MUJAHIDDAKWAH.COM, MAKASSAR – Rektor Perempuan Pertama IAIN di Indonesia yang juga Rektor IAIN Alauddin dua periode (1985-1989 dan 1989-1993), Prof. Dr. Hj. Andi Rasdiyanah tutup usia di umur 88 tahun pada Kamis, 19 Januari 2023 pukul 01.00 di Rumah Sakit Haji Makassar.
Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Direktur Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, Ustadz Dr. Andi Aderus, Lc., MA kepada wartawan mujahiddakwah.com, (19/01/2023). Ia juga menjelaskan bahwa jenazah Prof. Andi Rasdiyanah akan dishalatkan di Masjid Agung UIN Alauddin Makassar Samata Gowa pukul 15.00 WITA.
Kakanwil Kemenag Prov. Sulsel H. Khaeroni begitu mendengar Kabar Duka tersebut menyampaikan duka cita mendalam atas meninggalnya salah satu tokoh perempuan yang masyhur dikenal sebagai Tokoh pendidik dan Tokoh Agama bukan saja di Sulsel tapi juga di Indonesia.
“Atas Nama Pribadi dan Keluarga Besar Kementerian Agama Prov. Sulsel menyampaikan Duka Cita Mendalam, Semoga Karya dan Jasa Almarhumah bernilai Ibadah. Semoga almarhum mendapatkan tempat nan lapang di sisi Allah SWT, dan kepada keluarga yang ditinggalkan kiranya diberi kesabaran,” kata Khaeroni dilansir suara.com, Kamis (19/1/2023).
Biografi Prof. Dr. Hj. Andi Rasdiyanah
Prof. Andi Rasdiyanah lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan pada 14 Februari 1935. Ia merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Ayahnya meninggal ketika ia masih kecil, sehingga ia harus mengandalkan bantuan kakaknya yang tertua untuk bisa melanjutkan sekolah. Rasdiyanah menikah dengan Amir Said pada 1962. Dari pernikahan itu ia dikarunia 6 (enam) anak: lima perempuan dan satu laki-laki. Kepada anak-anaknya, ia melatih mereka hidup dengan kedisiplinan yang tinggi. Ia juga mendidikan mereka dengan pendidikan agama yang ketat.
Prof Rasdiyanah menempuh pendidikan dasar dan lanjutan menengah di Madrasah Muallimat Muhammadiyah Bulukumba. Selepas ketiga kakaknya wafat, ia lalu merantau ke Yogyakarta dan melanjutkan studi di Madrasah Muallimat Yogyakarta. Lulus dari Madrasah Muallimat Yogyakarta, Rasdiyanah melanjutkan studi di Fakultas Hukum Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga. Sembari belajar, ia juga aktif berorganisasi. Rasdiyanah merupakan kader Nasyiatul ‘Aisyiyah, sebuah wadah organisasi bagi kader muda ‘Aisyiyah.
Hijrahnya Andi Rasdiyanah ke Yogyakarta melanjutkan studi mematahkan “mitos” saat itu bahwa perempuan, termasuk perempuan Bugis, tak perlu sekolah jauh-jauh dan menempuh pendidikan tinggi. Sebab, akhirnya dia akan kembali mengurus hal-hal yang bersifat rumah tanga.
Sekembalinya ke Makassar, dia terangkat menjadi dosen dan menduduki sejumlah jabatan penting di IAIN Alauddin. Rasdiyanah juga memenuhi sejumlah undangan menjadi narasumber pada forum-forum diskusi dan seminar, khususnya terkait dengan isu perempuan. Tak salah jika sejak 1980-an, Andi Rasdiyanah menjadi salah satu figur penting intelektual perempuan di kancah nasional.
Aktivitas dan perhatiannya demikian besar terhadap dunia pendidikan. Tak heran , civitas akademika IAIN Alauddin Makassar mempercayainya memimpin institusi yang dibesarkannya tersebut. Andi Rasdiyanah menjadi rektor dua periode berturut-turut 1985-1989 dan 1989-1993. Andi Rasdiyanah merupakan rektor perempuan pertama di Sulawesi bahkan Indonesia Timur. Pada 1993-1995, dia juga dipercaya menjabat Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI.
Pada saat menduduki dua jabatan penting terakhir, Andi Rasdiyanah tak sedikit melakukan kunjungan akademik ke sejumlah kota dan negara. Di antaranya Amerika Serikat, Kanada, Belanda, Belgia, Mesir, Saudi Arabia, Maroko, Thailand, Pakistan, India, Malaysia, Singapura, dan Philipina.
Prof Andi Rasdiyanah merupakan sosok pendidik yang profesional. Kualifikasi pendidikan S3 yang diraihnya di UIN Sunan Kalijaga dengan predikat Cum laude dibarengi kompetensi pedagogik, kepribadian, dan sosial. Di kalangan peserta didiknya, dia dikenal dan dikagumi lantaran sangat demokratis.
Tidak hanya memiliki perhatian besar terhadap pendidikan mahasiswanya, tetapi putra-putrinya juga berhasil dalam pendidikannya. Dia memiliki tiga orang anak yang mewarisinya sebagai dosen. Seorang putrinya juga menjadi dokter spesialis. Demikian pula cucu-cucunya didorong untuk senantiasa meningkatkan pendidikannya.
Karena perhatiannya terhadap dunia pendidikan pula, Andi Rasdiyanah tetap menyandang gelar Guru Besar Emeritus UIN Alauddin Makassar. Istri dari Drs. HM Amir said ini tetap aktif mengajar di kampus peradaban tersebut. Dia tak mengenal kata pensiun. Meski fisiknya kian lemah termakan usia, perempuan tangguh dari lima anak, 17 cucu dan lima cicit ini masih rutin datang ke kampus yang telah dibesarkannya itu.
Ia merupakan perempuan pertama yang menjadi Rektor IAIN di Indonesia. Selain itu, ia juga tercatat sebagai perempuan pertama yang menjadi rektor di wilayah Indonesia Timur. Ketika diamanahi menjadi rektor, Rasdiyanah sebenarnya belum berstatus guru besar. Namun, kemampuannya tidak ada yang meragukan. Sebelumnya, ia terlebih dahulu menduduki jabatan Wakil Rektor di Institut yang sama.
Dilansir dari uin-alauddin.ac.id, digambarkan bahwa kepemimpinannya merupakan perpaduan antara seorang birokrat, intelektual, dan sosok ibu. Setelah menjabat sebagai Rektor IAIN Alauddin dua periode berturut-turut (1985-1989 dan 1989-1993), Rasdiyanah mendapat amanah sebagai Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia.
Hidup Berdikari
Ketokohan Andi Rasdiyanah pernah diulas dalam Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi Agustus 1985 di bawah judul “Berdikari Perlu Dipersiapkan Sejak Masih di Bangku Sekolah”. Ulasan itu menjelaskan bahwa Rasdiyanah merupakan sosok ibu asuh. Ia mengasuh tidak kurang dari 20 orang untuk dibimbing perihal agama.
Ia mempunyai empat resep dalam mengarungi hidup, yakni ketenangan, pengendalian diri, ketekunan, dan kecermatan. Dengan empat resep itulah ia mampu menyelesaikan tugas-tugasnya dengan lancar, berimbang, dan terpadu.
Atas jasanya, di usianya ke-75, UIN Alauddin Makassar mempersembahkan buku Refleksi 75 Tahun Prof Dr Andi Rasdiyanah: Meneguhkan Eksistensi Alauddin. Secara pribadi, Rasdiyanah juga menulis beberapa karya, seperti Bugis Makassar dalam Peta Islamisasi Indonesia dan kumpulan Puisi Al-Quran. Karya-karyanya pernah menjadi bahan diskusi di Dewan Kesenian Makassar.
Reporter: Muh Akbar
Editor: Admin MDcom