Hampir dua tahun sejak dimulainya genosida Israel di Jalur Gaza, sebuah seruan yang belum pernah terjadi sebelumnya mengguncang panggung internasional. Presiden Kolombia, Gustavo Petro, dari podium Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menyerukan pembentukan pasukan internasional untuk membebaskan Palestina. Seruan ini lahir dari kesadaran dunia yang kian tergerak oleh penderitaan rakyat Gaza, yang selama berbulan-bulan dihantam bom, blokade, dan kelaparan sistematis akibat pendudukan Israel.
Seruan Petro: Dari Solidaritas ke Tindakan Nyata
Dalam pidatonya di Majelis Umum PBB, Petro meminta negara-negara di belahan bumi selatan untuk membentuk pasukan internasional guna “membebaskan Palestina” dan melawan “tirani serta totalitarianisme” yang dipromosikan oleh Amerika Serikat dan NATO. Ia menegaskan bahwa kecaman belaka tak lagi memadai ketika ribuan warga sipil Palestina setiap hari menjadi korban serangan Israel di Gaza dan Tepi Barat.
“Negara-negara yang tidak menerima genosida harus berani membentuk pasukan bersenjata untuk membela kehidupan rakyat Palestina,” ujar Petro, menekankan urgensi tindakan nyata.
Dukungan Brasil: Momen Simbolis yang Mengguncang
Pidato Petro mendapat dukungan mengejutkan. Kamera televisi dunia menangkap momen emosional ketika Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, mencium kepala Petro sebagai bentuk solidaritas. Dalam pernyataannya, Lula menegaskan otoritas PBB kini dipertaruhkan.
“Tidak ada perdamaian tanpa keadilan, dan tidak ada alasan yang bisa membenarkan genosida yang sedang berlangsung di Gaza,” kata Lula.
Ia menambahkan, kecaman verbal tidak lagi menyelamatkan nyawa, menegaskan bahwa dunia membutuhkan langkah konkret menghentikan pembantaian.
Gaza: Luka yang Menjadi Simbol Kemanusiaan Dunia
Petro mengaitkan pengalaman panjang negaranya dalam menghadapi perang dan kekerasan dengan penderitaan Palestina, menekankan bahwa tragedi Gaza adalah luka kemanusiaan global. Baginya, Palestina bukan lagi sekadar isu politik, tetapi ujian moral bagi umat manusia.
Melalui platform X, Petro bahkan menulis lantang: “Bebaskan Palestina. Jika Gaza jatuh, umat manusia akan mati.”
Pasca-Badai Al-Aqsa: Pergeseran Kesadaran Dunia
Seruan Petro muncul dalam konteks transformasi global sejak Pertempuran Badai Al-Aqsa, Oktober 2023. Serangan dan invasi brutal Israel yang menyusul peristiwa itu menyingkap wajah asli kolonialisme pemukim. Klaim Israel tentang “pembelaan diri” runtuh di hadapan fakta genosida, penghancuran rumah sakit, kelaparan massal, dan pengusiran paksa jutaan penduduk.
Para pengamat menilai, pidato Petro menjadi titik balik. Wacana “solusi dua negara” kini dianggap basi dan tak lagi cukup. Narasi baru muncul: “membebaskan Palestina” dan “menyelamatkan Gaza”.
Dari Protes ke Perlawanan
Penulis dan analis politik, Ahmed Bashir Al-Aila, menyebut Petro sebagai sosok yang meluncurkan pergeseran kualitatif dalam wacana politik kiri global. “Pidatonya bukan sekadar kritik imperialisme Amerika atau kapitalisme global, tapi sebuah seruan praktis yang belum pernah ada sebelumnya: membentuk pasukan internasional untuk membebaskan Palestina,” tulisnya.
Menurut Al-Aila, ini bukan lagi sebatas solidaritas, melainkan langkah menuju perlawanan nyata dan terorganisir. Seruan Petro, katanya, adalah “pernyataan paling kuat kaum kiri global dalam sejarah tentang Palestina.”
Dunia yang Berubah
Kini, dunia menyaksikan pergeseran besar. Uni Eropa mulai mempertimbangkan penangguhan Perjanjian Perdagangan Bebas dengan Israel, sebuah langkah yang tak pernah terjadi sebelumnya. Gelombang pengakuan terhadap Palestina terus meluas, termasuk dari negara-negara besar seperti Inggris, Prancis, Kanada, hingga Australia.
Sementara itu, laporan media ekonomi Israel, The Marker dan Calcalist, menunjukkan situasi suram: kontrak senjata batal, hubungan dagang terguncang, dan Israel semakin bergantung pada Amerika Serikat.
Ujian Moral Global
Seruan Petro untuk pasukan global memang masih dianggap mustahil diwujudkan. Namun, usulan seorang kepala negara saja sudah cukup untuk membuka babak baru: dunia tak lagi bisa bersembunyi di balik kata-kata kecaman. Gaza telah menjadi cermin yang memaksa umat manusia menatap wajahnya sendiri—apakah akan diam melihat genosida, atau bergerak menghentikannya.
Bagi banyak pihak, Palestina bukan lagi isu regional. Ia telah menjelma menjadi tolak ukur nurani dunia.
Sumber: Palinfo