Harta seseorang merupakan titipan Allah dan bukan milik seseorang secara mutlak.
Harta yang kita miliki dan seluruh kenikmatan yang kita miliki hakikatnya dari Allah dan milik Allah, dan kita hanya menjadi tempat dititipnya nikmat tersebut. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,
“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.”(QS. Al-Jatsiyah : 13)
Ayat ini menjadi dalil bahwa seluruh harta adalah milik Allah, dan Allah-lah yang memberikannya kepada kita. Sehingga semua itu adalah titipan.
Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS. Al-Hadid : 7)
Allah-lah yang menjadikan kita dapat memiliki harta, akan tetapi pemilik yang sesungguhnya adalah Allah Subhanahu Wata’ala.
Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu Wata’ala lebih jelas menegaskan,
“Dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.” (QS. An-Nur : 33)
Di dalam ayat ini, harta itu langsung disandarkan kepada Allah yang menunjukkan bahwa sejatinya harta itu milik Allah Subhanahu Wata’ala.
Perkara ini yaitu keyakinan bahwa segala harta adalah milik Allah Subhanahu Wata’ala telah dipahami oleh para sahabat. Bahkan dalam sebuah riwayat menjelaskan bahwa orang Arab badui pun paham akan perkara ini. Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau berkata,
“Saya berjalan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, ketika itu beliau mengenakan kain (selendang) Najran yang kasar ujungnya, lalu ada seorang Arab badui (dusun) yang menemui beliau. Maka ditariknya kain Rasulullah dengan kuat hingga saya melihat permukaan bahu beliau membekas lantaran ujung selimut akibat tarikan Arab badui yang kasar. Arab badui tersebut berkata; “Wahai Muhammad, berikan kepadaku dari harta yang diberikan Allah padamu”, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menoleh kepadanya diiringi senyum serta menyuruh salah seorang sahabat untuk memberikan sesuatu kepadanya.” (HR. Bukhari no. 5809)
Oleh karenanya dari sini saya ingin jelaskan bahwasanya harta yang kita miliki adalah titipan dari Allah Subhanahu Wata’ala dan bukan milik kita secara mutlak. Bukti akan hal ini sangat jelas tatkala kita tertimpa musibah, yaitu tatkala kita mengucapkan “Inna lillahi wa inna Ilaihi roji’un”. Kalimat ini mengandung keyakinan bahwa kita ini semua adalah milik Allah, dan akan kembali kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Maka tatkala ada orang yang mengingkari akan hal ini yaitu dia mendapatkan harta karena kelebihan dan kecerdasannya, maka hal tersebut adalah kesalahan. Kita harus sadar bahwa kita hanya melakukan sebab, akan tetapi Allah-lah yang memberikan harta tersebut kepada kita, sehingga usaha kita bukanlah kunci datangnya rezeki melainkan Allah-lah yang menentukan adanya rezeki atau tidak. Oleh karenanya tidak ada ahli matematika yang mengatakan bahwasanya kecerdasan berbanding lurus dengan kecerdasan.
Tidak berarti orang yang kaya itu lebih pintar daripada orang miskin, karena sekali lagi bahwa rezeki itu dari Allah Subhanahu Wata’ala. Kita dapati ada orang yang bergelar professor atau doktor, akan tetapi dia miskin. Sedangkan di sisi lain kita dapati ada orang yang tidak sekolah namun kaya raya. Oleh karenanya kecerdasan tidak berbanding lurus dengankekayaan.
Yang ingin kita tegaskan disini adalah harta itu adalah milik Allah, dan Allah-lah yang mengatur bagaimana harta tersebut bisa sampai kepada kita. Kita hanya menjalankan sebab, namun bukanlah kecerdasaan kita yang mengharuskan harta tersebut datang. Oleh karenanya tatkala Qarun dengan begitu bangganya memiliki harta yang begitu banyak, dia bersikap sombong. Sampai-sampai Allah Subhanahu Wata’ala mengabadikan perkataannya tersebut di dalam Alquran. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,
“Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakanumat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosadosa mereka.” (QS. Al-Qashash : 78)
Qarun lupa bahwa sesungguhnya Allah-lah yang memberikan harta itu kepadanya, dan bukan karena ilmu dan kecerdasannya.
Demikian juga kisah tentang tiga orang dari Bani Israil yang memiliki penyakit baros, kudis dan buta. Kemudian datanglah malaikat menyembuhkan penyakit mereka dan berdoa kepada Allah sehingga mereka memiliki harta yang banyak. Setelah mereka sembuh, malaikat tersebut datang kepada mereka pada waktu yang lain dalam kondisi sebagaimana tiga orang Bani Israil ini sebelumnya (memiliki penyakit).
Tatkala malaikat datang kepada orang yang buta dan ditanya tentang harta yang ia dapatkan, maka orang buta tersebut mengatakan bahwa harta itu dari Allah Subhanahu Wata’ala. Akan tetapi tatkala malaikat mendatangi orang yang memiliki penyakit kudis dan baros (albino) danbertanya kepada mereka tentang harta yang mereka miliki, maka mereka menjawab,
“Sesungguhnya aku mewarisi harta ini dari nenek moyangku yang kaya.” (HR. Muslim no. 2964)
Inilah sebagian kisah orang-orang yang kufur kepada nikmat Allah Subhanahu Wata’ala, dan orang-orang seperti ini dicela oleh Allah Subhanahu Wata’ala.
Oleh karenanya perkara yang semakin menunjukkan bahwa harta itu hakikatnya bukan milik kita melainkan milik Allah Subhanahu Wata’ala adalah tatkala kita meninggal dunia, maka harta kitapun langsung masuk dalam hukum Allah Subhanahu Wata’ala (hukum waris). Di antara dalil bahwasanya harta itu bukan milik kita adalah kenikmatan yang kita dapatkan tidak bisa kita salurkan tanpa aturan. Tatkala kita merasa bahwa harta adalah titipan dari Allah Subhanahu Wata’ala, maka kita harusnya sadar bahwa tatkala kita bermuamalah dengan titipan tersebut, maka harus sesuai dengan aturan yang memberikan titipan. Contohnya adalah jasad kita, ketahuilah bahwa jasad kita ini adalah nikmat dari Allah Subhanahu Wata’ala. Akan tetapi tidak boleh seseorang merusak jasadnya dengan seenaknya. Dan ingatlah bahwa setiap nikmat itu akan diertanggungjawabkan kelak. Dan Allah Subhanahu Wata’ala telah berfirman,
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (QS. An-Nahl : 53)
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At-Takatsur : 8)
Oleh karenanya jika ada orang yang merusak tubuhnya hingga meninggal dunia, maka dia akan diazab oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,
“Barangsiapa menjatuhkan diri dari gunung, hingga membunuh jiwanya (bunuh diri), maka ia akan jatuh ke neraka jahannam secara terus menerus, ia kekal serta abadi di dalamnya selama-lamanya. Barangsiapa menegak racun, hingga meninggal dunia, maka racun tersebut akan berada di tangannya, dan ia akan menegaknya di neraka jahannam, ia kekal serta abadi di dalamnya selama-lamanya. Dan barang siapa bunuh diri dengan (menusuk dirinya dengan) besi, maka besi itu akan ada di tangannya, dengannya ia akan menghujamkan ke perutnya di neraka jahannam, ia kekal dan abadi di dalamnya selama-lamanya.” (HR. Bukhari no. 5778)
Oleh karenanya tatkala seseorang mengetahui bahwa titipan harta tersebut dari Allah Subhanahu Wata’ala, maka seseorang mengelola titipan tersebut dengan aturan Allah Subhanahu Wata’ala. Aturannya pun sangat mudah, karena ada dua pertanyaan yang akan Allah Subhanahu Wata’ala tanyakan kepada seseorang dari setiap harta yang dimiliki. Pertanyaan tersebut adalah dari mana harta itu didapakan dan kemanakan harta itu dibelanjakan (digunakan).Pertanyaan pertama yaitu dari mana harta didapatkan- ini telah banyak membinasakan banyak orang. Allah akan bertanya secara detil tentang harta yang kita miliki, apakah itu semua didapatkan dengan cara yang halal atau haram, atau bahkan dari perkara yang syubhat. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’ala tahu dari mana asal semua harta kita. Maka betapa banyak orang yang akan binasa tatkala Allah Subhanahu Wata’alanbertanya tentang dari mana harta itu didapatkan, dan orang-orang tatkala itu tidak bisa menjawab. Kalaupun sekiranya harta yang kita dapatkan halal sepnuhnya dan disertai dengan bukti-bukti, maka pertanyaan selanjutnya adalah dimanakah harta itu dihabiskan. Sungguh pertanyaan kedua ini juga sangat sulit dan tidak jauh lebih mudah dari pertanyaan pertama. Kita akan ditanya kelak tentang kemaka harta itu dihabiskan, apakah dihabiskan dengan berfoya-foya? Ataukah dihabiskan untuk membeli barang yang tidak berguna? Ataukah digunakan untuk membeli barang-barang mewah untuk angkuh dan sombong? Ataukah dihabiskan di jalan Allah Subhanahu Wata’ala? Sungguh ini adalah pertanyaan yang berat yang akan ditujukan kepada setiap diri kita.
Oleh karenanya tatkala kita menyadari bahwa harta kita itu adalah titipan dari Allah Subhanahu Wata’ala, maka gunakan dengan syarat kita bisa menjawab pertanayaan Allah Subhanahu Wata’ala pada hari kiamat kelak, yaitu dari mana didapatkan dan kemana harta tersbeut dibelanjakan.
*************
Penulis : Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc MA
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah