Ada seorang remaja naik motor mau menerobos jalan verboden (dilarang masuk). Ada pak polisi di situ, lalu dia tanya, “Boleh lewat Pak Polisi?” Dengan santun dijawab oleh Pak Polisi, “Oh, nggak boleh, Dek. Lagian ini jalan arah sebaliknya ramai banget, jadi bahaya adek melintas melawan arus. Adek muter saja lewat sana nanti ketemu jalan itu juga kok. Lebih enak jalannya dan tenang tidak khawatir ketabrak.”
“Oh, baik Pak Polisi,” remaja itu melaju lewat jalan memutar. Pak Polisi senang memandangi dari kejauhan. Suatu ketika, dia ingin memberi hadiah pada remaja yang sopan dan taat hukum itu.
Lalu, di dekat jalan masuk verboden itu datang orang asing didampingi seorang warga setempat. Ketika ada remaja naik motor mau masuk jalan tersebut ia berhenti sejenak di depan tanda verboden tadi. Orang asing dan mbak yang menemaninya itu bilang, “Mau lewat jalan itu Dek? Lewat aja, nggak apa-apa kok. Di tempat saya remaja macam adek juga nggak apa-apa masuk jalan verboden. ASAL adek hati-hati saja. Ayo masuk sana.” Lalu masuklah remaja tersebut dan karena jalan dari arah berlawanan mobilnya kencang-kencang akhirnya itu remaja mati tertabrak mobil.
Kira-kira apa perasaan Pak Polisi? Dia tentu marah pada remaja terakhir yang tidak taat lalu lintas dan mudah dipengaruhi orang asing. Lebih-lebih lagi, Pak Polisi tadi pasti murka dengan orang asing yang merusak tatanan lalu lintas di tempatnya.
Itulah gambaran jika aturan Allah dilanggar. Salah satunya adalah zina. Allah sudah menyebut bahwa zina itu haram dan mendekatinya saja tidak boleh. Hal-hal yang mendekati zina ya di antaranya adalah pacaran, berduaan, jalan bareng, mojok, menyepi dan akhirnya perbuatan zina itu terjadi. Maka, Allah ingin para pemuda pemudi jika sudah mampu, segera menikah. Memang sedikit repot (muter), tapi pasti hasilnya baik. Aman, tenang dan nikmat.
Lalu datang orang asing yang membawa paham liberal feminis. Katanya, nggak apa-apa melakukan hubungan badan di luar nikah ASAL sama-sama SETUJU. Jika salah satu tidak setuju -bahkan sudah diikat oleh tali pernikahan pun, itu termasuk pemaksaan atau pemerkosaan. Paham feminis liberal intinya ingin membebaskan diri dari aturan agama dan budaya setempat atas dasar hak asasi manusia (HAM). My body is my right. Ngapain kalian urus tubuh-tubuh saya sendiri? Tidak boleh ini dan itu kecuali dengan persetujuan korban. Itulah dagangan yang sedang mereka jual bernama sexual consent. Hubungan seksual dinyatakan sah jika merupakan konsensus bersama kedua remaja. Jadi mereka mereka dianggap tidak salah melakukan perzinahan karena cinta itu suci. Tapi giliran hamil, panik.
Sexual consent tidak akan bisa diterapkan di bumi Indonesia yang berdasar Pancasila. Lagi pula, secara umum masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang agamis. Taat pada agama. Ketika sepasang remaja termakan paham sexual consent dan melakukan hubungan badan di luar nikah, mungkin mereka awalnya “agak” menyesal karena itu dosa. Tapi setan terus menggoda dan mengatakan perbuatan tersebut nikmat. Maka bisa jadi mereka mengulanginya.
Ketika terjadi kehamilan, masyarakat Barat tempat lahirnya paham ini yang memang sudah liberal, mudah saja menggugurkan kandungan. Karena cara pandang (worldview) mereka sudah liberal. Tidak ada nilai, tidak ada perasaan berdosa. Mereka rata-rata sudah ateis, tidak percaya Tuhan, wajar jika tidak kenal dosa.
Jadi, kalau keputusan mereka bersama digugurin ya digugurin saja. Tapi masyarakat Indonesia yang agama masih menjadi landasan hidupnya dan tahu soal dosa besar, gamang ketika kandungan ini harus atau diminta digugurkan. Disinilah tidak mungkin terjadi konsensus antara pasangan pria yang belum bekerja atau sedang sekolah dan perempuan yang mengandung. Karena belum bekerja atau malu dan sederet alasan lainnya, si pria hidung belang ini mudah saja menyuruh pacarnya menggugurkan kandungan. Si pacar tidak semudah itu menggugurkan kandungan karena jabang bayi sudah ada di perutnya. Selain itu perasaan dosa besar akan menghantuinya. Akhirnya ia tertekan, stress dan bunuh diri.
Sang pria pun tidak kalah tertekan sebetulnya, apalagi jika keluarga pacarnya menuntut keadilan. Istri saya dan komunitasnya dulu sering berkunjung ke penjara remaja (pria) di Tangerang. Salah seorang napi ditanya mengapa bisa masuk penjara. Dia diperkarakan oleh orang tua pacarnya karena menghamili anaknya. Padahal waktu kejadian dilakukan secara suka sama suka (sexual consent), namun bapaknya tidak terima anak remaja putrinya hamil sehingga pacarnya pun akhirnya masuk bui. Kalau sudah seperti ini siapa yang rugi? Siapa yang jahat? Siapa yang ‘mbujuki” dia melakulan sexual consent?
Pak Polisi sudah menetapkan jalan tersebut jalan verboden. Kalau mau masuk ya lewat jalan lain yang aman. Kalau dilanggar Pak Polisi akan marah. Demikian pula Allah. Hukum pernikahan sudah jelas. Kalau menginginkan hubungan seksual, ya nikah. Orang tua jangan mempersulit anak, terutama anak perempuan untuk menikah. Carikan calon suami yang shalih dan didik anaknya dengan akhlakul karimah. Jangan mudah terpengaruh oleh paham asing yang tidak sesuai dengan agama dan budaya kita bangsa Indonesia. Sungguhpun seperti keren, yang ngomong orang bule, profesor dan orang yang dianggap tokoh, kalau memerintahkan sesuatu yang nggak baik, ya jangan diikuti.
Ingatlah kata-kata orang tua kita dulu yang diabadikan dalam tembang mocopat Maskumambang:
Nadyan silih bapa biyung kaki nini,
Sadulur myang sanak,
Kalamun muruk tan becik,
Nora pantes yen den nuta.
Walaupun bapak, ibu, kakek, nenek,
Saudara serta sanak famili,
Kalau mengajarkan yang tidak baik,
Tidak pantas untuk ditiru.
Ikutilah nasihat Pak Polisi. Ikutilah aturan Allah. Just because ada orang2 sok keren ngasih tahu bolehnya melanggar aturan lalu lintas, tidak berarti menjadi boleh (halal). Sexual consent hukumnya haram walupun kemudian diadopsi menjadi permen atau UU.
Semoga Allah senantiasa melindungi kita dan generasi anak-anak kita dari paham feminis liberal yang sudah masuk ke mana-mana di berbagai sektor kehidupan tanpa kita sadari. Kuncinya, mari masing-masing dari kita menjaga diri dan keluarga, istri dan anak-anak kita sendiri dari ancaman tersebut. Tanamkan budi pekerti dan akhlak mulia, terutama rasa malu. Anak orang lain biar orang lain yang mengurusnya.
************
Penulis: Dr. Budi Handrianto, M.Pd.I
(Sekprodi S3 Sekolah Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor, Penulis Buku dan Peneliti Senior INSISTS)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah