Allah berfirman dalam al-Qur’an surat adz-Dzariyaat [51]: 56
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ
Artinya: “Tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”
Secara redaksi, ayat itu mengisyaratkan bahwa ibadah merupakan tujuan penciptaan manusia, dan karena itu ia harus menjadi bagian dari seluruh kehidupan seorang manusia.
Mungkin ada yang bertanya, bagaimana kita bisa mengisi semua hidup kita dengan ibadah kepada Allah. Bukankah manusia harus bekerja, berdagang, mengurus sawah, mengurus anak, makan dan minum, beristirahat, bahkan berekreasi, dll. Apakah mungkin hidup ini semua diisi semua dengan ibadah seperti shalat, membaca al-Qur’an, berzikir, dan ritual-ritual lainnya?
Pertama-tama, harus dipahami dulu arti ibadah. Secara bahasa ibadah berarti taat atau patuh. Menurut al-Jurjani dalam kitab al-Ta’rifat ibadah adalah perbuatan seorang mukallaf melawan keinginan pribadinya dalam rangka memuliakan Tuhannya. Adapun Ibn Taimiyyah mengatakan ibadah adalah semua perbuatan yang dilakukan dalam rangka mencari ridha Allah.
Kesimpulannya: kunci ibadah adalah memuliakan Allah dengan mengharap ridha-Nya.
Para ulama membagi ibadah dalam dua jenis: ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Apa beda keduanya? Syekh Muhammad al-Ghazali, ulama al-Azhar, mengatakan bahwa ibadah mahdhah artinya ibadah yang cara, waktu, dan kadarnya sudah ditetapkan Allah. Tidak boleh ditambah ataupun dikurangi. Misalnya shalat. Rasulullah bersabda:
وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى
Artinya: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” (HR. Bukhari).
Hal yang sama juga berlaku pada ibadah lain seperti puasa, zakat, atau haji. Semua ibadah ini sudah ada ketentuannya secara terperinci yang tidak boleh diotak atik semaunya.
Sedangkan ibadah ghairu mahdhah tidak secara ketat mengatur cara, waktu, dan kadarnya. Yang penting, hal itu memang diperintahkan atau dibolehkan Allah SWT serta diniatkan untuk mencari keridhaan Allah. Misalnya, bekerja, berniaga, berdakwah, bersilaturahim, bersedekah, belajar, mengajar, tolong menolong, mandi, makan-minum, dll.
Ada juga yang melihat perbedaan ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah dilihat dari sisi maknanya secara akal. Kata Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, ibadah mahdhah adalah ibadah yang maknanya tidak dapat dimengerti oleh akal. Mahdhah sendiri artinya murni, artinya perbuatan yang murni dilakukan demi ketaatan kepada Allah.
Contoh: akal tidak dapat memahami mengapa shalat Shubuh dua rakat sedangkan Isya empat rakaat. Akal juga tidak dapat mengerti mengapa puasa harus dilakukan 30 hari, bukan dua minggu, atau tiga bulan. Kalaupun ada alasannya, sifatnya spekulasi saja. Meski, itu bukan berarti ibadah ini tidak ada manfaatnya, hanya saja akal tidak mampu menyimpulkannya.
Adapun ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang tujuan atau manfaatnya dapat dipahami oleh akal. Misalnya, bekerja, atau makan dan minum. Ibadah ini dapat dipahami tujuan dan manfaatnya oleh akal. Begitu juga, belajar, mengajar, bersilaturahim, bersedekah, berbakti pada orangtua, dll. Itu sebabnya, ibadah ini boleh jadi tidak benar-benar murni karena ketaatan kepada Allah SWT.
Terlepas perbedaan kedua ibadah ini, satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah niat. Niat adalah penentu apakah suatu perbuatan merupakan ibadah yang berpotensi pahala atau tidak, baik itu ibadah mahdhah maupun ghairu mahdhah. Rasulullah bersabda:
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى
Artinya: “Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya dan seseorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR Bukhari & Muslim).
Contoh: shalat tanpa niat hukumnya tidak sah. Dalam mazhab Syafi’i, sebelum shalat disunnahkan mengucapkan niat, supaya hati benar-benar terpusat perhatiannya untuk menghadap Allah. Adapun mandi di hari Jumat hanya akan menjadi perbuatan mubah (tidak berpahala), kecuali jika diniatkan untuk mengikuti sunnah Rasul.
Dari uraian di atas, dapatlah dimengerti bahwa ibadah itu sangat luas pengertiannya. Artinya, bukanlah mustahil untuk menjadikan seluruh aktifitas manusia sebagai ibadah, sepanjang memang diniatkan demikian. Yang penting, esensi semua itu adalah mengagungkan Allah dan mencari keridhaan-Nya serta harapan memperoleh pahala akhirat dari-Nya.
Dalam Hadits dikatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda,
كَمْ مِنْ عَمَلٍ يَتَصَوَّرُ بِصُوْرَة أعْمالِ الدّنْياَ وَيَصِيْرُ بِحُسسْنِ النِيَّة مِن أَعْمَالِ الآخِرَة، كَمْ مِنْ عَمَلٍ يَتَصَوَّرُ بِصُوْرَة أعْمالِ الأخرة ثُمَّ يَصِيْر مِن أَعْمَالِ الدُّنْيَا بِسُوْءِ النِيَّة
Artinya: “Banyak sekali amal perbuatan yang tergolong amal keduniaan, tapi karena didasari niat yang baik maka tergolong menjadi amal akhirat. Dan banyak sekali amal perbuatan tergolong amal akhirat, tapi ternyata ia tergolong amal dunia karena didasari niat yang buruk.”
Oleh karena itu, jadikanlah setiap aktifitas kita sebagai ibadah kepada Allah, baik mahdhah ataupun ghairu mahdhah, karena untuk itulah kita diciptakan-Nya.
***********
Penulis: Dr. Wendi Zarman, M.SI
(Penulis Buku dan Dosen UKI)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)