MUJAHIDDAKWAH.COM, MAKASSAR – Madani (Center For Islamic Studies) sukses mengadakan Madani Islamic Online Forum yang dilaksanakan melalui Zoom Meeting yang diikuti oleh puluhan peserta dari berbagai daerah di Indonesia. Sabtu malam, (18/12/2021).
Tema yang diangkat pada MIOF kali ini mengenai Konsepsi dan Kontribusi Ilmu Kalam dalam Khazanah Intelektual Islam. Kajian kali ini menghadirkan pemateri yakni Ustadz Dr. Nirwan Syafrin Manurung, M.A, yang merupakan Pembina Madani-CIS sendiri sekaligus peneliti senior pada lembaga INSISTS.
Di awal-awal materinya beliau memaparkan tentang menariknya tema ini. Apalagi jika dihubungkan dengan pandangan yang berkembang di beberapa kalangan tentang konsep ilmu kalam.
“Ilmu kalam saat ini kadang masih menjadi kontroversi. Masih banyak yang kukuh mempertahankan haramnya secara mutlak ilmu kalam ini. Muncul tuduhan bid’ah atau haramnya ilmu kalam masih sering kita dengarkan. Padahal pada dasarnya, entah haram atau tidak, ilmu kalam tidak bisa dipisahkan dari peradaban Islam. Bahkan tidak sedikit kontribusinya terhadap dakwah Islam. Jikalau ada yang menafikan maka secara tidak langsung menafikan ia sebenarnya sedang menafikan peradaban Islam,” ujarnya
Dr. Nirwan kemudian mengutip beberapa pandangan ulama tentang definisi ilmu kalam. Misal, Al-Ijibi menyebut ilmu kalam sebagai ilmu yang tujuannya untuk mengafirmasi akidah dan keimanan dengan mendatangkan hujjah dan bukti untuk menolak syubhat menggunakan hujjah akliah. Hujjah naqliah sudah sama-sama dimaklumi tentang hal tersebut.
Adapun Ibnu Khaldun memandang ilmu kalam sebagai ilmu yang mengandung hujjah-hujjah tentang keimanan dan hujjah aqidah dengan dalil-dalil akal untuk menolak bid’ahnya orang yang menyimpang dari mazhab salaf dan ahlussunnah. Ilmu kalam ini ada untuk merespon pandangan salah tentang akidah islamiyah sebagaimana hal yang disebutkan pada Muqaddimahnya.
Dari definisi yang ada, ilmu kalam ada untuk mempertahankan keimanan dengan dalil aqli. Ia kemudian mengungkapkan keterkaitan ilmu kalam dengan disiplin ilmu agama yang lain.
“Ilmu kalam sangat berkaitan dengan ilmu lain. Terutamanya ilmu ushul fiqh. Pembahasan ushul fiqh bisa dibahas karena ilmu kalam telah mengitsbatkan terlebih dahulu. Misal penggunaan al-Qur’an sebagai sumber utama Islam maka itu dibahas pada ilmu kalam (telah diitsbatkan). Dalam fiqh tidak akan dibahas mengenai posisi al-Qur’an mengapa ia digunakan sebagai sumber,” tegasnya.
Ilmu kalam memang pada awalnya ada untuk mempertahankan keimanan. Sayangnya terjadi perkembangan yang menyebabkan ilmu kalam ada yang berkembang ke arah ekstrim.
Ibnu khaldun dan Syahrastani mengungkapkan adanya penyimpangan mu’tazilah karena mereka mendalami filsafat terlalu dalam sehingga akhirnya terpengaruh pemikirannya. Sehingga akhirnya timbullah dari para ulama tentang kebid’ahannya. Ada yang mengatakan asal ushul fiqh berasal dari ilmu kalam. Sehingga bahwa perbedaan fundamental antara mu’tazilah dengan ahlussunnah adalah pada ushul fiqhnya.
Lebih lanjut, Ustadz Nirwan menjelaskan beberapa faktor yang menjadi penyebab kemunculan ilmu kalam. Beliau membaginya menjadi dua yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal diantaranya adalah keberadaannya pada Al-Qur’an dan Sunnah, adanya konflik internal pada masa kekhalifahan. Adapun sebab eksternal berupa adanya filsafat Yunani, masuknya pemikiran asing dalam Islam, dan meluasnya teritori Islam.
“Di dalam al-Qur’an dan hadits banyak dibahas tentang perkara akidah. Beberapa ayat membuka peluang munculnya perbedaan dalam menafsirkan. Misal tentang Allah menciptakan perbuatan atau tidak. Nah, meskipun ilmu kalam tidak ada pada zaman nabi, tidak berarti prinsip dasarnya tidak ada. Ini sama halnya dengan ilmu ushul fiqh atau ilmu tajwid. Para sahabat juga tidak tahu tentang hal tersebut secara terstruktur tapi mereka juga memahaminya bahkan menjadi sumber pemahaman kita. Misal mengenai adanya fa’il dan maf’ul bihi, tentu para sahabat tidak menggunakan istilah tersebut. Akan tetapi bukan berarti mereka tidak tahu. Begitu pula halnya dengan ilmu kalam. Banyak ayat al-Qur’an yang mengindikasikan prinsip dasar ilmu kalam,” tambahnya.
Imam Abu Hasan Al-Asy’ari mengatakan bahwa bukannya Rasulullah tidak tahu tentang ilmu kalam. Prinsip-prinsipnya dapat kita temukan dalam al-Qur’an. Namun, belum mengemuka karena masalah itu belum muncul pada zaman Rasulullah.
Adapun menurut Ustadz Nirwan, adanya beberapa orang yang mengangkat tentang klaim keharaman ilmu kalam dengan mengutip Imam Syafi’i, Imam Malik, dan ulama lainnya maka itu tidak dipahami secara mutlak. Perlu kita pelajari penjelasan tentang apa yang dimaksud dari kritikan mereka terhadap ilmu kalam.
“Pendapat para ulama tentang Ilmu kalam selalu diangkat tentang haramnya. Misal perkataan Imam Syafi’i dan Imam Malik. Sebenarnya hal ini tidak secara mutlak. Yang dikritik itu adalah paham ilmu kalam yang mengalami penyimpangan dari ahlussunnah. Kalau yang sekarang misalnya kita bisa lihat pada ilmu kalamnya kaum liberal dan pluralisme. Itu juga adalah isu-isu ilmu kalam yang dibahas pada konteks itu dan dibungkus dengan filsafat. Tentu ini adalah paham yang berbahaya. Jadi yang dikritik Imam Syafi’i itu adalah yang menyimpang. Ahli kalam yang menyebarkan kebid’ahan. Sebagaimana dijelaskan Imam Baihaqi dalam Manaqib Imam Syafi’i,” pungkasnya.
Dosen UIKA Bogor tersebut mengungkapkan pentingnya mempertahankan iman dengan ilmu kalam. Contohnya bagaimana saat ini kita dalam melawan isu hermeneutika. Untuk melawan hermeneutika maka kita masuk juga ke dalam gelanggangnya. Hal inilah menurut beliau yang dilakukan lembaga INSIST saat ini. Kalau hanya sekadar menggunakan jargon bid’ah dan sesat maka mereka jelas tidak akan menerima.
Pada bagian akhir materi, Ia kemudian menjelaskan dengan lugas beberapa kontribusi ilmu kalam dalam khazanah intelektual Islam. Setidaknya ada enam hal yang beliau sebutkan yakni mempertahankan akidah Islam, memberikan fondasi rasional bagi keimanan, basis pengembangan sains modern, mengembangkan moderatisme beragama, basis pengembangan worldview Islam, dan bermanfaat bagi pengembangan epistemologi dan metodologi Islam.
Pada akhir materinya menjelaskan tentang relevansi ilmu kalam pada saat ini. Menurut beliau, ilmu kalam pada dasarnya muncul mempertahankan akidah dan keimanan dengan menggunakan dalil aqli. Hal ini untuk membantah syubhat akidah yang tersebar. Apakah masih relevan? Ilmu kalam justru lebih penting lagi untuk dipelajari saat ini.
Jika dulu penyimpangan Mu’tazilah masih pada beberapa hal, maka saat ini penyimpangan dalam hal akidah sudah sangat luar biasa. Jika Mu’tazilah dan Khawarij dulu masih melaksanakan shalat, maka pada era sekarang muncul pemikiran bahwa shalat itu tidak wajib. Bahkan semisal Nasr Hamid Abu Zayd yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah sebuah produk budaya dan bukan Kalamullah.
Laporan: Solihin
Editor: Muh Akbar