Imam Ibnu Sirin, seorang ulama besar dari kalangan Tabi’in, suatu saat bertanya kepada seseorang. “Bagaimana kabarmu?” Orang itu balik bertanya, “Bagaimana jika ada orang yang memiliki hutang 500 dirham, sedangkan ia juga harus menanggung nafkah keluarganya?”
Ibnu Sirin segera masuk ke rumah dan keluar dengan membawa uang 1000 dirham (sekitar Rp 70.000.000,-) hingga tidak ada sisa uang di rumahnya. Lalu ia berkata; “Ini untuk melunasi hutangmu 500 dirham dan untuk menafkahi keluargamu 500 dirham.” (Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, 6/1052).
Imam Hasan al-Bashri, seorang ulama terkemuka, sering meng-ghibah dirinya sendiri dengan mengatakan, “Kamu ini suka berkata-kata dengan perkataan orang-orang shalih yang selalu taat dalam beribadah, sedangkan kamu melakukan perbuatan orang-orang fasik, munafik dan mereka yang suka pamer!” (Tanbih al-Mughtarrin, hlm. 9).
Muhammad bin Sa’ad, seorang ulama zuhud, suatu saat, tanpa disadari beberapa uang dinarnya—yang bernilai jutaan rupiah jika dikurskan saat ini—jatuh dan hilang.
Ia lalu berusaha mengajak seorang pengayak tepung untuk mencari uang tersebut. Akhirnya, beliau menemukan kembali uangnya.
Namun, ia malah berkata sendiri kepada dirinya, “Apakah di dunia ini hanya ada dinarmu saja?” Seketika, uang itu pun ia tinggalkan. Ia lalu berkata kepada si pengayak, “Dinar itu menjadi milikmu.” (dalam Tarikh Baghdad, 5/15).
Sultan Murad II, salah seorang penguasa Khilafah Utsmaniyah, telah memilih guru-guru khusus yang bertugas mendidik putranya. Salah satunya adalah Syeikh Ahmad bin Ismail al-Kaurani.
Sultan Murad II sekaligus memberi Syeikh al-Kaurani pemukul, yang sewaktu-waktu bisa digunakan memukul Muhammad kecil jika ia melakukan pembangkangan (dalam Nashr al-Kabir Muhammad al-Fatih, hlm. 40-41).
Saat muda, Imam Abu Yusuf pernah menghadiri majelis ilmu Imam Abu Hanifah. Namun, ayahnya melarangnya.
“Janganlah engkau pergi kepada Abu Hanifah. Ia bukan orang kaya, sedangkan engkau membutuhkan materi (untuk bekal belajar),” kata sang ayah.
Sejak itu Abu Yusuf mulai jarang menghadiri majelis Imam Abu Hanifah hingga beliau merasa kehilangan. Suatu saat Imam Abu Hanifah bertanya mengenai sebab ketidakhadiran Abu Yusuf di majelis.
Abu Yusuf menjawab, “Aku sibuk bekerja dan menaati apa yang dikatakan orang tuaku.”
Mendengar itu, Imam Abu Hanifah memberikan sebuah kantong berisi 100 dirham (sekitar Rp 7.000.000,-). “Gunakan ini dan tetaplah mengikuti halaqah-ku. Jika uang itu telah habis, segera kabari aku,” ujar Imam Abu Hanifah.
Akhirnya, Imam Abu Yusuf aktif kembali dalam halaqah. Imam Abu Hanifah terus secara rutin memberikan uang kepada Abu Yusuf dan tidak pernah terlambat.
Hal itu beliau lakukan selama 29 tahun sampai Abu Yusuf memperoleh banyak ilmu dan juga materi. (Al-Muwaffaq al-Khawarizmi, Manaqib Abi Hanifah, 1/469).
Imam Abu Hanifah pernah menahan diri tidak memakan daging kambing beberapa tahun. Itu ia lakukan sebagai kehati-hatian setelah mendengar bahwa ada seekor kambing tetangganya dicuri.
Hal itu beliau melakukan selama beberapa tahun sesuai dengan usia kehidupan kambing pada umumnya hingga diperkirakan kambing itu telah mati. (dalam Ar-Rawdh al-Faiq, hlm. 215).
Imam al-Hulwani, ulama pengikut Mazhab Hanafi yang menjadi imam besar di Bukhara, pernah berkata; “Sungguh, aku memperoleh ilmu ini dengan memuliakannya. Aku tidak mengambil catatan ilmu kecuali dalam keadaan suci.”
Murid beliau, yang juga seorang ulama besar, yakni Imam Syamsuddin as-Sirakhsi, suatu saat mengulang wudhu pada malam hari hingga 17 kali karena sakit perut. Hal itu beliau lakukan agar bisa menelaah ilmu dalam keadaan suci. (dalam Mukhatsar al-Fawaid al-Makkiyyah, hlm. 30).
Beberapa fragmen di atas hanyalah secuil gambaran tentang bagaimana para ulama terdahulu dalam mempraktikkan adab atau akhlak mulia. Kebesaran dan keagungan mereka bukan semata-mata karena keluasan ilmu mereka, tetapi juga karena ketinggian adab dan akhlak mereka.
Wajar saja, karena mereka memandang adab atau akhlak mulia sebagai perkara amat penting; bahkan lebih penting daripada ilmu.
Diriwayatkan, Imam Malik bin Anas menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mempelajari adab (akhlak) dan 4 tahun untuk mencari ilmu. Tentang pentingnya adab atau akhlak mulia, Imam Syafii pernah ditanya oleh seseorang; “Bagaimana Anda mempelajari adab?” Imam Syafi’i menjawab, “Aku mempelajari adab seperti usaha seorang ibu yang mencari-cari anaknya yang hilang.” (Hasyim Asy’ari, Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, hlm. 10-11).
Imam Ibnu Qasim, salah satu murid senior Imam Malik menyatakan; “Aku telah mengabdi sekaligus belajar kepada Imam Malik bin Anas selama 20 tahun. Selama itu, 18 tahun aku mempelajari adab (akhlak), sisanya 2 tahun untuk mempelajari ilmu.” (dalam Tanbih al-Mughtarrin, hlm. 12).
Semoga saja kita bisa meneladani keagungan adab dan akhlak mereka.
**********
Penulis: Arief B. Iskandar
(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)