Sore itu, langit memerah di ufuk barat, menandai pergantian waktu yang selalu terasa melankolis bagi Kholil dan Viktor. Jalanan yang mereka lalui dengan motor tua milik Kholil dipenuhi orang-orang yang berbaris panjang. Mereka menunggu antrean dapat gas elpiji 3 kg, atau yang akrab disebut “gas melon”.
Aroma kesabaran yang tipis terasa di udara, bercampur keluhan lirih dari mereka yang lelah menunggu giliran.
Kholil memperlambat laju motornya, lalu menepi sejenak sambil mengamati pemandangan itu dengan sorot mata penuh gelisah.
“Kenapa pemerintah seperti berbeda dengan rakyat?” gumamnya. Viktor yang duduk di belakang langsung menangkapnya.
“Namanya pejabat, ya, jelas beda dengan rakyat, Lil. Pejabat hidup dengan segala hal yang lezat. Kalau rakyat, cari hidup saja sudah gak kuat,” Viktor menimpali dengan nada setengah bercanda, tetapi tetap terasa menusuk.
“Apa-apa mahal. Sudah takdir rakyat kali, Lil. Kenapa kamu tanya begitu?”
Kholil mendesah pelan, seolah tak ada jawaban yang bisa menenangkan pikirannya. Ia memutar setang motornya lagi, melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah warkop kecil di pinggir jalan.
Mereka turun dan memilih tempat duduk yang menghadap ke jalan raya.
Gas Melon Urusan Siapa
“Kita ngopi dulu, lah. Ngurusin pemerintah, mestinya kan pemerintah yang urusin kita,” ujar Kholil sembari menyeruput kopi hitam yang baru saja ia terima dari pelayan.
Ia menyandarkan punggung ke kursi, tatapannya kosong menatap jalanan yang semakin padat.
Viktor tertawa kecil, tetapi tidak lama. Ia meletakkan gelas kopinya, lalu menatap Kholil dengan serius.
“Tapi kalau pemerintah gak ngurus kita, Lil, terus kita harus bagaimana? Diam saja? Terima nasib? Atau, ya, cuma duduk di sini sambil ngeluh?”
Pertanyaan itu seperti tamparan lembut di wajah Kholil.
Ia tahu Viktor tidak sedang menyalahkannya, tetapi menyuruhnya berpikir lebih jauh.
“Vik, aku tuh capek melihat antrean gas yang gak habis-habis. Dulu waktu kuliah, kita belajar soal ekonomi, tentang bagaimana pemerintah seharusnya menciptakan sistem distribusi yang merata dan efisien. Tapi kenyataannya? Lihat ini.” Ia menunjuk ke arah jalanan di mana antrean orang masih terlihat dari kejauhan.
Viktor menyandarkan tubuhnya ke meja dan berkata, “Oke, Lil, coba pikirkan ini. Kenapa gas melon itu langka? Apakah karena distribusinya buruk? Atau memang kebijakan pemerintah yang gegabah?”
“Distribusinya buruk dan kebijakan pemerintahnya juga gak mendukung,” jawab Kholil cepat, seolah ia sudah memikirkan itu sejak lama.
“Tapi bukankah subsidi itu tujuannya baik, supaya yang miskin bisa mendapatkannya dengan harga murah?” Viktor menantangnya lagi.
“Ya, memang. Tapi masalahnya, subsidi ini gak tepat sasaran. Banyak yang mampu malah ikut menikmati gas subsidi. Rakyat kecil yang benar-benar butuh, malah terpinggirkan,” Kholil semakin kesal.
Viktor mengangguk pelan. “Jadi menurutmu, solusinya apa?”
Kok Tanya Saya
Kholil terdiam sejenak. Ia memainkan gelas kopinya, memutar-mutar gagangnya sambil berpikir keras. “Kok tanya saya,” kata Kholil yang disambut Viktor karena terbayang pemimpin yang suka kaget dan mengelak kalau ditanya wartawan.
Kemudian, Kholil berkata, “Pertama, pemerintah harus punya data akurat siapa saja yang berhak mendapatkan subsidi. Distribusinya juga harus dikontrol ketat. Mungkin lewat sistem kartu khusus seperti Kartu Sembako. Jadi, yang benar-benar layak dapat subsidi bisa diidentifikasi dengan jelas.”
Viktor mengangguk setuju. “Dan bagaimana dengan mereka yang mampu tetapi masih ikut menikmati gas subsidi?”
“Pemerintah bisa menetapkan kebijakan bertahap. Misalnya, perlahan menghapus subsidi gas melon untuk kalangan menengah ke atas dan menggantinya dengan subsidi langsung berbasis kebutuhan keluarga miskin,” kata Kholil, suaranya mulai terdengar optimis.
“Dan satu lagi,” lanjut Kholil, “pemerintah juga perlu membangun infrastruktur gas yang merata hingga ke pedesaan. Jangan cuma terfokus di kota besar.”
Viktor tersenyum puas. “Nah, itu dia! Kamu sudah punya jawaban yang jauh lebih konstruktif daripada sekadar mengeluh, Lil. Kalau semua rakyat berpikir sepertimu, mungkin perubahan itu bisa lebih cepat terjadi.”
Kholil tertawa kecil, merasa lega. Ia menatap sisa kopi di gelasnya dan berkata, “Aku cuma ingin hidup rakyat kecil jadi lebih mudah, Vik. Bukan hal mewah, cuma gas melon saja, kok, bisa bikin mereka antre dan lelah begini.”
Viktor menepuk bahu Kholil. “Dan itu mungkin bisa kita wujudkan, asalkan kita terus berpikir kritis dan peduli. Kalau bukan kita yang mendorong perubahan, siapa lagi?”
Bukan Luka Tapi Duka
Sore itu, di tengah kesederhanaan sebuah warkop, dua pemuda yang belum mendapatkan pekerjaan berbicara soal solusi besar untuk rakyat kecil.
Mungkin mereka hanya dua suara kecil di antara jutaan lainnya, tetapi percakapan mereka adalah pengingat bahwa perubahan selalu dimulai dari pikiran dan ide yang lahir dalam kesadaran yang tulus.
Tetapi, Kholil dan Viktor seketika berubah menjadi layu, ketika membuka HP dan muncul berita dengan judul: “Antrean Gas Elpiji 3 Kg Membawa Duka, Warga Tangsel Meninggal Diduga Kelelahan.”
***********
Penulis: Ustadz Imam Nawawi, M.Pd.I
(Kepala Humas BMH Pusat, Eks Ketua Umum Pemuda Hidayatullah dan Pengasuh masimamnawawi.com)
Demikian Semoga Bermanfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)