Bangsa Indonesia sedang dilanda dilema. Indonesia telah menetapkan dirinya sebagai negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Itu artinya, bagi umat Islam, Indonesia merupakan negara yang berdasar atas Tauhid.
Pada sisi lain, group band asal Inggris bernama Coldplay – yang dikabarkan mendukung LGBT – dijadwalkan akan manggung di Jakarta, pada 15 November 2023. Bahkan, tiketnya pun sudah ludes terjual. Padahal, harganya sangat fantastis, mencapai belasan juta rupiah, per tiket.
Ada juga berita yang menyebutkan, Coldplay merupakan pendukung Palestina. Laman republika.co.id mengabarkan, bahwa pada 2011, halaman facebook resmi Coldplay pernah membuat postingan yang menyerukan agar para penggemar mereka mendengarkan lagu “Freedom for Palestine”. Tembang itu merupakan kolaborasi musik yang digagas oleh gerakan OneWorld.
Setelah mengunggah tautan musik video itu, Coldplay langsung mendapat lebih dari 12 ribu komentar beragam. Sebagian penggemar yang tak setuju mengancam akan memboikot band, juga menuntut permintaan maaf kepada Israel. Unggahan itu kemudian dihapus oleh platform Facebook gara-gara banyak dilaporkan pengguna lain.
Selama bertahun-tahun, Martin menuai kemarahan penggemar pro Israel karena sikapnya terhadap Palestina. Pada 2019, saat menggelar konser di Amman, Yordania, seorang penggemar meminta Martin menyanyikan sebuah lagu untuk Gaza. “Saya percaya setiap manusia memiliki hak hidup di bumi ini. Saya tidak setuju dengan penindasan dalam bentuk apa pun,” kata Martin kala itu. (https://ameera.republika.co.id/berita/ruws8x425/coldplay-dukung-palestina-sejak-2011-sempat-dituntut-untuk-minta-maaf-kepada-israel).
Jadi, bagaimana umat Islam Indonesia menyikapi rencana konser Coldplay? Sebagian tokoh umat Islam sudah menyerukan agar konser itu dibatalkan. Alasan utama, karena dalam sejumlah konsernya, vokalis Coldplay memang tampak memberikan dukungan kepada LGBT. Hingga kini, belum saya temukan sikap tegas dari Coldplay terhadap LGBT dan rencana mereka saat konser di Indonesia. Sebaiknya, pihak penyelenggara dan Coldplay memberikan klarifikasi.
Belajar dari sejumlah kasus konser sebelumnya, sebaiknya pihak pemerintah Indonesia segera mengundang berbagai kalangan masyarakat Indonesia. Lakukan dialog secara tertutup untuk mencari solusi. Perdebatan di media – apalagi disertai dengan hujatan-hujatan – akan semakin memanaskan situasi.
Bagi penggemar Coldplay, menghadiri konsernya adalah satu harapan dan kebanggaan. Ada yang rela membayar sampai puluhan juta rupiah, demi bisa menghadiri konser band yang dikaguminya. Patut diperhatikan, banyak juga yang kecewa dan tidak dapat menghadiri konser, karena kehabisan tiket, atau karena tidak memiliki biaya. Ini bisa memancing kecemburuan sosial.
Pada sisi lain, umat Islam juga memiliki ajaran amar ma’ruf nahi munkar. Kata Nabi Muhammad saw, bahwa siapa saja yang melihat kemunkaran, ubahlah dengan tangan. Ini wewenang penguasa. Jika tidak mampu, lakukan dengan lisan. Jika tidak mampu juga, maka lakukan dengan hati. Artinya, jangan sampai hati kita ridha, apalagi mendukung kemunkaran.
Bahkan, siapa yang melakukan kemunkaran, dan mempromosikannya, maka ia akan menerima dosa dan dosa orang-orang yang mengikutinya. Jadi, orang-orang muslim tidaklah patut mengecam ulama-ulama yang menolak promosi LGBT dan sejenisnya. Sebab, yang mereka lakukan itu – aktivitas dakwah — merupakan ibadah kepada Allah SWT.
Faktanya, Indonesia adalah negara yang melindungi agama. Indonesia bukan negara netral agama. Maka, dalam memahami suatu peristiwa, patutlah pertimbangan agama dikedepankan. Indonesia, menurut Pancasila dan UUD 1945 bukanlah negara yang “netral agama”. Itu bisa dibuktikan dari munculnya kata “Allah” dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945. Allah adalah nama Tuhan bagi orang Islam, di mana pun. Satu-satunya agama di Indonesia yang Kitab Sucinya menyebut nama Tuhannya Allah adalah agama Islam.
Karena itulah, sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bermakna pengakuan akan Allah sebagai satu-satunya Tuhan. Maka, seyogyanya, pemahaman terhadap Pancasila dan UUD 1945 tidak diseret ke kutub netral agama.
Guru besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Prof. Hazairin, dalam bukunya, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990, cet.ke-6), menulis: “bahwa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak) bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” berarti pengakuan “Kekuasaan Allah” atau “Kedaulatan Allah”. “Negara RI, wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani dan syariat Hindu Bali bagi orang Bali, sekedar menjalankan syariat tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan Negara.”
Argumentasi Prof Hazairin tersebut sangat masuk akal. Sebab, dalam ajaran Islam, sekedar pengakuan saja terhadap eksistensi Tuhan Yang Maha Esa (Allah) belum memenuhi konsep Tauhid yang sempurna. Iblis telah mengakui Allah sebagai Tuhannya, tetapi Iblis disebut kafir karena menolak untuk tunduh kepada perintah Tuhan.
Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiulawwal 1404 H/21 Desember 1983 menetapkan: “Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.” (Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul “Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009).
Dalam ceramahnya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia pada pertemuan dengan Wanhankamnas, 25 Agustus 1976, Prof. Hamka menjelaskan tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa: “Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa di pasal 29 itu bukanlah Tuhan yang lain, melainkan Allah! Tidak mungkin bertentangan dan berkacau di antara Preambul dengan materi undang-undang.” (Lihat, Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945).
Jadi, bagaimana dengan konser Coldplay? Kita doakan, semoga Coldplay mengikuti jejak sejumlah selebriti Inggris yang memeluk Islam. Dan – andaikan konser Coldplay terlaksana di Indonesia — kita akan menyaksikan Coldplay menyanyikan lagu-lagu yang menguatkan iman dan akhlak bangsa, mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina, mengkampanyekan penolakan terhadap perzinahan dan LGBT. Mungkinkah? Ya, kita lihat saja!
Bagi orang muslim, ingatlah nasehat Pujangga kita, Raja Ali Haji, dalam Kitab Gurindam 12: “Barangsiapa mengenal Allah, maka suruh dan tegahnya tiada ia menyalah!”
Jadi, silakan bertanya kepada hati kita masing-masing: “Apakah Tuhan Yang Maha Esa ridho, saya menonton konser Coldplay?”
Kita semua, juga para ulama dan para pemimpin bangsa, akan menghadap Tuhan Yang Maha Esa, dan melaporkan kebijakan serta perbuatan kita pada-Nya. Kata Raja Ali Haji: “Akhirat itu begitu nyata, bagi hati yang tidak buta!”
**********
Penulis: Ustadz Dr. Adian Husaini, M.Si
(Dosen, Pendiri INSISTS dan Direktur Ponpe At Taqwa Depok)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)