Para ulama sepakat bahwa gharar terlarang dalam akad komersial, sebagaimana keterangan di atas. Lalu, bagaimana dengan akad sosial? Para ulama berbeda pendapat menjadi dua pendapat:
Pertama: Diperbolehkan adanya gharar dalam akad tabarru’at. Inilah pendapat mazhab Malikiyyah, serta dirajihkan oleh Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim. Mereka berdalil dengan hadits Amr ibn Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya yang berbunyi:
فَقَامَ رَجُلٌ فِي يَدِهِ كُبَّةٌ مِنْ شَعْرٍ فَقَالَ أَخَذْتُ هَذِهِ لِأُصْلِحَ بِهَا بَرْذَعَةً لِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمَّا مَا كَانَ لِي وَلِبَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَهُوَ لَكَ
“Maka ada seseorang yang membawa sekumpulan bulu rambut (seperti wig) berdiri di tangannya, lalu berkata, ‘Aku mengambil ini untuk memperbaiki pelana kudaku.’ Kemudian Rasulullah صلى الله عليه وسلم, bersabda, ‘Adapun yang menjadi hakku dan Bani Abdil Muthalib, maka itu untukmu.'” (HR Abu Dawud dan dinilai hasan oleh al-Albani dalam lrwa’ al-Ghalil 5/36-37)
Dalam hadits ini, Rasulullah صلى الله عليه وسلم menghadiahkan bagiannya dan bagian Bani Abdil Muthalib dari benda tersebut, dan tentunya ukurannya tidak jelas. Dengan demikian gharar tersebut tidak berlaku pada akad tabarru’at.
Pendapat ini dikuatkan dengan “kaidah asal dalam muamalah adalah sah”, baik dalam akad mu‘awadhah ataupun tabarru‘at. Asal hukum ini tidak berubah dengan larangan Rasulullah صلى الله عليه وسلم dari gharar dalam hadits Abu Hurairah رضي الله عنه di atas, karena itu menyangkut akad mu’awadhah saja. Apalagi perbedaan antara akad mu’awadhah dengan tabarru’at telah jelas. Akad mu’awadhah dilakukan oleh seseorang yang ingin melakukan usaha dan perniagaan, sehingga disyaratkan pengetahuan dan kejelasan yang tidak disyaratkan dalam akad tabarru’at. Hal ini terjadi karena akad tabarru’at yang dilakukan oleh seseorang, tidaklah untuk usaha, namun untuk berbuat baik dan menolong orang lain.
Kedua: Gharar berlaku juga pada akad tabarru’at; inilah pendapat mayoritas ulama.
Namun yang rajih (kuat) adalah pendapat yang pertama.
Berdasarkan hal ini, maka muncullah banyak masalah yang disampaikan ulama, di antaranya:
Pemberian majhul. Bentuk gambarannya adalah seorang menghadiahkan sebuah mobil yang belum diketahui jenis, merek, dan bentuknya, atau memberikan sesuatu yang ada di kantongnya. la berkata, “Saya hadiahkan uang yang ada di kantong saya kepadamu.” Pertanyaannya, apakah ini akad transaksi yang shahih atau tidak? Yang rajih adalah akad pemberian ini sah, sebab tidak disyaratkan hadiahnya harus jelas.
Demikian juga, seandainya ia menghadiahkan sesuatu miliknya yang telah dicuri atau dirampok, maka hukumnya sah. Juga, menghadiahkan barang-barang yang hilang.
***********
Penulis: Ustadz Ahmad Sabiq, Lc
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel : www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)