Ramadan tersisa dua hari lagi. Terasa baru kemarin kita menyambut kedatangannya, namun hari ini ia telah mulai pamit untuk pergi kembali. Tamu yang datang sekali setahun, bulan mulia, bulan Al-Qur’an, bulan penuh ampunan, bulan yang didalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Bagaimana mungkin seorang hamba tidak mempedulikannya. Saling berlomba-lomba melakukan amalan, demi mendapatkan predikat sebagai finalis-finalis terbaik selama bulan Ramadan disisi-Nya.
Banyaknya amalan yang diharapkan menjadi pemberat timbangan di akhirat kelak justru seringkali sia-sia, tak memiliki nilai sama sekali. Penyebabnya tidak lain karena niat.
Betapa besar pengaruh niat hingga amalam sebesar apapun jika diniatkan bukan karena-Nya maka ia akan sia-sia.
Niat yang salah dalam melakukan suatu amalan akan mengakibatkan penyakit ujub. Salah satu penyakit yang sangat berbahaya terutama di akhir Ramadan karena ia mampu menyerang hati manusia tanpa disadari. Membuatnya menganggap amalan yang ia kerjakan lebih baik dari yang lain. Inilah sifat yang tercela, maka janganlah engkau bangga dengan seluruh amal kebaikanmu selama bulan Ramadan ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
Terjemahnya: “Janganlah engkau mensucikan dirimu. Dialah yang lebih mengetahui orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)
Saudariku, sebelum kita bangga dengan amalan yang sudah maksimal kita kerjakan, muhasabahlah sejenak. Apakah amalan yang kita kerjakan terkhusus di bulan Ramadan ini sama dengan amalan yang di kerjakan oleh para sahabat dan generasi terbaik setelah mereka? Tentu, sangat jauh perbandingannya, baik dari sisi keikhlasannya, kesesuaian amalan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam Yahya bin Main rahimahullah berkata :
“Aku tidak pernah melihat seorangpun yang semisal Imam Ahmad bin Hambal, kami bersahabat dengannya selama lima puluh tahun. Beliau tidak pernah merasa bangga atas kami dengan sesuatu yang ada pada dirinya dari kesalehan dan kebaikan.
Sungguh kami melihat Imam Ahmad turun menuju pasar Baghdad, lalu beliau membeli seikat kayu bakar dan beliau meletakkannya di atas pundaknya, tatkala manusia mengenalinya maka para pedagang dan pemilik toko meninggalkan dagangan dan toko mereka, orang-orang yang sedang lewat pun berhenti di jalan-jalan mereka, mereka mengucapkan salam kepada beliau dan mereka mengatakan:
“Kami pikulkan kayu bakar tersebut untukmu.”, maka beliau pun menggoyangkan tangannya dan wajahnya memerah, kedua matanya meneteskan air mata, dan beliau mengatakan: “Kita adalah kaum yang miskin, sekiranya Allah tidak menutupi aib kita, niscaya akan terbeberkan aib kita. (Hilyatul Auliya 09/181)
Maka dengan kita mengenal, mempelajari, dan membaca kisah para sahabat dan generasi-generasi terbaik setelahnya, niscaya kita akan melihat mereka bagaikan gunung-gunung yang besar.
Sedangkan kita berada di bawah dan kita akan menganggap kecil segala amalan yang kita kerjakan. Imam asy-Syafi`i mengatakan:
إِذَا خِفْتَ عَلَى عَمَلِكَ العُجْبَ فَاذكُرْ رِضَى مَنْ تَطْلُبُ، وَفِي أَيِّ نَعِيْمٍ تَرْغَبُ، وَمِنْ أَيِّ عِقَابٍ تَرْهَبُ فَمَنْ فَكَّرَ فِي ذَلِكَ صَغُرَ عِنْدَهُ عَمَلُه
“Jika engkau khawatir tertimpa rasa bangga terhadap amalan yang engkau kerjakan, maka ingatlah kepada siapa engkau mencari keridhaan, kenikmatan apa yang engkau dambakan, dan hukuman apa yang engkau takutkan? Maka barang siapa yang memikirkan hal itu, ia akan menganggap kecil amalan yang dikerjakan.”
Ketahuilah, sikap orang shalih penghuni surga yang diabadikan Al-Qur’an, bersungguh-sungguh dalam ibadah kepada Allah dan takut kalau-kalau ibadahnya tidak diterima. Bahkan, lebih dari itu, ia beranggapan amalnya tidak pantas diterima oleh Allah. Banyak cacat dan kekurangan dalam ibadah yang mereka tegakkan sehingga istighfar senantiasa terucap dari lisan mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang mereka,
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آَتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
Terjemahnya: “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. Al-Mukminun: 60)
Aisyah Radliyallaahu ‘Anha berkata, “Aku telah bertanya kepada Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam tentang ayat ini, apakah mereka orang-orang yang minum khamer, pezina, dan pencuri? Beliau menjawab, “Tidak, wahai putri al-Shiddiq. Mereka adalah orang-orang yang berpuasa, menunaikan shalat dan shadaqah namun mereka takut kalau amalnya tidak diterima.” (HR. Muslim, kitab al Imarah, bab Man Qatala li al-Riya wa al-Sum’ah Istahaqqa al-Naar, no. 1905)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan beberapa sifat penghuni surga dari orang-orang muttaqin dengan banyak istighfarnya (memohon ampunan) kepada-Nya.
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍآخِذِينَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
Terjemahnya: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS. Al-Dzaariyat: 15-18)
Ibnu Katsir menyebutkan penafsiran sebagian ulama terhadap ayat terakhir, “Mereka shalat malam dan mengakhirkan (melanjutkannya,-red) istighfar sampaia waktu sahur (menjelang shubuh).” Jadi mereka itu adalah orang-orang yang mengisi hidupnya dengan kebaikan. Mereka banyak amal dengan harta dan fisik mereka. Tapi dipenghujung malam, selepas mengerjakan shalat malam yang panjang, mereka memohon ampun atas dosa dan kesalahan.
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Puas dengan ketaatan yang telah dilakukan adalah di antara tanda kegelapan hati dan ketololan. Keraguan dan kekhawatiran dalam hati bahwa amalnya tidak diterima harus disertai dengan mengucapkan istighfar setelah melakukan ketaatan. Hal ini karena dirinya menyadari bahwa ia telah banyak melakukan dosa-dosa dan banyak meninggalkan perintah-Nya.”
Bahaya bersandar pada amalan yang telah dilakukan sebab dari ketertipuan ini akan melahirkan kepuasan, kebanggaan, dan akhlak buruk kepada Allah Ta’ala. Orang yang melakukan amal ibadah tidak tahu apakah amalnya diterima atau tidak. Mereka tidak tahu betapa besar dosa dan maksiatnya, juga mereka tidak tahu apakah amalnya bernilai keikhlasan atau tidak. Oleh karena itu, mereka dianjurkan untuk meminta rahmat Allah dan selalu mengucapkan istighfar karena Allah Mahapengumpun dan Mahapenyayang.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radliyallah ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَا وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا
“Sungguh amal seseorang tidak akan memasukkannya ke dalam surga.” Mereka bertanya, “tidak pula engkau ya Rasulallah?” Beliau menjawab, “Tidak pula saya. Hanya saja Allah meliputiku dengan karunia dan rahmat-Nya. Karenanya berlakulah benar (beramal sesuai dengan sunnah) dan berlakulah sedang (tidak berlebihan dalam ibadah dan tidak kendor atau lemah).” (HR. Bukhari dan Muslim, lafadz milik al-Bukhari)
Sesungguhnya seseorang tidak akan masuk surga kecuali dengan rahmat Allah. Dan di antara rahmat-Nya adalah Dia memberikan taufiq untuk beramal dan hidayah untuk taat kepada-Nya. Karenanya, kita wajib bersyukur kepada Allah dan merendah diri kepada-Nya.
Tidak pantas jika kita menganggap bahwa dengan amalan yang kita lakukan hari ini itu bisa menjamin diri kita mampu menggapai keselamatan dan mendapatkan derajat tinggi di Surga. Karena tidaklah kita sanggup beramal kecuali dengan taufiq Allah, meninggalkan maksiat dengan perlindungan Allah, dan semua itu berkat rahmat dan karunia-Nya.
Saudariku, dipenghujung Ramadan ini mari kita memperbanyak istighfar. Semoga dengannya kita bisa terhindar dari penyakit ujub atau berbangga diri karena banyaknya amalan yang dikerjakan. Allahumma Aamiin…
***********
Bulukumba, 29 April 2022 (27 Ramadan 1443)
Penulis: Wahyuni Subhan
(Mahasiswa Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Pengurus Mujahid Dakwah Media)
Demikian Semoga Bermanfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel : www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)