Malu adalah salah satu cabang iman. Demikian bunyi penggalan salah satu hadits yang sangat masyhur. Rasa malu akan senantiasa mendatangkan kebaikan. Rasa malu dapat menjadi tameng yang menjaga manusia agar senantiasa berada dalam koridor kemuliaan. Rasa malu akan membuat manusia menjaga diri dari melakukan perbuatan nista yang melanggar norma kesopanan dan kesusilaan.
Rasa malu adalah sifat, perangai, serta akhlak yang menjadi pendorong seseorang untuk meninggalkan hal-hal yang tercela, baik berupa kemaksiatan maupun perbuatan yang buruk. Rasa malu adalah tameng yang melindunginya dari keburukan-keburukan tersebut.
Malu dapat diibaratkan sebagai sebuah mahkota yang indah dan mahal. Mahkota ini
harus senantiasa dikenakan setiap orang yang mengaku muslim karena malu adalah ciri khas seorang muslim. Bahkan malu dan iman itu adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Malu dan iman itu bergandengan bersama, bila salah satunya diangkat maka yang lain pun akan terangkat” (HR. Al Hakim)
Malu adalah salah satu sifat atau akhlak yang terpuji. Ada beberapa keutamaan malu diantaranya, pertama malu adalah salah satu cabang keimanan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tnggi adalah perkataan La ilaha llallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. yang Dan malu adalah salah satu cabang iman (HR. Bukhari).
Kedua, malu akan mendatangkan kebaikan bagi jiwa yang memilikinya. Karena rasa malu yang ada pada diri seseorang akan membuatnya menghiasi diri dengan senantiasa melakukan kebaikan. Rasa malu juga akan membuatnya menjauhi kemaksiatan. Karenanya, malu akan senantiasa mendatangkan kebaikan bagi pemiliknya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits,
“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata” (Muttafaq ‘alaihi)
Ketiga, Allah Azza Wa Jalla mencintai orang-orang yang memiliki rasa malu. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla itu Maha Pemalu, Maha Menutupi, Dia mencintai rasa malu dan ketertutupan. Apabila salah seorang dari kalian mandi maka hendaklah dia menutup diri (HR Abu Dawud, Nasa’i, dan Ahmad)
Keempat, malu adalah sifat para Nabi. Dimana dari beberapa sifat dan akhlak para nabi adalah rasa malu, termasuk Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam.
Dari sahabat, Imran bin Hushain, “Nabi shallallahu’alaihi wasallam adalah orang yang lebih pemalu daripada para gadis perawan dalam pingitannya” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Kelima, malu adalah akhlak islam. Sebagai seorang muslim, malu haruslah menjadi akhlak kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak islam adalah malu.”(HR Ibnu Majah)
Keenam, malu senantiasa seiring dengan iman. Karena malu dapat menjadi tameng bagi pemiliknya dari melakukan kemasiatan. Sesungguhnya malu dan keimanan merupakan dua hal yang selalu seiring. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Malu dan iman senantiasa bersama. ah Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya.” (HR. al-Hakim).
Dengan mengetahui makna serta keutamaan malu, sudah sepantasnya sebagai seorang muslimah, kita memiliki rasa malu tersebut. Bagi seorang muslimah, rasa malu adalah mahkota kemuliaan yang akan membuat dirinya menjadi lebih terhormat dan berharga. Rasa malu akan membuat seorang muslimah menjadi lebih spesial dan berbeda dengan perempuan-perempuan kebanyakan.
Jika melihat di zaman ini, tentu saja rasa malu telah menjadi barang yang begitu langka. Rasa malu yang seharusnya ada dan lebih banyak terdapat pada diri kaum perempuan, kini telah terkikis sedikit demi sedikit. Hari ini kita bisa dengan mudah mendapatkan perempuan-perempuan yang bertingkah laku dan bergaya semaunya. Atas dasar kebebasan dan kesamaan hak, mereka rela menanggalkan rasa malu dan bersaing dengan kaum lelaki demi untuk membuktikan bahwa mereka setara.
Tentu saja, hal ini sangat bertolak belakang dengan tujuan penciptaan laki-laki dan perempuan secara fitrah, Allah Subhanahu wa ta’ala menetapkan perbedaan fitrah baik itu secara fisik, akal, maupun perilaku.
Yang menyedihkan, banyak muslimah yang ikut terjebak dalam perangkap yang sengaja ditebar oleh musuh-musuh Islam. Dengan bangga, para muslimah tersebut meninggalkan mahkota rasa malu dan menggantinya dengan mahkota-mahkota lain yang diperoleh dari ajang ratu-ratuan atau pun putri-putrian.
Demi mahkota bertahtahkan emas permata, nama yang melambung serta materi yang tak sepadan, para muslimah berlomba-lomba mmengikuti beragam ajang tersebut. Dengan bermodalkan kecantikan serta kemolekan dan kemulusan tubuh, mereka rela berlenggak lenggok memamerkan nikmat yang telah dikaruniakan Allah Subhanahu wa sang Ta’ala atas mereka.
Padahal mahkota kebanggaan tersebut hanyalah semu belaka. Semua “kebanggaan tersebut bukanlah satu kebanggaan hakiki yang akan membawa pemiliknya menemukan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Justru, “kebanggaan” itu akan dimintai pertanggungjawaban dan akan diazab karena telah menyelewengkan nikmat karunia ilahi. Demi mahkota semu, mereka rela melepaskan mahkota kemuliaan yang abadi.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu:” (HR Bukhari)
Marilah kita jauhi jebakan-jebakan musuh Islam tersebut. Lihatlah kembali bagaimana para muslimah dahulu sangat menjaga kemuliaannya dengan senantiasa mengedepankan rasa malu. Ingatlah ketika Allah Ta’ala mengisahkan tentang salah satu perempuan di zaman Nabi Musa ‘alaihi salam.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan, ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata, ‘Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?’ Kedua wanita itu menjawab, ‘Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami) sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya’. Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya. ” (Qs. Qashash : 23-24).
Masya Allah, lihatlah betapa pemalunya kedua perempuan tersebut. Meski dalam keadaan yang sulit karena bapaknya tidak lagi sanggup menjalankan tugas, Keduanya tetap memperhatikan rasa malu. Keterpaksaan tidak membuat mereka rela berdesak-desakan dengan kaum lelaki. Sebaliknya, mereka rela menunggu hingga keadaan sepi setelah itu barulah mereka maju untuk memberi minum ternak-ternaknya.
Bandingkan dengan kondisi sebagian wanita saat ini. Jangankan dalam kondisi darurat, dalam kondisi yang biasa-biasa saja, mereka rela bahkan tak sungkan sedikit pun untuk bercampur baur, berdesak-desakan, bahkan berebut dengan lawan jenis. Bahkan ada semacam kebanggaan tersendiri bila mampu melakukannya. Naudzubillah.
Semoga kita selalu diberi keistiqamahan untuk lebih memilih mengenakan mahkota hakiki, mahkota yang akan membawa kebahagiaan bagi pemiliknya di dunia dan akhirat. Semoga kita dijauhkan dari bujuk rayu serta jebakan menggoda yang menginginkan kaum muslimah meraih mahkota semu,mahkota yang akan hanya akan membawa bencana bagi pemiliknya.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Ali ‘Ash radhiallahu anhuma berkata bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian jari Allah Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahhu wa Ta ‘ala akan memalingkan hati manusia menurut kehendak-Nya Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa; Allahumma mushorrifal quluub shorrif iua quluubanaa ala thoatik” (Ya Allah, Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan beribadah kepada-Mu!)” (HR. Muslim)
***********
Bulukumba, 17 Januari 2022
Penulis: Wahyuni Subhan
(Mahasiswa Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Pengurus Mujahid Dakwah Media)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel : www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)