal dunia. Sebagaimana dia diperbolehkan berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia secara tersendiri. Atau mengikuti dengan orang yang masih hidup.
Kedua:
Kurban satu diterima untuk laki-laki dan keluarga rumahnya. Baik istri, anak-anak dan kedua orang tuanya. Kalau mereka satu rumah. Sebagaimana yang diriwayatkan Muslim, (3637) dari Aisyah radhiallahu anha sesungguhnya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam:
أمر بكبش أقرن يطأ في سواد ، ويبرك في سواد ، وينظر في سواد ، فأتي به ليضحي به ، فقال لها يا عائشة : ( هَلُمِّي الْمُدْيَةَ ، ثُمَّ قال : اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ ) ، ففعلت ثم أخذها ، وأخذ الكبش ، فأضجعه ثم ذبحه ثم قال : بِاسْمِ اللَّهِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ ، وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ) ثم ضحى به” .
“Beliau memerintahkan kambing kibas bertanduk, kedua kakinya hitam, perutnya hitam, dan matanya berwarna hitam, maka didatangkanlah kambing tersebut untuk dijadikan kurban. Lalu beliau bersabda kepada ‘Aisyah: “Wahai ‘Aisyah, berikanlah pisau sembelih dan asahlah dengan batu”. Maka ‘Aisyah pun melakukannya kemudian beliau mengambilnya dan memegang kambing tersebut dan menginjaknya dan menyembelihnya kemudian beliau bersabda: “Dengan nama Allah, Ya Allah terimalah (kurban ini) dari Muhammad, dan dari keluarga Muhammad dan dari ummat Muhammad”, lalu beliau menyembelihnya”.
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Berdalil dengan hadits ini bagi orang yang memperbolehkan seseorang berkurban untuk dirinya dan keluarganya. Mengikutkan bersamanya dalam pahala. Dan ini adalah mazhab kami dan mazhab jumhur.” Selesai dari ‘Syarkh Muslim karangan Nawawi.
Maka yang dianjurkan bagi suami, meniatkan berkurban untuk dirinya dan keluarganya. Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi sallallahu alaihi wa sallam. Diterima untuk dirinya dan untuk mereka. Dengan mengikutkan pahala bersamanya. Tidak membutuhkan kurban secara khusus untuk istrinya. Kalau dia tidak meniatkan kurbannya untuk keluarganya, maka mereka tidak boleh meminta untuk (istrinya) juga. Karena gugur dari keluargnya dengan kurban suami. Meskipun mereka tidak mendapatkan pahala dari urusan yang mereka tidak melakukannya dan pemiliknya juga tidak mengikutkan pahalanya.
Ramli rahimahullah mengatakan tentang kurban, “Sunah yang ditekankan (Muakkadah), hak kami kifayah (cukup). Meskipun di Mina dan keluarganya banyak. Kalau tidak (dilaksanakan) maka termasuk sunah ain (perorangan). Maksud sunah kifayah adalah meskipun disunahkan pada masing-masing mereka. Gugur permintaan dengan dilakukan oleh orang lain. Bukan mendapatkan pahala bagi orang yang tidak melakukannya. Seperti shalat jenazah. Ya, pengarang ‘Syarkh Muslim’ menyebutkan bahwa kalau mengikutkan orang lain dalam pahalanya, diperbolehkan. Dan itu adalah mazhab kami. Asal rujukan hal iu adalah bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam berkurban di Mina untuk istri-istrinya dengan sapi.” HR. Syaikhon (Bukhori dan Muslim).” Selesai dari ‘Mihayatul Muhtaj, ((8/132).
Kalau istrinya mempunyai uang sendiri, dana ingin berkurban, maka hal itu diperbolehkan. Meskipun diberi uang dari sebagian anak-anaknya untuk berkurban. Dan diterima dari mereka itu, hal itu diperbolehkan juga.
Tirmidzi (1505) meriwayatkan dari ‘Atha’ bin Yasar berkata: “Saya telah bertanya kepada Abu Ayyub al Anshari, bagaimanakah keadaan hewan kurban pada masa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ?, beliau menjawab: “Bahwa ada seorang laki-laki berkurban kambing atas nama dirinya dan anggota keluarganya, mereka memakannya dan memberi makan orang lain”. (Dishahihkan oleh al Baani dalam “Shahih Tirmidzi”)
Lajnah Daimah juga pernah ditanya: “Jika istri dan bapak saya tinggal dalam satu rumah, apakah pada hari raya idul adha cukup berkurban dengan satu hewan kurban, atas nama saya dan bapak saya atau tidak ?
Mereka menjawab:
“Jika realitanya sebagaimana yang anda sebutkan, yaitu; ada bapak dan anaknya pada satu rumah, maka cukup bagi anda, bapak, istri, ibu dan semua anggota keluarga anda dengan satu hewan kurban untuk mengamalkan sunnah”. (Fatawa Lajnah Daimah: 11/404).
********
Sumber: Islamqa (Situs Tanya Jawab Islam)
(Dibina oleh Syekh Muhamad bin Saleh Al-Munajid hafizahullah)
Demikian Semoga Bermamfaat…
Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)