Ditilik dari sudut bahasa, amil berarti pekerja, akar katanya dari, ‘amila-ya’malu yang berarti bekerja. ‘Amil adalah pelaku atau disebut fa’il dalam ilmu morfologi Arab (sharf). Dari sisi istilah, amil adalah profesi yang bertugas mengelola zakat melalui kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
Penyebutan kata amil secara jelas dalam Al-Qur’an hanya sekali, ada pada surah At-Taubah ayat ke-60, yakni “wal-‘amilina ‘alaiha” atau para pengelola zakat yang juga berhak mendapatkan bagian zakat dari total delapan golongan (asnaf). Karena zakat secara resmi telah diatur oleh negara, terutama sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011, maka para amil harus diangkat dan diberhentikan oleh negara.
Pada praktiknya, zakat dikelola dua jenis lembaga dan amil. Lembaga pemerintah yang dikenal dengan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dikelola swasta. Ada pun amil dari Baznas maka akan dilantik dan diberhentikan oleh pemerintah sedangkan LAZ harus mendapatkan rekomendasi dari Baznas dan Kementrian Agama.
Maka secara sederhana, amil zakat dapat diartikan sebagai orang atau golongan yang ditunjuk dan disahkan oleh pemerintah untuk mengurus zakat, dengan memiliki tugas mengambil zakat dari orang kaya untuk diberikan kepada mustahik. Fungsi utama amil adalah sebagai pelaksana segala urusan zakat yang meliputi: pengumpulan, penyimpanan, pemeliharaan, pencatatan, serta pendistribusian dan pendayagunaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya, (Hamka, dkk., 2021: 18).
Pengertian ini membawa kita untuk melakukan pembagian tingkatan amil yang ada di dalam lembaga zakat negri dan swasta. Setidaknya dapat dipecah menjadi tiga tingkatan.
Pertama. Mereka yang secara full time mengurus zakat, menjadikan amil sebagai first job, atau profesi utama dan yang pertama. Artinya profesi lain selain amil hanya sebagai tambahan saja sehingga second job tidak merusak pekerjaan utamanya. Ciri amil yang profesional dan totalitas ada pada kategori ini, segenap hidupnya memikirkan kesuksesan lembaga Baznas misalnya, serta berusaha memberikan dampak positif yang mampu diperbuat untuk umat. Ini tentang siapa berkorban untuk apa, dan siapa yang mampu mempersembahkan karya yang terbaik kepada lembaga zakat, bangsa dan umat.
Untuk menjadi amil yang totalitas tentu harus ditunjang dengan berbagai aspek, baik perangkap lunak maupun keras (hardware). Perangkap lunak (software) meliputi ilmu pengetahuan tentang syariat zakat, managemen, sikap profesional, dan kepemimpinan. Sedangkan perangkap keras berupa kantor yang representatif, fasilitas penunjang seperti komputer, laptop, kendaraan, handphone, kamera, dan semisalnya.
Namun harus dipahami bahwa fundraiser zakat, infak, dan sedekah berbeda dengan penggalangan dana lainnya. Sebab, masyarakat muslim yang berzakat pada prinsipnya bukan karena ketaatan kepada pemerintah semata, melainkan karena dorongan agama. Di sinilah letak kesalahan beberapa amil zakat, mereka selalu mendahulukan perintah undang-undang sebelum perintah syariat. Padahal, undang-undang zakat itu berlandaskan syariat. Dan ini sangat jelas dituangkan dalam Undang-Undang No. 23/2011 Bab satu pasal satu ayat satu, bahwa pengelolaan zakat berdasarkan syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi dan akuntabilitas.
Maka, tidak boleh ada amil yang tidak paham fikih zakat. Berangkat dari pengalaman penulis menjadi amil, belum pernah saya menemukan orang yang akan berzakat, bertanya tentang undang-undang zakat, tetapi selalu pertanyaannya terkait seputar dalil-dalil zakat baik ayat Al-Quran maupun sunnah dan berbagai pandangan ulama salaf dan kontemporer. Minimal memahami dalil-dalil zakat, infak, dan sedekah sehingga mampu memberikan pencerahan kepada para calon muzakki.
Karenanya, kompetensi utama seorang amil adalah harus bagus bacaan Al-Qurannya, karena dalil-dalil zakat, berasal dari Al-Quran dan hadis. Tidak boleh ada alasannya bahwa amilnya dari kalangan prfesional atau tokoh masyarakat sehingga tidak harus bagus bacaan Al-Qurannya. Pahamilah dengan baik, bahwa segenap amil adalah pejuang syariat, sehingga harus menjadi contoh dalam mengamalkan syariat, dan itu semua diukur dengan sejauhmana kemampuan seorang amil membaca Al-Quran dan menjalankan syariat agama dengan istiqamah. Demikian pula, konyol kalau seorang amil yang telah bergabung di lembaga zakat tapi anti syariat. Amil zakat yang penuh waktu, bekerja profesional juga berhak mendapat honor yang sesuai, minimal akumulasi gaji pokok dan honor tambahannya di atas upah minimum regional.
Profesionalisme lainnya dapat diukur dengan kompetensi, taat disiplin dan kesiapan mempersembahkan yang terbaik untuk lembaga. Ketepatan masuk kantor juga menjadi bagian penting, sehingga terlihat bahwa para amil kerja serius. Sebab jika datang ke kantor tanpa jelas waktunya, maka waktu pelayanan pun tidak jelas, sehingga para amil tidak jelas pelayanannya pada muzakki dan mustahik. Sehingga semuanya samar-samar, dan yakinlah bahwa amil yang bertugas dilembaga zakat tanpa ada aturan dan standar operasional prosedure tidak akan pernah sukses dan lembaganya tidak akan pernah memberikan harapan dan masa depan cerah.
Kedua. Amil zakat setengah waktu, artinya, jenis amil ini tidak sepenuhnya bekerja untuk mengelola zakat. Hanya menjadikan Baznas sebagai pekerjaan nomor dua atau nomor sekian. Biasanya amil jenis ini mendahulukan pekerjaannya di tempat lain dari pada di Baznas. Kewajibannya sebagai guru, dosen, pedagang, kontraktor, biro haji-umrah, dan semisalnya diutamakan daripada masuk kantor. Sehingga tata kola zakat tidak maksimum bahkan kocar-kacir. Tidak pernah memahami visi dan misi lembaga, bahkan tidak mau tau tentang rencana strategis jangka panjang. Dan amil semacam ini juga mendapatkan upah lebih banyak dari luar dibandingkan honornya sebagai amil.
Beberapa kali saya bertemu dengan pimpinan Baznas daerah. Sebelum saya bertanya lebih jauh, mereka sudah promosikan diri sebagai ketua yayasan, pengurus oragnisasi ini dan itu, mengajar di berbagai kampus, dan seterusnya. Amil jenis ini, terutama jika pimpinan, akan sulit dimengerti bagaimana bisa membagi waktu dengan tepat. Tentu tidak salah kalau orang-orang super sibuk dan tokoh atau ulama bisa menjadi amil, tetapi tentu tidak efektif kalau seorang pemimpin memiliki segudang kesibukan yang membuat tidak bisa fokus membesarkan Baznas, tetapi hanya membesarkan dirinya.
Ketiga. Amil temporer. Amil jenis ini umumnya muncul pada saat-saat tertentu, milsanya ketika Bulan Ramadhan tiba, masyarakat muslim secara sadar serentak menunaikan ibadah zakat fitrah. Bagitu antusiasnya masyarakat kita mengeluarkan zakat fitrah sehingga para amil pun harus diperbanyak. Minimal setiap masjid harus ada amil yang selalu siap melayani para muzakki. Amil musiman ini juga perlu dibekali ilmu fikih zakat fitrah, sehingga paham substansi zakat fitrah, kapan harus dibayar, dengan apa, berapa besaran zakatnya, didistribusikan kemana dan siapa saja yang wajib bayar zakat. Dan yang terpenting, para amil harus mendoakan para muzakki, apakah itu zakat harta atau zakat fitrah, sebab salahsatu tujuan orang berzakat di lembaga zakat resmi supaya muzakki didoakan oleh para amil. Doanya yang ma’tsur dan masyhur adalah, Ajrakallah fima a’thaeta wa baaraka fimaa abqaeta. Semoga Allah alirkan pahala dai zakat yang Anda keluarkan, dan memberkahi harta Anda yang tersisa.
Last but not least. Menjadi amil, bukan saja sekadar fundraiser, dan para muzakki dan munfik bukan sekadar pegiat filantropi. Mereka mengeluarkan zakat dan atau sedekahnya tidak semata karena ingin berbagi kepada sesama. Melainkan didasari dari konsep targhib dalam Islam, sebuah motivasi dimana para pemurah akan mendapatkan ganjaran pahala di sisi Allah dan dengan itu mereka akan dimasukkan ke dalam surga lewat pintu mana saja yang mereka pilih.
Demikian pula dengan tarhib, konsep dimana manusia diharuskan menjauhi sifat-sifat tercela seperti kikir, tamak, dengki, lalai karena harta, dan bagi pelakunya diganjar dosa dan mendapat ancaman neraka. Narasi targhib dan tarhib ini harus dipahami dan dikuasai oleh seorang amil, agar para dermawan tertarik menafkahkan sebagian hartanya, baik sembunyi-sembunya (sirr) maupun terang-terangan (‘ala niyah), yang pertama merupakan infak untuk perorangan dan menyasar orang-orang terdekat (aqrabiin) dan yang kedua adalah zakat dan sedekah untuk kemaslahatan umum dan dikelola oleh lembaga zakat yang kredibel seperti Baznas atau lembaga zakat swasta yang telah teruji dan terpuji kinerjanya.
***********
Enrekang, 13 April 2021
Penulis: Dr. Ilham Kadir, MA
(Alumni Kaderisasi Seribu Ulama BAZNAS RI, Pimpinan BAZNAS Enrekang dan Dosen Universitas Muhammadiyah Enrekang)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)