RIDHA SYAR’I DARI KEDUA BELAH PIHAK
Kaidah ini berlandaskan al Qur`an, Sunnah dan Ijma’ ulama. Kaidah ini berlaku dalam segala jenis, baik dalam akad transaksi jual beli, sewa-menyewa, musyarokah, hadiah, wakaf, dan sebagainya.
Ridha seseorang dapat diketahui melalui perkataannya, atau segala sesuatu yang mengisyaratkan sikap ridhanya, baik lisan ataupun tindakan.
Kata ridha diiringi dengan sifat syar’i. Tujuannya, dimaksudkan untuk meniadakan ridha anak kecil, orang dungu, orang gila dan orang-orang yang tidak dibebani dengan kewajiban hukum. Karena ridha mereka tidak berarti, dan setiap transaksi mereka diwakilkan oleh walinya.
Penting untuk diketahui, bahwa ridha yang dianggap benar dan sah dari kedua belah pihak yang bertransaksi, harus bersesuaian dengan syari’at. Bila syari’at melarang transaksi tersebut, maka tetap haram walaupun manusia meridhainya.
AKAD HARUS BERASAL DARI PEMILIK BARANG,
PEMILIK HAK ATAU WAKILNYA
Kaidah ini berdasarkan dalil al Qur`an, Sunnah dan Ijma’ serta Qias yang shahih untuk berlaku adil. Pemilik barang atau jasa dan wakilnya, merekalah yang berhak untuk menentukan segalanya, baik untuk meneruskan transaksi atau membatalkannya.
Atas dasar itu, seseorang yang ingin menjual barang, meminjamkan, menghadiahkan, mewasiatkan, mewakafkan, atau menggadaikannya dan sebagainya, tetapi dia bukan sebagai pemiliknya, maka mu’amalah tersebut tidak sah, sampai ia mendapatkan izin dari pemiliknya.
Masih berkaitan dengan kaidah ini, seseorang tidak berwenang dengan barang yang belum sempurna akad transaksinya, sampai ia telah resmi menjadi pemilik barang tersebut, baik dengan meletakkan barang di rumahnya atau dalam genggaman tangannya, dan tanda kepemilikan lainnya.
Contoh lain dari kaidah ini, pemilik barang yang masih tersangkut dengan hak orang lain. Misalnya, barang yang digunakan untuk jaminan atau barang yang merupakan milik patungan dengan orang lain, maka pemilik barang tidak boleh secara mutlak untuk bertransaksi, kecuali setelah mendapat izin dari syarikatnya atau yang memiliki kepentingan dengan barang tersebut.
AKAD YANG MENGANDUNG UNSUR MENINGGALKAN PERKARA WAJIB ATAU PERBUATAN HARAM, MAKA TRANSAKSINYA MENJADI HARAM DAN TIDAK SAH
Hal ini telah disebutkan di beberapa tempat. Semisal yang telah disebutkan dalam surat al Jumu’ah tentang haram dan tidak sahnya akad jual beli yang dilakukan setelah adzan Jum’at bagi laki-laki yang telah diwajibkan shalat Jum’at. Setiap amalan yang menyibukkan dia sehingga meninggalkan kewajiban, maka amalan tersebut haram. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi” (QS. al-Munafiqun/63:9)
Demikian juga, jual beli yang digunakan untuk yang haram, seperti anggur yang digunakan untuk minuman keras, senjata yang digunakan untuk merampok atau membunuh, maka diharamkan dan tidak sah.
***********
Penulis: Ustadz Mu’tashim
Maraji` :
- Fiqh wa Fatawa al Buyu`, karya as Sa’di, Fatawa wa Qawaid Tatallaqu bi Ahkami al Buyu`, hlm. 241-263. Cet. Adhwa-u as Salaf.
- Asy Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, Syaikh al ‘Utsaimin, Jilid 8, Cet. Muassasah Salam.
- Al Mulakhas al Fiqhi, Shalih al Fauzan, Jilid 2, Cet. Daar Ibn al Jauzi.
- Al Wajiz, ‘Abdul ‘Azhim Badawy, Cet. Ibn Rajab.
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel : www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)