Kisah lain juga disebutkan bahwa Imam malik sangat tidak senang dengan orang yang meremehkan ilmu. Apabila ada orang yang bertanya kepadanya dengan mengatakan,
“Wahai Imam Malik, saya memiliki pertanyaan yang ringan”. Maka Imam Malik pun marah kepada orang tersebut, lalu mengatakan “Tidak ada yang ringan dalam perkara Agama karena Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat (Alquran).” (QS. Al-Muzzammil : 5)
Maka karena ilmu agama adalah perkara yang berat, maka ilmu agama sangat agung. Sehingga seseorang hendaknya mengagungkan ilmu tersebut dengan selektif dalam mencari sumber ilmu yang agung tersebut. Dalam hadits Rasulullah صلى الله عليه وسلمmenyuruh kita selektif dalam memilih teman. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,
“Perumpamaan teman yang salih dengan teman yang buruk bagaikan penjual minyak wangi dengan pandai besi. Perumpaan penjual minyak wangi adalah bisa jadi akan menghadiahkan kepadamu atau kamu membeli darinya, atau kamu akan mendapatkan bau wanginya. Sedangkan pandai besi hanya akan membakar bajumu atau kaum akan mendapatkan baut tidak sedapnya.” (HR. Bukhari 7/96 no. 5534)
Dalam hadits yang lain Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,
“Seseorang tergantung pada agama teman dekatnya, maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat siapa yang dia jadikan sebagai teman.” (HR. Ahmad 2/3342 no. 8398)
Oleh karenanya pepatah Arab mengatakan,
“Sahabat itu menarik.”
Tatkala kita sedang menjalin persahabatan, maka pasti akan terjadi sinkronisasi. Entah kita akan menjadi seperti sahabat kita atau dia (sahabat) akan menjadi seperti diri ktia.Jika tidak terjadi keduanya, maka pasti akan putus persahabatan tersebut. misalnya jika seseorang dsering bergaul dengan orang yang mulutnya senantiasa berkata-kata kotordan ghibah, maka dia akan terbawa pada sifat berkata-kata kotor dan ghibah tersebut. Adapaun jika seseorang sering bergaul dengan orang yang rajin ke masjid dan ke majelis ilmu, maka dia akan terbawa sifat rajin ke masjid dan ke majelis ilmu pula. Mau tidak mau akan terjadi singkronisasi antar sahabat, karena sahabat itu akan menarik sahabat yang lainnya.
Jika ternyata untuk memilih teman harus selektif, maka bagaimana lagi dengan memilih guru agama yang dari mulutnya kita menjadikannya akidah di dalam hati kita dan kita bertemu dengan Allah dengan keyakinan tersebut? Maka hendaknya seseorang berhat-hati dengan tidak menjadikan sembarang orang sebagai sumber ilmu agamanya. Sebagai contoh, sebagian orang terkadang dalam perkara dunia seperti kesehatan dia tidak ingin sembarang dalam memilih dokter untuk melakukan operasi terhadapnya.
Bahkan terkadang sebagian orang rela membayar mahal agar dia mendapatkan dokter yang betul-betul ahli dalam bidang yang dia inginkandan agar tidak terjadi kesalahan dalam penanganan medis tersebut. Tidak perlu jauh-jauh, seseorang yang sakit sederhana saja, terkadang dia pun pilih-pilih dokter yang menurutnya lebih baik dari segi pelayanan atau yang lainnya.Kemudian contoh lain juga tatkala seseorang hendak mengambil guru untuk mengajarkan anaknya dalam perkara dunia, maka pasti dia selektif dalam memilih guru tersebut.Maka apabila seseorang selektif mengambil orang dalam perkara-perkara dunia, terlebih lagi dalam ilmu agama, hendaknya seseorang selektif dalam memilih guru agama.
Perkara selektif dalam memilih guru agama merupakan hal yang sangat dituntut di zaman sekarang. Karena pada zaman sekarang ini sudah sangat sulit untuk membedakan mana yang benar seorang ustaz dan mana yang ustaz karbitan.Pada zaman sekarang semua orang bisa berbicara masalah agama hanya melalui suatu tulisan dan kemudian sebab pandainya dia dalam beretorika maka diangkatlah dia oleh masyarakat sebagai ustaz.
Padahal tatkala berbicara permasalahan yang lain dia tidak tahu sama sekali. terlebih lagi jika ustaz tersebut adalah ustaz yang fleksibel dalam hukum hala-haram, sehingga masyarakat mendapatkan apa yang mereka cari yaitu penghalalan dalam perkara yang ustaz lainnya mengharamkan seperti musik. Ini adalah contoh sederhana dan kita baru berbicara tentang hukum, belum lagi ketika kita berbicara tentang akidah. Dan hal-hal seperti inibenar terjadi di zaman sekarang, dimana seseorang sangat mudah menjadi ustaz atau memberi fatwa.
Di zaman Imam Malik, beliau memiliki guru yang dikenal dengan sebutan Rabi’ah Ar-Ra’yi. Nama beliau adalah Rabi’ah bin Abi Abdirrahman yang merupakan salah seorang tabi’in.Imam Malik meriwayatkan,
“Seorang laki-laki mengabarkan kepadaku bahwa suatu ketika dia datang menemui Rabi’ah bin Abi Abdirrahman, lalu ia melihatnya sedang menangis. Lallu laki-laki terssebut berkata: “Apa yang membuatmu menangis? Apakah ada musibah yang menimpamu?” Maka Rabi’ah berkata: “Tidak, aku menangis karena orang-orang yang tidak berilmu telah dimintai fatwa, sehingga muncullah kerusakan besar di tengah agama Islam ini. Sebenarnya, sebagian orang yang lansang berfatwa, lebih pantas untuk dipenjara dibandingkan para pencuri.” (Jami’ Bayan Al-‘Ilmi wa Fadhlih 2/1225 no. 2410)
Lihatlah bahwa Rabi’ah menangis lantaran ada orang yang tidak memiliki ilmu, akan tetapi dimintai fatwa. Padahal perkara tersebut adalah hal yang besar dalam agama. Rabi’ah sedih karena merasa tidak ada pengagungan terhadap ilmu, sehingga orang-orang bisa mengambil ilmu dari siapa saja.Padahal orang tersebut tidak memiliki landasan agama sama sekali, bahkan mungkin baru sebulan hijrah mendalami ilmu agama kemudian telah berani berkomentar masalah agama.
Tentunya kita akan sangat senang tatkala melihat saudara kita yang lain hijrah. Akan tetapi tidak serta merta setelah hijrah langsung menjadi ustaz. Kalau hanya sekedar menjadi motivator dalam mengajak seseorang berhijrah dengan kisahnya adalah hal yang boleh. Akan tetapi jangan langusung menjadi ustaz yang bisa mengomentari berbagai macam perkara agama. Fenomena seperti ini banyak terjadi, dan dahulu saya pernah mendengar bahwa di Mesir banyak orang yang baru hijrah kemudian langsung berceramah. Dan para ulama mengingkari hal-hal tersebut. ketahuilah bahwa fenomena seperti ini adalah perendahan terhadap ilmu.
Kemudian ketahuilah bahwa Rabi’ah wafat pada tahun 136H. Kemudian perkataan beliau di atas, kembali dinukil oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziah yang wafat tahun sekitar 750-an H dan berkata, “Bagaimana jika saja Rabi’ah melihat orang di zaman sekarang ini (semangat berfatwa)?” Maka kita juga ikut mengatakan bahwa bagaimana jika Rabi’ah hidup di zaman sekarang, terlebih lagi di Indonesia yang sangat banyak orang menggampangkan untuk berfatwa? Bisa jadi mungkin beliau akan menangis setiap harinya.
Terkadang kita melihat ada seorang ahli kimia yang berbicara sesuai bidangnya, akan tetapi kita lihat bahwa tidak ada orang yang berani mengomentarinya karena menyadari bahwa dia tidak ahli dibidang tersebut. Begitupula dengan masalah kedokteran, tidak semua orang berani mengomentari. Akan tetapi yang mengherankan adalah kenapa jika hal tersebut adalah urusan agama yang merupakan syariat Allah Subhanahu Wata’ala, semua orang berani berkomentar? Padahal mereka mungkin adalah orang yang baru belajar agama, tidak mengetahui bahasa Arab, dan bahkan tidak pandai membaca Alquran dengan benar. Jika matematika yang salah dalam menghitung akan menghasilakan kesalahan yang besar, maka bagaimana lagi jika seseorang salah dalam berbicara urusan syariat agama.
Jika pada akhirnya kita salah dalam memilih guru, kemudian darinya kita mendengarkan dan menyerap berbagai macam syubhat, perkara yang tidak jelas, dan ilmu akidah yang menyimpang, maka kita akan kerepotan nantinya untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut. maka jangan membuat susah diri kita dengan mendengarkan berbagai macam syubhat.
Cukupkan diri dengan mendengarkan ilmu dari orang yang kita tahu bahwa dia berada di atas ilmu yang benar. Oleh karenanya mengingat di zaman ini betapa banyak orang yang pandai berbicara agama, maka hendaknya seseorang selektif dalam mencari ilmu dan guru agama. Karena sesungguhnya setiap orang akan bertemu Allah dengan ilmu tersebut, maka jangan sampai seseorang salah dalam berkeyakinan.
Inilah yang bisa kita bahas pada kesempatan kali ini, semoga Allah memebri ampunan bagi kita semua dan mengumpulkan kita di surgaNya kelak.
*************
Penulis : Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc MA
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah