MUJAHIDDAKWAH.COM, YERUSALEM – Pasukan Zionis Israel terus menutup akses gerbang Masjid Al-Aqsa untuk warga Palestina selama lima hari berturut-turut, sejak serangan Israel ke Iran, Jumat (13/6) lalu.
Dalam waktu bersamaan, pemerintah Zionis menentukan langkah-langkah keamanan terhadap para pemukim untuk menyerbu halaman Al-Aqsa, bertepatan dengan keputusan untuk membangun lebih banyak unit permukiman besar di Tepi Barat. Al-Ghad melaporan, Senin (16/6).
Harun Nasir al-Din, anggota Biro Politik dan kepala Kantor Urusan Yerusalem, menekankan bahwa “penutupan Masjid Al-Aqsa yang terus berlanjut oleh Zionis selama empat hari berturut-turut dan mencegah jamaah memasukinya merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap kebebasan beribadah dan kesucian masjid, serta eskalasi perang agama.”
Nasir al-Din mengatakan, Masjid Al-Aqsa adalah satu-satunya hak umat Islam, dan bahwa Zionis tidak memiliki legitimasi atasnya, baik dalam pengelolaannya maupun dalam memaksakan ketegangan baru.
Ia memperingatkan konsekuensi dari eskalasi berbahaya tersebut, yang merupakan bagian dari upaya untuk sepenuhnya meyahudikan Al-Aqsa dan menghapus identitas Islam.
Dia juga menyerukan umat Muslim Yerusalem dan sekitarnya untuk tetap berkunjung ke Masjid Al-Aqsa dengan segala cara yang memungkinkan, untuk tetap di sana, dan menggagalkan rencana Zionis.
Nasser al-Din menyerukan kepada bangsa Arab dan Islam untuk memikul tanggung jawab historis dan keagamaannya, mengingat bahwa Masjid Al-Aqsa dalam bahaya, dan bahwa mendukungnya merupakan kewajiban agama dan kepercayaan yang tak tergoyahkan.
Dr. Ali Ibrahim, pakar dalam urusan Palestina mengonfirmasi bahwa langkah-langkah Zionis Israel merupakan bagian dari “rencana jangka panjang mendefinisikan ulang status quo di Masjid Al-Aqsa.”
“Zionis terus menutup gerbang Masjid Al-Aqsa yang diberkahi bagi para jamaah kaum Muslimin setempat selama lima hari berturut-turut, dengan alasan langkah-langkah keamanan terkait dengan perang yang sedang berlangsung dengan Iran. Langkah ini merupakan pelanggaran mencolok terhadap hak-hak Islam yang melekat pada masjid tersebut dan campur tangan terang-terangan terhadap kewenangan Departemen Wakaf Islam,” lanjutnya.
Ia menambahkan dalam sebuah wawancara dengan Quds Press, Selasa (17/6), bahwa langkah Zionis Israel mencerminkan upaya sistematis untuk memaksakan kontrol lebih lanjut atas Masjid Al-Aqsa dengan mencegah para jamaah melakukan ibadah mereka dan membatasi shalat berjamaah di dalam Masjid Al-Aqsa, dan hanya untuk sejumlah kecil karyawan dan penjaga.
“Keputusan untuk menutup Al-Aqsa memang bukanlah hal baru. Keputusan tersebut telah berulang dalam beberapa tahun terakhir, khususnya setelah serangan Palestina di dekat Al-Aqsa atau di Kota Tua, kecuali penutupan yang terjadi selama pandemi COVID-19. Namun, yang baru kali ini adalah penggunaan dalih perang untuk membenarkan penutupan dan memaksakan kenyataan yang sudah terjadi,” lanjut Ibrahim.
“Melalui langkah ini, penjajah berupaya untuk mengonsolidasikan kendali penuh aparat keamanannya atas urusan Al-Aqsa, termasuk keputusan untuk membuka atau menutupnya, tanpa adanya keberatan dari dunia internasional atau dari dunia Islam yang efektif,” imbuhnya
Apa yang terjadi di Masjid Al-Aqsha bukan sekadar insiden religius atau administratif. Ini adalah bagian dari konflik identitas dan legitimasi yang lebih dalam antara penjajah dan yang dijajah, antara narasi zionisme dan warisan Islam Palestina.
Penutupan Al-Aqsha adalah cermin dari intensitas ketegangan yang semakin mengkristal antara warga Palestina dan otoritas pendudukan Israel. Ketika tempat suci pun dijadikan medan politik dan simbol dominasi, maka pertanyaannya bukan hanya siapa yang berkuasa, tetapi siapa yang berhak atas sejarah, budaya, dan iman.
Sumber: Palinfo
Editor: Admin MDcom