Banyak sekali diantara umat islam hari ini yang berusaha menafsirkan sebagian hadits, tetapi tidak sesuai dengan makna yang semestinya. Seperti pada salah satu sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam
“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk-bentuk (lahiriyah) dan harta kekayaanmu, tetapi Dia melihat pada hati dan amalmu sekalian.”(HR. Muslim)
Dari hadits di atas, selain keimanan di lihat pada hati juga di lihat pada amalan seseorang, akan tetapi diantara sebagian orang muslim mengatakan dan menjadikan hadits ini sebagai alasan saat mereka melakukan perbuatan maksiat, perbuatan dosa dengan berdalih “Yang terpenting itu hati karena iman itu letaknya di hati“, dari sini sangatlah jelas bahwa mereka menggugurkan makna yang semestinya, yaitu kebenaran yang digunakan untuk membenarkan kebatilan. Memang benar, iman letaknya dalam hati, tetapi Rasulullah tidak memaksudkan bahwa iman tidak sempurna kecuali hanya di dalam hati saja.
Dengan hadits ini Rasulullah hendak menjelaskan makna keikhlasan bagi diterimanya suatu amal perbuatan. Allah tidak melihat bentuk-bentuk lahiriah, seperti pura-pura khusyu’ dalam shalat dan sebagainya, tetapi Allah melihat hati dan keikhlasan niat dari segala yang selain Allah. Dia tidak menerima suatu amal perbuatan kecuali yang ikhlas untukNya semata.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
“Takwa itu ada di sini, ” seraya menunjuk ke arah dadanya.”
Penulis kitab Nuzhah al-Muttaqin berkata, “Hadits ini menunjukkan, bahwa pahala amal tergantung keikhlasan hati, kelurusan niat, perhatian terhadap situasi hati, kebenaran tujuan dan kebersihan hati dari sifat tercela yang dimurkai Allah.”(Nuzhah al-Muttaqin 1/25)
Iman tidak cukup hanya dalam hati. Iman dalam hati semata tidak cukup menyelamatkan diri dari neraka dan mendapatkan surga.
Definisi iman menurut jumhur ulama adalah: “Keyakinan dalam hati, pengucapan dengan lisan dan pelaksanaan dengan anggota badan.”
Dari defenisi ini kita bisa memperoleh gambaran bahwa, orang yang mengatakan iman dengan lidahnya, tetapi tidak disertai keyakinan hatinya, serta tidak ada pengamalan yang dilakukan oleh anggota badannya maka itu tidak bisa di katakan iman karena ketiga poin ini adalah syarat sempurnanya iman seseorang.
Sedangkan, dalam gambaran kita, mereka yang mengaku beriman dengan lisannya tapi tidak hatinya itu adalah keadaan orang-orang munafik. Demikian pula orang yang beramal hanya sebatas aktivitas anggota tubuh, tetapi tidak disertai keyakinan hati, juga merupakan keadaan orang-orang munafik.
Pada masa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam , mereka turut shalat bersama beliau, berperang, mengeluarkan nafkah, pulang pergi bersama kaum Muslimin, tetapi hati mereka tidak pernah beriman kepada agama Allah Subhanahu Wata’ala. Kepada mereka, Allah menghukumi sebagai orang-orang munafik, dan balasan untuk mereka adalah berada di kerak atau dasar neraka.
Demikian pula orang yang beriman hanya dengan hatinya tapi tidak disertai dengan amalan anggota badan. Ini adalah sifat iblis. Dia percaya pada kekuasaan Allah, Dzat yang menghidupkan dan mematikan. Dia meminta penangguhan kematiannya, dia juga percaya terhadap adanya Hari Kiamat, tetapi dia tidak beramal dengan anggota tubuhnya. Allah berfirman,
“la (iblis) enggan dan takabur dan dia termasuk golongan orang-orang kafir.” (AI-Baqarah: 34).
Dalam al-Qur’ an setiap kali disebutkan kata iman, selalu disertai dengan amal, seperti, “Orang yang beriman dan beramnal shalih …”
Amal selalu beriringan dan merupakan konsekuensi iman, keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan.
Salah satu contoh kebanyakan terjadi pada diri seorang muslim hari ini, yang menjadikan alasan bahwa “Iman itu letaknya di hati” untuk membenarkan kebathilan yang diperbuat adalah ketika seorang wanita yang mengaku beragama islam, mengaku sebagai seorang muslimah akan tetapi mereka tidak mengenakan hijabnya dengan berdalih bahwa “iman itu letaknya di hati”, bukankah itu suatu kekeliruan yang nyata?
Kita ambil contoh dalam kehidupan manusia. Ketika kita diminta oleh dosen atau guru kita untuk mengerjakan sebuah tugas atau wewenang, logiskah jika kita menjawab, ” Dalam hati saya percaya dan sudah mantap terhadap apa yang di minta oleh dosen atau guru saya, tetapi saya tidak mau melaksanakan apa yang dikehendaki dari saya.” Apakah jawaban itu bisa diterima? Lalu apa akibat yang akan kita hadapi jika itu terjadi? Tentu yang akan terjadi adalah kerugian karena mendapatkan nilai yang buruk dan penyesalan karena tidak melaksanakan apa yang seharusnya menjadi Kewajibannya.
Contoh di atas merupakan gambaran urusan antara kita sesama manusia. Bagaimana jika urusan ini itu antara kita dengan Allah, Tuhan manusia yang memiliki sifat Yang Mahatinggi??
Semoga Allah senantiasa memberikan dan menerangi kita dengan cahaya hidayah-Nya untuk mencapai kesempurnaan iman yang sesungguhnya, yang bukan hanya dengan hati tapi juga dengan lisan dan perbuatan. Allahumma Aamiin…
***********
Bulukumba, 5 Oktober 2021
Penulis: Wahyuni Subhan
(Mahasiswa Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Pengurus Mujahid Dakwah Media)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel : www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)