Ma’moun Fandy, professor ilmu politik di Georgetown University dan direktur London Global Strategy Institute, menulis di X pada 2/10/2025, “Gaza memang belum membebaskan Palestina dari cengkeraman zionisme, tapi dia telah membebaskan dunia internasional dari hegemoni zionis. Itulah awal mula yang sahih.”
Lanjutnya, dengan nada satir, “Anda tidak akan bisa membebaskan Abbas-Presiden Otoritas Palestina-, tapi anda bisa membebaskan Tucker Carlson (dari pengaruh zionis).”
Siapa Tucker? Dialah pembawa acara Tucker Carlson Tonight di Fox News Channel, acara yang ditonton oleh lebih dari empat juta orang setiap malam dari tahun 2016-2023 dan Donald Trump, penonton tetap acara tersebut. Dia terkenal di seantero dunia dengan ucapannya, “Setop bilang ini adalah perang. Ini adalah genosida, ini adalah invasi, ini adalah pembersihan etnis!” Bayangkan seorang ahli politik konservatif AS speak up dan keras bersuara mengkritisi Israel.
Di tengah kecamuk perang dan tangis rakyat Gaza, seolah muncul angin perubahan besar yang tak terduga: Taufan Al-Aqsa 2023. Ia bukan sekadar operasi militer ia menjadi fenomena spiritual, geopolitik, moral yang mengguncang pondasi hegemoni Zionisme dan mempercepat proses pembebasan narasi bangsa Palestina dari belenggu narasi asing.
Jika kita melihat sejarah panjang Palestina, kita saksikan satu pola: nasib bangsa ini sering ditentukan dari luar. Kesepakatan yang dibuat di meja diplomasi jauh dari deburan pantai Gaza nan elok, magis-eksotisnya Jerussalem Timur serta gagahnya Qubbat Sakhra ‘the Dome of Rock’ saat matahari terbit dan tenggelam. Tapi kini, Taufan Al-Aqsa membuka peluang baru: pembebasan belum sempurna, tetapi dunia mulai tersadarkan bahwa Palestina bukan objek, melainkan subjek. Palestina harus merdeka.
Dalam tulisan ini saya ingin menggali pencapaian strategis Taufan Al-Aqsa sebagai game changer, sambil memperkaya analisis tentang faktor determinan yang akan mempercepat (atau menghambat) pembebasan Palestina merdeka dan berdaulat.
1. Runtuhnya Narasi Terorisme Islam
Selama lebih dari tujuh dekade, dunia dibentuk oleh narasi bahwa Israel adalah “negara demokratis” yang bertahan melawan fasisme dan ancaman terorisme Islamis di kawasan dan global.
Perang global melawan terorisme Islam sejak 2001, invasi Afganistan (2001) dan Irak (2003), termasuk blokade Gaza pasca Hamas menang pemilu Palestina pada 2006, semua dilakukan untuk tujuan perang melawan teror. Keamanan Israel adalah hasil terbesar yang dipetik zionis dari AS dengan aksi koboinya. Semua dikemas sebagai aksi polisional untuk menertibkan kawasan dan melindungi keamanan Israel.
Namun sejak Oktober 2023, narasi ini terbalik total. Untuk pertama kalinya, opini publik global terutama di Barat menyaksikan secara langsung melalui media sosial penderitaan rakyat Gaza tanpa filter media arus utama.
Konsekuensi strategis: Israel kehilangan monopoli moral, yang selama ini digambarkan sebagai penjaga setia demokrasi Barat dan garda terdepan melawan ancaman terorisme Islamis di Timur Tengah dan dunia Islam. Narasi “keamanan Israel” yang harus dijamin/dilindungi oleh Barat, kini dipandang sebagai kedok apartheid dan kolonialisme.
Efek domino: Partai-partai progresif, organisasi HAM, universitas, dan gereja di Barat mulai terbuka menyerukan boikot, sanksi, dan embargo militer terhadap Israel.
2. Revolusi Moral dan Narasi Dunia
Sejak 7 Oktober 2023, jutaan orang di dunia, bahkan mungkin milyaran, yang sebelumnya acuh terhadap isu Palestina kini membuka mata. Video, foto, kesaksian langsung penduduk Gaza tersebar luas di media sosial, mematahkan monopoli narasi Israel dan media arus utama.
Runtuhnya narasi “Israel sebagai korban” menjadi transformasi moral global. Solidaritas lintas negara, lintas agama, dan lintas generasi membentuk gelombang dukungan yang tak hanya emosional, tetapi politis: boikot, tindakan diplomatik, pengusiran duta besar Israel, penangguhan perjanjian ekonomi kemitraan strategis dengan Uni Eropa, bahkan larangan ekspor senjata ke Tel Aviv.
Dengan demikian, Taufan Al-Aqsa membuka persidangan moral dunia atas Palestina bisul-bisul Zionisme mulai pecah dari dalam.
3. Retaknya Hegemoni Amerika di Arena Timur Tengah
Selama puluhan tahun, AS menjadi arsitek dan sponsor utama perdamaian Israel–Palestina. Tetapi sejak Taufan 2023, citra AS sebagai penengah adil runtuh. Sikap AS yang enggan menekan Israel, 6 kali veto di DK-PBB dalam 2 tahun, secara efektif membuatnya kehilangan otoritas moral di Dunia Islam dan Global South.
Negara-negara BRICS dan Global South mulai mengambil peran aktif mendukung Palestina tidak hanya secara kata-kata, tetapi juga dalam forum internasional dan tindakan hukum (mengajukan Netanyahu ke Mahkamah Internasional dan mendorong resolusi PBB).
Di kawasan, negara-negara Arab yang selama ini “bersikap pasif” pun mulai menuntut peran nyata dalam negosiasi dan pengawasan operasi usulan perdamaian Trump.
Dengan demikian, Taufan Al-Aqsa mempercepat proses multipolaritas geopolitik: pengaruh Barat tidak lagi tunggal, dan Israel mulai menjadi simpul yang terjebak di antara kekuatan baru.
4. Kebangkitan Global Civil Society
Taufan Al-Aqsa 2023 memunculkan gelombang solidaritas global terbesar sejak Perang Vietnam. Jutaan orang turun ke jalan di berbagai kota dunia: London, Paris, Barcelona, Roma, Berlin, Brussels, Amsterdam, Stockholm, Geneva, Oslo, Lisbon, Athena, Toronto, Hannover, New York, Jakarta, Bangkok, Kuala Lumpur, Seoul, Istanbul, Johannesburg, Capetown, Sydney, Melbourne, Auckland hingga Buenos Aires dan Mexico City.
Kota-kota yang glamour, adem, makmur, individualis bahkan ‘dingin’, sontak berubah jadi ‘musim semi Palestina’, bergelora dan membara. Di kota-kota Italia, lapisan masyarakat berdemo bukan untuk menumbangkan pejabat korupsi, tapi suarakan tuntutan segara akui negara Palestina.
Generasi muda global terutama Gen Z dan milenial menjadi aktor kunci yang sangat peduli pada isu HAM dan lingkungan hidup, mengubah isu Palestina menjadi agenda moral dan politik lintas bangsa. Ini bukan sekadar “dukungan emosional”, tapi telah berubah menjadi gerakan sosial transnasional yang menekan pemerintah, kampus, perusahaan, dan lembaga keuangan agar berhenti berkolaborasi dengan rezim pendudukan Israel.
Dengan kata lain, Palestina kini tidak lagi sendirian ia menjadi simbol global bagi perjuangan antikolonial, antirasisme, dan keadilan sosial.
5. Krisis Internal Israel dan Kelemahan Struktural
Bagi banyak pengamat, kekuatan Israel bukan hanya militer, melainkan ketahanan ideologis-nasionalnya. Namun operasi Taufan Al-Aqsa menampilkan sejumlah retakan-retakan serius dalam ketahanan nasional Israel.
Rasa aman dalam masyarakat Israel diguncang; rakyat Israel mulai mempertanyakan logika konflik dan harga perang.
Fragmentasi politik internal: krisis kebijakan, konflik antara kelompok militer-politik, dan tekanan usia-usia produktif yang menolak kerugian berkelanjutan.
Kelemahan ekonomi, biaya perang yang tinggi, mobilisasi besar-besaran semua menjadi beban tak tertanggung.
Dengan demikian, Taufan Al-Aqsa mendorong Israel menghadapi “bayangan kekalahannya sendiri” bukan sekadar di medan perang, tetapi di hati rakyatnya.
6. Konsolidasi Poros Perlawanan Regional dan Global
Operasi Taufan Al-Aqsa di Gaza tidak terjadi dalam ruang hampa. Aksi ini disinergikan dengan front di Lebanon, Yaman, dan wilayah perlawanan di Suriah serta Irak.
Ancaman serangan lintas front memberikan tekanan militer-jangka panjang yang tidak bisa dihadapi Israel sendirian. Koordinasi intelijen, logistik, bahkan dukungan moral memperkokoh jalinan perlawanan kolektif. Ini artinya, perlawanan Palestina tak lagi sendirian ia nimbrung dalam strategi regional anti-kolonialisme dan anti-imperialisme global.
Taufan Al-Aqsa membuka pintu perlawanan lintas negara, bukan hanya lokal Gaza. Hingga Gustavo Petro, Presiden Kolombia, lantang menyerukan di atas podium PBB: mobilisasi pasukan internasional dari berbagai negara untuk membebaskan Palestina dari pendudukan Israel.
7. Representasi Palestina yang Kembali ke Tangan Palestina
Sebelumnya, suara Palestina sering “diwakili” oleh entitas-negara asing, badan internasional, atau dikte kekuatan besar. Sekarang, Taufan Al-Aqsa memunculkan momentum di mana rakyat Palestina berbicara sendiri lewat demonstrasi besar, media independen, dan jaringan solidaritas global.
Rancangan respon terhadap inisiatif Trump menunjukkan bahwa Hamas ingin isu-isu strategis didiskusikan dalam kerangka konsensus nasional. Ini berarti bahwa legitimasi representasi Palestina mulai bergeser dari dikte luar ke akar internal bangsa sendiri. Inilah ‘karomah’ ucapan Yahya Sinwar yang bersumpah pada 2022, “Kami akan menyudutkan Israel dan mengisolasinya dari dunia!”
8. Kebangkitan Dunia Islam dan Global South
Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, negara-negara Muslim menunjukkan posisi lebih seragam dan tegas terhadap agresi Israel. Indonesia, Turki, Iran, Malaysia, Qatar, bahkan Arab Saudi, meski dengan kadar berbeda, menunjukkan tekanan diplomatik terbuka terhadap Israel dan AS.
Di level internasional, negara-negara Global South (terutama Afrika Selatan, Bolivia, Brasil, dan Malaysia) mulai mengajukan tindakan hukum internasional terhadap Israel di Mahkamah Internasional (ICJ). Ini menandakan perubahan dukungan dari level moral ke level hukum internasional, sehingga mempersempit ruang legitimasi bagi Israel.
9. Faktor Hak Pengungsi & Hak Kembali
Untuk memastikan kemerdekaan Palestina tak sekadar administratif, harus ada jaminan bagi hak pulang pengungsi (Right of Return).
Gerakan diaspora Palestina di seluruh dunia sekarang memiliki momentum moral baru untuk menekan negara-negara tuan rumah agar mendukung hak kembali ke tanah air Palestina. Ini penting untuk meruntuhkan narasi zionis bahwa, “Palestina adalah tanah tak bertuan untuk bangsa yang tak punya tanah air.” Di arena internasional, hak pengungsi semakin sering muncul dalam perdebatan hukum PBB, ICJ, dan pengadilan HAM regional.
10. Teknologi Informasi & Perang Narasi Digital
Teknologi digital menjadi senjata baru dalam konflik: Live streaming, jurnalisme warga, dan platform media sosial membebaskan narasi dari sensor negara-negara pro-Israel. Narasi propaganda Zionisme yang dulunya kokoh kini mudah dibantah dengan bukti visual langsung. Palestina, melalui jaringan global pro-Palestina, kini memiliki publikasi alternatif yang menantang media arus utama.
Peran media sosial (X, Instagram, Telegram, TikTok, dan lain-lain) menciptakan perang narasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sementara media arus utama cenderung pro-Israel, media alternatif dan jurnalis warga menguasai arus informasi global. Efeknya: perang Gaza 2023 menjadi the most documented genocide in history. Dunia melihat langsung kebrutalan Israel, sehingga simpati global berbalik arah secara dramatis. Narasi “Zionis sebagai korban” kini runtuh di hadapan miliaran mata publik dunia.
Singkatnya, Taufan Al-Aqsa mempercepat disrupsi narasi global kontrol propaganda lama runtuh dalam waktu singkat.
11. Spirit Umat & Kebangkitan Peradaban Islam
Genosida Gaza menjadi panggilan spiritual bagi umat Islam sedunia. Masjid Al-Aqsha kembali menjadi simbol persatuan umat, bukan semata geopolitik.
Banyak generasi muda Muslim yang sebelumnya apatis kini menjadi aktivis kemanusiaan dan diplomasi pro-Palestina. Ulama, dai, intelektual mulai merumuskan narasi Islam kontemporer yang sejalan dengan dukungan terhadap hak Palestina.
Kesadaran baru muncul bahwa masalah Palestina bukan sekadar politik Arab, tetapi bagian dari perjuangan keadilan global dalam bingkai peradaban Islam. Taufan Al-Aqsa bukan sekadar konflik tanah ia menjadi panggilan moral dan teologis bagi dunia Islam.
Tantangan ke Depan
Taufan Al-Aqsa 2023 memang belum membebaskan Palestina seutuhnya. Namun sebagai peristiwa strategis, ia telah memicu perubahan paradigma global: dunia mulai menyadari bahwa Palestina bukan objek diplomasi, melainkan subjek perlawanan.
Dalam rentetan faktor penentu runtuhnya narasi hegemoni, retaknya dominasi AS, mental Israel diguncang, konsolidasi regional, revolusi media, kebangkitan umat, dan hak pengungsi yang muncul kembali kita menyaksikan bahwa pembebasan penuh Palestina semakin mungkin diraih.
Akan tetapi, jalan masih panjang dan penuh ranjau. Ke depan, tiga ujian terbesar menanti:
1. Implementasi nyata Israel dan mediator harus menunaikan komitmen, bukan sekadar janji diplomatik.
2. Persatuan Palestina tanpa rekonsiliasi internal (Hamas–Fatah–faksi lain), momentum ini bisa hilang.
3. Ketahanan moral dan strategis dunia Islam & global dukungan dunia harus lebih dari kata-kata; harus ada tindakan nyata: tekanan diplomatik, penegakan hukum internasional, sanksi ekonomi terhadap Israel.
Jika tantangan itu bisa dijawab, maka Taufan Al-Aqsa bukan hanya operasi yang paling brilian dalam sejarah militer modern ia akan dikenang sebagai pukulan maut strategis terhadap hegemoni Zionisme, dan awal nyata pembebasan Palestina yang merdeka, berdaulat, dan bermartabat. Free free Palestine, from the River to the Sea! Palestine will be free.
***********
Jakarta, 7 Oktober 2025
Penulis: Ustaz Dr. Fahmi Salim Zubair, Lc., M.A
(Founder Al Fahmu Institute & Baitul Maqdis Institute)
Demikian Semoga Bermanfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Mengispirasi dan Menyuarakan Kebenaran)