Bulan September 2025 ini, dunia pendidikan Indonesia dihebohkan dengan keputusan yang sangat kontroversial. Sebanyak 17 guru besar (profesor) di Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dicabut gelarnya.
Kejadian ini langsung menarik perhatian banyak pihak. Mulai dari akademisi hingga masyarakat umum. karena gelar guru besar merupakan puncak tertinggi dalam dunia akademik, yang biasanya dicapai oleh individu dengan prestasi luar biasa dalam penelitian dan pengajaran.
Pencabutan gelar ini merupakan tindakan yang jarang terjadi, mengingat gelar tersebut bukan sekadar simbol prestasi, tetapi juga merupakan pencapaian yang didambakan banyak dosen di dunia pendidikan tinggi.
Keputusan ini menimbulkan berbagai pertanyaan. Mengapa 17 guru besar yang selama ini dikenal memiliki reputasi tinggi dalam dunia akademik harus kehilangan gelarnya? Alasan di balik keputusan besar ini memiliki dampak yang luas.
Menurut informasi, pencabutan gelar ini berkaitan dengan temuan pelanggaran etika akademik berupa plagiarisme dalam sejumlah publikasi ilmiah yang dibuat oleh para dosen tersebut.
Walaupun masih dugaan, universitas mengungkapkan bahwa pencabutan gelar dilakukan setelah upaya penyelesaian yang cukup panjang, yang melibatkan pembelaan diri yang bersangkutan.
Namun, pihak universitas merasa tidak ada langkah pembelaan yang memadai. Akhirnya keputusan ini diambil.
Keputusan ini tentu menimbulkan berbagai reaksi. Bagi masyarakat umum, ini adalah peringatan terkait betapa seriusnya masalah etika akademik dalam dunia pendidikan tinggi.
Bagi mahasiswa bisa menjadi hal yang mengguncang kepercayaan mereka terhadap para pengajar yang telah memperoleh gelar tertinggi.
Tidak kalah penting, bagi dunia pendidikan, kasus ini berpotensi merusak citra universitas serta mengundang pertanyaan besar mengenai standar integritas di kampus-kampus Indonesia.
Dampak Pencabutan Gelar
Pencabutan gelar guru besar terhadap 17 dosen Universitas Lambung Mangkurat berdampak luas. Paling mencolok adalah rusaknya citra akademik universitas itu sendiri.
Gelar guru besar yang selama ini dihormati sebagai simbol kehormatan di dunia akademik kini dinodai oleh keputusan yang mencederai reputasi mereka.
Bagi masyarakat, ini bisa menjadi bukti bahwa dunia pendidikan tidak selalu bersih dari pelanggaran serius.
Bagi civitas akademika ULM, ini tentunya menimbulkan kekecewaan mendalam. Para dosen yang terlibat adalah individu yang selama ini dianggap sebagai panutan dalam dunia pengajaran dan penelitian.
Pencabutan gelar ini memberi sinyal bahwa meskipun seseorang memiliki jabatan tinggi, tindakan tidak terpuji seperti plagiarisme bisa merusak segalanya.
Dampak sosialnya pun tak kalah besar. Dunia pendidikan Indonesia, yang sedang berupaya untuk meningkatkan kualitas dan reputasi global, menghadapi tantangan baru dalam menjaga kredibilitasnya.
Ini bisa menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan tinggi di Indonesia, terutama ketika dunia pendidikan global semakin menekankan pada standar etika dan transparansi dalam penelitian ilmiah.
Namun, tidak hanya itu. Dalam dunia pendidikan yang semakin kompetitif, kasus ini juga menyadarkan banyak pihak tentang pentingnya pengawasan dan penegakan etika akademik yang lebih ketat.
Dunia pendidikan tinggi di Indonesia harus segera merenungkan ulang bagaimana cara mereka membangun dan menjaga integritas akademik yang tidak hanya mengandalkan prestasi pribadi, tetapi juga menghormati nilai-nilai kejujuran dan keadilan.
Tinjauan Hukum
Menurut undang-undang di Indonesia, setiap perguruan tinggi memiliki kewenangan untuk memberikan dan mencabut gelar akademik kepada mahasiswanya atau tenaga pengajar sesuai dengan peraturan.
Namun pencabutan gelar ini tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Ada sejumlah prosedur hukum yang harus diikuti untuk memastikan bahwa keputusan tersebut sah dan adil.
Menurut Dr. Ahmad Syarif, seorang pakar hukum pendidikan dari Universitas Indonesia, pencabutan gelar profesor atau guru besar tidak bisa dilakukan tanpa adanya dasar hukum yang jelas.
“Berdasarkan peraturan yang ada, terutama dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, gelar akademik hanya dapat dicabut jika terbukti ada pelanggaran berat terhadap kode etik akademik atau hukum yang berlaku.”
Dr. Ahmad menjelaskan bahwa proses pencabutan gelar harus melalui mekanisme yang transparan dan melibatkan proses klarifikasi serta pembelaan dari pihak yang bersangkutan.
“Jika prosedur ini tidak diikuti, maka pencabutan gelar bisa dianggap sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang.”
Dalam hal ini, pihak Universitas Lambung Mangkurat perlu memastikan bahwa mereka telah mengikuti semua tahapan yang sah dan adil.
Jika tidak, maka dapat muncul potensi tuntutan hukum dari pihak dosen yang bersangkutan, yang bisa menuntut keadilan atas pencabutan gelar tersebut.
Mereformasi Sistem Pendidikan
Kasus pencabutan gelar ini membuka wacana yang lebih luas tentang pentingnya mereformasi sistem pendidikan tinggi di Indonesia.
Salah satu langkah yang perlu segera diambil adalah penguatan mekanisme pengawasan terhadap integritas akademik.
Integritas ini tidak hanya mencakup kejujuran dalam penelitian, tetapi juga dalam pengajaran, publikasi ilmiah, dan semua aktivitas yang dilakukan di dunia pendidikan.
Untuk mencegah kasus serupa terulang, pemerintah, lembaga pendidikan, dan para akademisi harus bekerja sama untuk menyusun kebijakan yang lebih ketat dalam hal pencegahan plagiarisme.
Dalam hal ini, teknologi bisa dimanfaatkan untuk mendeteksi tindak plagiarisme sejak dini, agar pelanggaran semacam ini tidak terlewatkan.
Selain itu, ada kebutuhan mendesak untuk memperkenalkan pelatihan dan pembekalan kepada para dosen dan mahasiswa mengenai etika penelitian dan penulisan ilmiah.
Penyuluhan ini perlu dilakukan secara reguler, agar para akademisi tidak hanya terampil dalam hal riset, tetapi juga memahami pentingnya menjaga integritas dalam setiap langkah yang mereka ambil.
Reformasi lain yang perlu dilakukan adalah penguatan sistem sanksi. Sanksi yang diterapkan terhadap pelanggar etika akademik haruslah lebih jelas dan tegas, agar memberikan efek jera yang cukup.
Sanksi tidak hanya berlaku bagi mahasiswa, tetapi juga untuk para dosen yang dianggap melanggar standar etika akademik yang telah ditetapkan oleh universitas.
Kesimpulan
Pencabutan gelar 17 guru besar di Universitas Lambung Mangkurat sebuah peringatan bagi dunia pendidikan Indonesia bahwa masalah plagiarisme dan pelanggaran etika akademik masih menjadi isu serius yang harus ditangani dengan lebih baik.
Meskipun langkah universitas ini perlu diapresiasi dalam konteks penegakan integritas akademik, namun keputusan yang diambil harus melalui proses yang adil dan transparan.
Ke depan, dunia pendidikan di Indonesia harus mereformasi dan memperkuat sistem pengawasan serta menegakkan aturan dengan lebih ketat.
Dunia akademik harus menjaga integritas dan kepercayaan publik, serta memastikan bahwa kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh angka dan gelar, tetapi juga oleh kejujuran dan etika yang dijunjung tinggi.
Dengan begitu, kasus ini bukan hanya menjadi pelajaran bagi Universitas Lambung Mangkurat, tetapi juga untuk seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Dunia pendidikan kita harus terus bertransformasi, menjaga kualitas dan kredibilitasnya di tengah tantangan global yang semakin kompleks.
***********
Penulis: R. Arif Mulyohadi
(Dosen Prodi Hukum Pidana Islam, Institut Agama Islam Syaichona Mohammad Cholil Bangkalan dan anggota Ikatan Cendekiawan Muslim (ICMI) Orwil Jatim)
Demikian Semoga Bermanfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)