Diskusi serius antara anggota civitas akademika yang berpaham, beraliran, dan penyebar ajaran Syiah telah dihelat pada tanggal 8 Oktober 2016. Acara tersebut dihadiri tokoh Syiah, Dr. Haidar Bagir sebagai narasumber utama yang berlangsung di Auditorium Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra, Jl. Lebak Bulus-II, No. 2, Cilandak, Jakarta Selatan.
Dalam pertemuan tersebut Haidar Bagir memaparkn teori ‘Syiahisasi Indonesia’ atau metode dan rumus-rumus jitu dalam penyebaran ajaran sesat Syiah di tanah air. Setelah melakukan kajian, penelitian, dan pengamatan terhadap ummat Islam Indonesia, dan kesimpulannya, segenap kaum muslimin yang berada di bumi Indonesia, secara umum terbagi menjadi tiga bagian yaitu: 1) Wahhabi; 2) Jahhali; dan 3) Oportunis. Untuk mengetahui lebih dalam, mari kita cerna ketiga golongan di atas.
Bagi penganut Syiah, yang dimaksud dengan golongan Wahhabi adalah seluruh ummat Islam Indonesia yang tidak sejalan dan searah tujuan dengan ajaran mereka. Dalam konteks ini, Wahhabi tidak lagi diidentikkan dengan golongan Wahhabiyah, atau Wahhabiyun yang merujuk kepada paham atau ajaran dakwah yang dipelopori oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Tamimi al-Najdi. Artinya, Wahhabi dalam pandangan Syiah jauh lebih luas ketimbang Wahhabi yang selama ini dikenal luas oleh masyarakat musilm Nusantara yang mayoritas merujuk kepada tata cara beribadah ummat Islam di Saudi Arabia.
Stigma Wahhabi bagi anti Syiah terlihat konyol dan tidak masuk akal. Sebab setiap kali saya memaparkan kesesatan Syiah, pasti dituduh penganut Wahhabi, anti NKRI, provokator, tidak hormat bendera, anti lagu Indonesia Raya, anti pancasila. Daftarnya tidak terputus.
Penganut Syiah macam ini, sejatinya sumbu pendek, dan tidak bisa membaca apalagi menganalisa. Sebab, begitu banyak orang-orang Islam yang anti Wahhabi tapi sekaligus Anti Syiah. Misalnya, ulama kesohor Nusantara, sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asy’ari adalah anti Wahhabi sekaligus anti Syiah. Kebenciannya terhadap sempalan Syiah ia tuangkan dalam karya tulisnya.
KH. Hasyim Asy’ari menyebutkan, Apabila fitnah-fitnah dan bid’ah-bid’ah muncul dan shahabat-shahabat dicaci-maki, maka hendaklah orang-orang alim menampilkan ilmunya. Barang siapa tidak berbuat begitu, maka dia akan terkena laknat Allah, laknat Malaikat, dan semua orang. (Muqaddimah Asasi Nahdathul Ulama hal. 26);
Maka barangsiapa yang mencela Shahabat maka atasnyalah laknat Allah, Malaikat, dan seluruh manusia, (bahkan) Allah tidak menerima ibadah mereka baik wajib maupun sunnah. (Risalah Ahlussunnah wal Jamaah hal. 11);
Akan datang di akhir zaman orang yang mencela-cela Shahabat Nabi, maka janganlah mensalatkan atau mendoakan mereka, jangan shalat bersama mereka, jangan kawin-mawin dengan mereka, jangan duduk dengan mereka, dan jangan menjenguk mereka jika sakit. (Risalah Ahlussunnah wal Jamaah hal. 11);
Barangsiapa yang mencela-cela Shahabat Nabi Sallallahu’Alaihi wa sallam, maka pukullah dia. (Risalah Ahlussunnah wal Jamaah dalam Muhammad Ishomuddin Hadziq [ed.], Kumpulan Kitab Karya Hadratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, t.th.).
Jika ada yang berpendapat bahwa itu ulama NU generasi awal, sekarang mereka sudah mendukung Syiah! Anggapan demikian juga hoaks, sebab KH. Idrus Ramli, sahabat saya, adalah seorang ulama tulen, didikan para ulama NU, beliau sangat anti kepada Wahhabi sekaligus anti Syiah. Beberapakali berdebat dengan Syiah, dan selalu memenangkan perdebatan. Saat ini, Idrus Ramli menjadi salah satu pagar Ahlussunnah dan di garda terdepan dalam memorak-morandakan benteng pertahanan sempalan Syiah.
Contoh lain, juga teman saya, Prof Madya Dr Khalif Muammar, Pengarah Utama Centre for Advanced Studies on Islam, Science and Civilisation (CASIS) Universiti Teknologi Malaysia Kuala Lumpur. Adalah intelektual yang sangat anti Wahhabi, beliau menulis, “Isu Wahabi [sebenarnya lebih tepat disebut dengan Pseudo-Salafi] bukan isu yang dibuat-buat, ia adalah manifestasi masalah kehilangan adab [the loss of adab] di kalangan segelintir orang yang tidak menghormati tradisi Islam yang kaya dengan kepelbagaian. Kesalahan mereka bukan kerana menyeru kepada al-Qur’an dan al-Sunnah tetapi membatasi pemahaman al-Qur’an dan al-Sunnah hanya pada pendekatan literal yang mereka pegang. Akibatnya umat Islam disibukkan dengan persoalan-persoalan kecil [khilafiyyah] yang diperbesarkan, menyempitkan Islam hanya pada teks sehingga lupa akan aspek ilmu dan peradaban. Dengan menuduh para ulama’ yang mengamalkan Tasawwuf, ribuan jumlahnya di alam Melayu ini, sebagai sesat dan melakukan bid’ah dalalah, mereka telah menjadi pemicu kepada perpecahan di kalangan umat Islam. Aksi yang keras akan diikuti dengan reaksi yang juga keras. Umat Islam perlu berhenti mempermasalahkan perkara-perkara yang kecil dan bersama menumpukan perhatian kepada agenda yang lebih besar,” (Dr. Khalif Muammar, 2021). Namun perlu dicatat, selain anti Wahhabi, intelektual kelahiran Bandung di atas juga anti Syiah.
Tuduhan lain yang terus digaungkan Syiah adalah, setiap anti Syiah pasti didukung dan didanai oleh Saudi Arabia. Padahal, saya secara pribadi belum pernah mendapat dukungan dan apresiasi apa pun dari dari Saudi, apalagi materi. Tidak pernah kuliah di sekolah yang didanai oleh Kerajaan Saudi Arabia, atau dapat beasiswa dari sana, atau membantu lembaga tempat kami bekerja, atau minimal menggandakan buku “Indonesia Tanpa Syiah, 2021” yang saya tulis. Bahkan kesesatan Syiah saya tau dan kenal dari Pondok Pesantren Darul Hufadh, yang didirikan oleh Anregurutta Haji Lanre Said. Ada poin penting dalam Garis-garis Besar Haluan Pondok Pesantren berbunyi, “Santri dilarang berjabat tangan dengan Ingkarusunnah dan ajaran sesat lainnya seperti: Ahmadiyah, Islam Jama’ah, Syiah, dan lain-lain”.
Peraturan itu, jika ada santri yang berani melanggar akan diusir. Dan ini dibaca hampir tiap Jumat ketika ada peresmian santri, selama bertahun-tahun, sehingga terbangun dalam alam bawah sadar saya bahwa Syiah ini aliran sesat yang harus saya pelajari, agar bisa menyebarkan informasi dan pengetahuan akan kesesatannya. Semua itu saya lakukan karena merasa wajib mempertahankan kebenaran yang saya yakini.
Bahkan, pengamatan saya, ada alumni dari Perguruan Tinggi Saudi Arabia justru balik jadi anti Wahhabi dan mendukung Syiah. Dan lebih banyak lagi, alumni Perguruan Tinggi yang didanai Wahhabi tapi tidak terlihat usahanya untuk membendung Syiah atau bermasa bodoh dengan agamanya.
Sejujurnya, menelanjangi kesesatan Syiah adalah tanggung jawab setiap ummat Islam Ahlussunnah, dan mereka yang melek akan tugas mulia ini akan dicap sebagai Wahhabi oleh Syiah. Stigma Wahhabi jelas proyek propaganda Syiah untuk melegitimasi kesesatannya dan agar leluasa menyebarkan paham Syiah di tengah Ahlussunnah.
Demikian pula sebaliknya, golongan Wahhabi versi Syiah juga kerap melakukan pukul rata kepada penyebar dan penganut Syiah. Menuduh mereka mendapatkan dana besar dari Iran.
Bagi saya, ini sama kelirunya dengan tuduhan Syiah terhadap Wahhabi di Indonesia. Sebab pengamatan saya, sudah banyak sekali penganut Syiah Indonesia yang asli belajar di Indonesia dan tidak mendapatkan keuntungan apa pun dari Negara Iran, tapi soal militansi dalam menganut dan menyebarkan Syiah, tiada duanya. Harta dan nyawa pun jadi taruhan.
Karena ajaran Syiah berbasis pada kebencian, dendam kesumat dari dulu hingga kini, dari Maroko hingga Merauke, dan selamanya akan terus memeringati kematian Husain bin Ali bin Abi Thalib yang mengenaskan di Karbala pada tahun tanggal 10 Muharram tahun ke-61 Hijriah.
Peristiwa itu dikenang dengan ‘Tragedi Karbala’, atau ‘Asyura’. Peringatan dimaksud untuk menghidupkan dendam kepada para pembunuh Husain. Walaupun sejarah sebenarnya, Imam Husain berangkat ke Kufah karena undangan kaum Syiah. Pendukung utamanya, Muslim bin Aqil menulis surat padanya, “Anda memiliki seratus ribu pedang, janganlah mundur! Lalu Al-Husain menjawab, “Aku telah datang dari Makkah tanggal 8 Dzul-Hijjah, hari Tarwiyah, kalau urusan datang kepada kalian, cepatlah kalian menyiapkan diri, aku akan segera datang!”.
Cucu Baginda Nabi itu pun berangkat bersama rombongan Ahlul Bait sebanyak 72 orang. Sesampainya di Karbala, kurang lebih 100 km barat daya Baghdad, rombongan itu dihadang oleh pasukan yang dipimpin oleh Ubaidullah bin Ziyad atas perintah Khalifah Yazid bin Muawiyah. Terjadilah apa yang tidak seharusnya terjadi. Peperangan yang tidak seimbang antara pasukan Ubaidullah bin Ziyad, Gubernur Kufah, yang berjumlah 4000 – 10.000 melawan rombongan Husain yang berjumlah 72, itu pun banyak yang perempuan. Kepala Husain dipenggal oleh seorang prajurit bernama Syamr bin Dziljausyan.
Tragedi di atas terus jadi asupan secara turun-temurun kapada penganut Syiah, dari buaian hingga liang lahad, minal mahdi ilal-lahdi.
Bahkan peringatan kematian Husain jadi ajang ratapan, menyiksa diri, bahkan nyaris bunuh diri. Satu tujuan, memantik dendam kesumat pada Ahlussunnah. Karena itu, Syiah, khususnya produk Indonesia tidak kalah militannya dibandingkan yang ada di Iran. Banyak penganut Syiah yang tidak ada nasab kepada Ahlul Bait tapi fanatiknya pada Ahlul Bait melebihi Ahlul Bait sendiri. Sejak dini, syair-syair pengobar semangat dendam terus dihembuskan, misalnya.
“Setiap hari adalah Hari Asyura’. Setiap tanah di muka bumi ini adalah Tanah Karbala. Kullu yaumin Asyura’,. Wa kullu ardhin karballa!”.
Baca Juga: Membongkar Propaganda Syiah Indonesia (Bag 1)
Beberapa kali saya jumpa dengan orang Syiah، mengaku dirinya Syiah, dan tidak pernah mendapat dana dan keuntungan materi jenis apa pun dari Iran, hidup pas-pasan, tapi soal semangat, jangan ditanya.
Mereka memiliki semangat juang 45 untuk mensyiahkan Indonesia. Sekali lagi, mereka teguh pendirian dan siap mempertahankan ajaran dan kebenaran yang mereka yakini. Bahwa banyak yang mendapat bantuan dari Iran khususnya melalui program-program pendidikan, penelitian, sosial kemasyarakatan, itu sudah pasti, tapi tidak semua.
Begitu pula para Wahhabi, banyak juga yang mendapatkan bantuan dari Saudi Arabia melalui pendidikan, dakwah, penelitian, sosial kemasyarakatan, dan seterusnya, dan itu hal biasa saja, bahkan para misionaris pun dananya banyak yang mengucur dari Vatikan.
Ada pun ‘Jahhali’, jika ditilik dari sudut bahasa, tampak bahwa istilah itu berasal dari bahasa Arab, yaitu, ‘jahil’ yang berarti lawan dari ‘ilmu’, alias tidak mengetahui. Jahil adalah sebuah derajat yang paling terendah dalam hirarki keilmuan. Antara jahil dan berilmu terdapat kondisi yang disebut, al-syak, al-wahm, dan al-zhan. Intinya, kata ‘jahil’ adalah tidak mengetahui atau ‘adamul idraak bisy-syai’. Namun, teori Jahhali bagi Syiah lebih umum dibanding jahil menurut pengertian bahasa dan istilah pada umumnya. Sebab, Jahhali di sini adalah golongan ulama, intelektual, kaum terpelajar, cerdik-pandai, politikus, tokoh masyarakat hingga aktivis kampus yang tidak mengetahui secara mendalam terhadap ajaran Islam, khususnya akidah Ahlussunnah wal Jamaah sehingga dengan mudah mereka disyiahkan, (Lihat Buku Saya, Indonesia Tanpa Syiah, Pustaka Amanah, Jatim: 2021).
Last but not least. Propaganda Syiah dengan menggaungkan isu Wahhabi sangat berhasil. Apalagi, dewasa ini isu Wahhabi selalu dihubung-kait dengan terorisme. Lebih parahnya lagi, para teroris ini kerap disebut sebagai anti persatuan, anti NKRI, ingin mendirikan khilafah, tidak menerima Pancasila sebagai dasar negara, dan seterusnya. Akhirnya, ketika isu Wahhabi berembus kencang, Syiah justru menuai simpati, dan masyarakat pun menerima bahkan mendukung penyebarannya. Maka, selaku umat Islam berpaham Ahlussunnah atau Sunni, seharusnya bersatu menahan gerakan Syiahisasi Indonesia, minimal mewaspadai jika tidak mampu membimbing mereka agar kembali ke jalan yang benar.
***********
Enrekang, 2 Juli 2022
Penulis: Dr. Ilham Kadir, MA
(Anggota Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), Pimpinan BAZNAS Enrekang dan Dosen Universitas Muhammadiyah Enrekang)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)
Comments 1