Di dunia pesantren, yang disebut santri itu yang memiliki karakter khusus. Almarhum KH. Kholil Nawawi, PP. Sidogiri Pasuruan, pernah menjelaskan sifat santri. “Santri, berdasarkan peninjuan tindak langkahnya adalah orang yang berpegang teguh dengan tali Allah Swt yang kuat (al-Qur’an) dan mengikuti Sunnah Rasul Saw serta teguh pendirian dalam setiap keadaan. Ini adalah arti dengan bersandar sejarah dan kenyataan yang tidak dapat diganti dan diubah selama-lamanya. Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui atas kebenaran sesuatu dan kenyataannya”.
Santri, menurut KH. Kholil Nawawi adalah santri pesantren yang teguh dan kuat dalam memegang ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Artinya, santri itu tidak mudah mengikuti pemikiran baru luar ajaran salaful ummah. Justru, santri merupakan pejuang untuk menegakkan ajaran para ulama salafnya.
Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari menulis kitab penting yang menjadi pedoman para santri. Kitab itu berjudul “Adabul ‘Alim wal Muta’allim” (Adab Santri dan Guru). Salah satu adab yang menjadi ruh perjuangan santri adalah, santri dalam belajar agama harus dengan niat taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Swt, menyebarkan ilmu, menghidupkan agama Islam, menyebarkan hukum Allah, dan menampakkan kebenaran.
Maka setiap orang yang berstatus santri harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk membersihkan pemikiran dari hal-hal yang merusak keimanan. Imam al-Syafi’i pernah mengatakan dalam salah satu syairnya: “Jika Anda tidak menyibukkan diri Anda dengan kebenaran, maka ia (waktu) akan menyibukkan Anda dengan kebatilan”. Tazkiyatul fikr (pembersihan pemikiran) dilalui dengan proses penyadaran diri yang disebut riyadlah.
Proses tersebut disebut juga jihad nafsu (mujahadah al-nafs). Di kalangan ahli tasawwuf, jihad nafsu itu menjadi cara untuk membentuk jiwa bertakwa dan beradab yaitu jiwa yang ingatannya tidak pernah lepas dari Allah Swt Swt dalam setiap aktifitasnya.
Imam al-Sya’rani pernah memberi nasihat, bahwa jihad nafsu itu fardhu ‘ain yang harus dilakukan setiap hari. Ia mengatakan, mujahadah itu kewajiban yang tak terputus, sepanjang masa seorang muslim wajib berjihad melawan hawa nafsunya. Sebab, nafsu secara terus-menerus menggoda manusia agar meninggalkan syariat Allah Swt Subhanahu wa ta’ala. Maqam (kedudukan tinggi seorang hamba di sisi Allah Swt ) tidak mungkin diraih tanpa jihad nafsu. Ia mengatakan: “Barang siapa yang menyangka dirinya telah mencapai derajat tanpa mengerahkan usaha melawan nafsu dalam beribadah, maka sungguh itu mustahil” (Tanbih al-Mughtarin, hal. 111).
Para ulama’ memberi teladan bagaimana menjadi santri yang shalih, yakni bersih ruhani menjauhi segala aktifitas maksiat. “Ilmu (hafalan) tidak bersahabat dengan maksiat,” begitu bunyi nasihat Imam al-Waqi’ kepada Imam as-Syafi’i.
Maka, imam al-Ghazali merumuskan adab santri pemula yang utama dan pertama sama dengan tirakat, yaitu mensucikan jiwa. Penjelasannya, karena ilmu adalah ibadah hati, atau shalatnya hati. Suatu shalat tidak sah bila anggota badan atau baju ada najis. Begitu pula mencari ilmu tidak sah (tidak akan sukses) jika hati ada najis (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulmuddini 1, hal. 67).
Adab utama berikutnya yang juga bagian dari lelaku tirakat adalah meminimalisir perkara yang berkaitan dengan kesibukan duniawi. Bahkan dianjurkan meninggalkan keluarga atau tempat tinggalnya. Kesibukan duniawi menurut imam al-Ghazali dapat menjauhkan dari ilmu manfaat. Sementara, berjauhan dengan keluarga atau tempat tinggal supaya seorang tidak mudah hidup enak-enakan.
Prosesi ini merupakan kunci keberhasilan seseorang mencari ilmu. Hadratus Syaikh KH. Hasyim ‘Asyari menjelaskan, orang berilmu adalah orang yang niat belajarnya karena mencari rida Allah, bersih hatinya, dan wara’. Bukan bermaksud untuk kepentingan duniawi, seperti untuk memperkaya, mendapatkan jabatan dan memperbesar pengaruh di hadapan orang. Bahkan, memperbanyak tidur dan makan bukanlah adab seorang santri karena hal itu akan menghalangi ilmu. Niat yang benar dan membersihkan hati merupakan adab santri terhadap dirinya (Hasyim Asy’ari, Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, hal.25-26). Hal ini ditekankan secara ketat ketika awal dalam proses belajar. Tetapi, juga wajib selama mencari ilmu.
Sebelum menulis kitab monumentalnya Ihya’ Ulumuddin, imam al-Ghazali sampai uzlah selama 11 tahun lamanya. Meninggalkan segala jabatannya sebagai guru besar di Madrasah Nidzamiyah, rela tidak mendapatkan gaji cukup, menjauhi baju kehormatan dan kebanggannya di Baghdad. Selama itu, ia bertafakkur, riyadhoh dan membersihkan jiwanya secara ketat. Proses itu berhasil. Hingga menghasilkan beberapa karya hebat.
Maka, seyogyanya ilmu tazkiyatu nafs dan ilmu riyadhoh menjadi pelajaran utama dan pertama bagi santri pemula. Adab sebelum ilmu. Adabkan jiwa terlebih dahulu, baru kemudian memsantrii perincian cabang-cabang ilmu. Adab dalam penjelasan imam al-Ghazali sesungguhnya pendisplinan jiwa (Imam al-Ghazali, Raudhatu al-Thalibin wa Umdatus Salikin, hal. 10 – 11).
Awal yang baik merupakan pintu akhir yang baik. Santrian awal bagi santri harusnya memberi penekanan pada ilmu tasawuf ini. Tasawuf untuk anak, dan tawawuf untuk remaja. Tujuan pendidikan melahirkan manusia yang baik. Manusia yang baik lahir dari proses pendidikan yang baik. Adapun pendidikan yang baik bila diawali dengan pendisplinan jiwa yang baik dengan tasawuf ini.
Maka, pengadaban jiwa bisa disetting dengan penkondisian. Bagaimana supaya meminimalisir antara santri lelaki dan perempuan banyak interaksinya. Khususnya santri remaja. Dibiasakan puasa. Senin-kamis. Karena puasa itu menghendalikan nafsu dan keingingan yang berlebihan. Dikontrol adab-akhlaknya. Dibiasakan ibadah-ibadah sunnah. Ditarget membaca al-Qur’an dan dzikirnya.
Menghindari maksiat sekuat mungkin dihindari. Sekecil apapun. Imam syafi’i juga pernah mengatakan: ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah Swt tidak akan masuk kedalam hati orang-orang yang selalu bermaksiat. Lebih-lebih maksiat menentang Allah Swt.
Pluralisme adalah bentuk maksiat yang sangat berat dosanya. Paham ini difatwakan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) tahun 2005 sebabagai paham yang haram. Karena bertentangan dengan tauhid. Islam mengajarkan, siapapun yang ingin selamat haruslah melalui jalur Nabi Muhammad SAW, bukan melalui Kristen, Yahudi, Budha, Hindu dan agama-agama lain. Allah SAW telah memberi satu jalur saja untuk mencapai keselamatan. Bila ada sekelompok membuat jalur lain maka dipastikan itu bukan dari perintah Allah SWT.
Nabi Saw bersabda: “Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorangpun, baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa kecuali ia akan menjadi penghuni neraka” (HR. Muslim).
Karena itu, seorang santri yang berpegang teguh pada ajaran salaf ummah akan menentang paham ini. Berjuang agar paham pluralism tidak masuk ke dalam pesantren.
Sementara itu, orang yang berjuang menghidupkan agama dan syariat Allah dan Rasul-Nya harus dibelaki dengan ilmu-ilmu agama yang cukup. Agar dalam perjuangannya tidak keliru. Sehingga seorang pejuang harus menjadi santri. Dan Seorang santri harus menjadi seorang pejuang. Selalu ada semangat dalam hati untuk menyebarkan ilmu dan menghidupkan agama.
***********
Penulis: Ahmad Kholili Hasib, MA
(Direktur Institute Pemikiran dan Peradaban Islam {INPAS} dan Dosen IAI Darullughah Wadda’wah Bangil)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)