Malam ini (25/12), di hadapan para aktivis Pimpinan Pusat (PP) Lingkar Dakwah Mahasiswa Indonesia (LIDMI), saya berkesempatan berbagi tentang dunia yang saya geluti: jurnalistik.
Bukan sekadar teknik menulis berita, tetapi tentang sebuah panggilan jiwa, tentang tinta emas yang pernah menorehkan sejarah bangsa, dan tentang peran strategis mahasiswa di tengah lautan informasi masa kini.
Saya memulai dengan kisah tiga tokoh besar, tiga pendekar pena yang kiprahnya melegenda.
Pertama, H. Agus Salim. Bayangkan, di saat Indonesia masih berupa gagasan, belum berwujud negara merdeka, masih baru lahir, beliau berangkat ke Mesir.
Hanya berbekal selembar kertas bertuliskan “Kertas ini senilai Paspor”, Agus Salim berhasil melenggang melewati pemeriksaan imigrasi.
Bukan sihir, melainkan wibawa dan ketajaman tatapannya yang memancar, menegaskan bahwa ia bukanlah orang sembarangan.
Superioritas pribadi yang dibangun melalui kecakapan literasi dan diplomasi inilah yang mengantarkannya pada keberhasilan misi di kancah internasional. Apa yang membentuk Agus Salim seperti itu? Ketekunannya dalam membaca dan menulis.
Kedua, M. Natsir. Namanya tak hanya harum sebagai politisi, ulama, dan cendekiawan, tetapi juga sebagai jurnalis ulung.
Sejak belia, di bangku SMA, beliau telah akrab dengan dunia jurnalistik, mengelola majalah bersama A. Hassan. Renungkanlah, di zaman yang serba terbatas, tanpa gemerlap listrik seperti sekarang, dua anak muda ini berjuang menyalakan api literasi melalui sebuah majalah.
Bukankah ini sebuah upaya yang luar biasa, sebuah dedikasi yang patut diteladani?
Ketiga, Buya Hamka. Ulama besar ini juga seorang jurnalis yang berani. Dengan pena sebagai senjata, beliau lantang melawan penjajahan.
Tulisannya tajam, menusuk, dan menggetarkan, menjadi suluh perjuangan di tengah kegelapan.
Jalan Perjuangan
Kisah-kisah heroik ini saya sampaikan bukan untuk bernostalgia semata. Tetapi, untuk menggugah kesadaran, bahwa jurnalistik bukan sekadar profesi, melainkan sebuah jalan perjuangan.
Lalu, apakah di era digital ini, di saat banyak media konvensional bertumbangan, mahasiswa masih perlu belajar jurnalistik?
Justru di sinilah tantangannya! Arus informasi yang deras, tak jarang membawa serta sampah dan berita palsu.
Belum lagi, jika kita mau jujur, secara komparatif, berita dari Indonesia seringkali tenggelam di antara dominasi berita dari Amerika, China, dan negara-negara maju lainnya.
Ada ketimpangan yang nyata, ada suara-suara yang perlu diperjuangkan agar didengar.
Alat yang Ampuh
Di sinilah peran mahasiswa sebagai agen perubahan. Jurnalistik adalah alat yang ampuh, sarana untuk berjuang dengan lebih cerdas dan heroik.
Dengan menguasai ilmu jurnalistik, mahasiswa dapat menjadi penyeimbang informasi, menyuarakan kebenaran, dan mengawal jalannya demokrasi.
Lebih dari itu, mahasiswa dapat menjadi penerus jejak Agus Salim, M. Natsir, dan Buya Hamka, menorehkan tinta emas sejarah, demi Indonesia yang lebih baik. Mari, selami samudra jurnalistik, dan temukan kekuatan pena yang sesungguhnya!.
***********
Penulis: Ustadz Imam Nawawi, M.Pd.I
(Kepala Humas BMH Pusat, Eks Ketua Umum Pemuda Hidayatullah dan Pengasuh masimamnawawi.com)
Demikian Semoga Bermanfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)