Saya kadang bercakap-cakap dengan teman lama. Sebagian dari mereka tampak tak berubah (meningkat) cara berpikirnya. Indikasinya mudah saya temukan. Mulai pertanyaan hingga pernyataan benar-benar sama. Ia telah lahir lebih dari 3 dekade, tapi cara berpikir tidak progresif. Apakah ia kesulitan mengubah pikiran dalam dirinya?
Jonah Berger dalam buku “The Catalyst. Cara Mengubah Pikiran Siapa pun” mengatakan bahwa sebagian orang mengalami hambatan untuk berubah.
Sebagian dari mereka tidak tahu apa hambatan itu. Satu dari hambatan-hambatan itu adalah reaktansi. Yakni cenderung menolak pendapat orang lain kalau ada rasa kebebasan atau pilihannya terancam atau dibatasi.
Kondisi itulah yang membuat orang semakin sulit berubah. Lebih-lebih mengubah cara berpikirnya.
Bagi saya, salah satu hambatan besar orang sulit berubah adalah tidak sadar. Tidak menyadari kalau dunia ini ada dalam genggaman Tuhan.
Dalam bahasa Berger itu adalah hambatan distance (jarak). Yaitu orang pasti sulit berubah kalau antara ide baru dengan keyakinannya terdapat gap yang dalam atau jarak yang teramat jauh.
Berpikir Sadar Tuhan
Buya Hamka dalam buku “Lembaga Budi” memberikan peringatan perihal rumput. Siapa yang tidak kenal rumput. Tapi yang Buya maksud adalah fenomena rumput yang mengering bahkan hilang pada musim kemarau. Lalu tumbuh dengan subur dan lebat pada musim hujan.
Ulama asal Minang itu pun menegaskan. “Kalau Tuhan bisa membuat rumput yang mati hidup kembali, apalagi diri kita sebagai manusia,” begitu kira-kira. Pasti Allah bisa menghidupkan saya kembali.
Melalui fakta itu nalar kita sudah bisa mencerna, bahwa kita tak mungkin hidup seenak hati, sesuai hawa nafsu. Justru kita mesti benar-benar sadar bahwa Allah SWT terus mengawasi hidup kita.
Bagaimana kalau sudah tahu fakta itu dan respon hati dan pikiran seseorang biasa saja. Tak ada yang berubah. Ia harus melihat lagi lebih dalam. Karena yang bisa mengubah itu adalah cara dia memahami sesuatu.
Allah mengatakan tidak sama orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui.
Berubah Ikhlas
Lantas bagaimana cara mengubah pikiran kala menghadapi masalah dengan orang lain?
Mudah, ingat Allah. Jangan terus terseret arus berpikir dalam masalah yang seringkali menegasikan akal sehat.
Misalnya, A dan B berteman. Kemudian B dengan santainya meninggalkan A. Kalau A tahu bahwa hidup adalah tentang memaafkan, menemukan teman yang bertakwa, kepergian B tidak akan menjadi penghalang baginya mampu berpikir jernih.
Apalagi dalam “adat” kehidupan, orang datang dan pergi dalam hidup seseorang adalah hal biasa. Jadi apa yang perlu dirisaukan.
Perhatikan bagaimana Nabi Muhammad SAW dibenci oleh sebagian besar orang Quraisy. Apakah Nabi Muhammad SAW meratap? Tidak!
Beliau hijrah ke Yatsrib (Madinah). Apa yang terjadi, Nabi Muhammad SAW semakin luas pergaulannya, semakin banyak orang yang mendukungnya.
Dalam kata yang lain, kalau kita ingin pikiran kita berubah, kearah yang lebih baik, ingatlah Allah. Belajarlah dari sejarah orang-orang hebat. Mereka bukan sosok yang dalam 24 jam kerjanya melamun, menangis atau pun meratap. Mereka terus bergerak, maju dan progresif untuk kebaikan.
Jadi, apa yang bisa kita lakukan sekarang? Ubah pikiran kita. Bergerak dari berpikir yang hanya tentang diri menjadi bersama, lebih luas menjadi bangsa, umat dan negara. Kalau itu ada pada diri kita, apalagi sosok presiden, kemajuan akan jadi kenyataan. Tidak lagi pembahasan-pembahasan belaka.
***********
Penulis: Ustadz Imam Nawawi, M.Pd.I
(Kepala Humas BMH Pusat, Eks Ketua Umum Pemuda Hidayatullah dan Pengasuh masimamnawawi.com)
Demikian Semoga Bermanfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)