Selepas Subuh pada Ahad (22/6/25) saya menyambar buku “Rehat Mental” karya Kareem Esmail. Dia bercerita tentang temannya ketika umur 20-an tahun. Temannya itu punya keinginan mulia, menghadirkan jejak dalam hidupnya. Tentu saja jejak terbaik. Sayangnya, sang teman itu justru adalah pribadi yang tak bergairah dalam kebaikan. Lalu?
Ia tidak bergairah karena sangat sibuk pada jejak besar apa yang bisa ia berikan. Ia lupa pada hal-hal kecil yang juga bisa menjadi jejak kebaikan. Kareem mengatakan, bukankah senyum dengan tulus dan ikhlas kepada sesama itu jejak?
Lebih lanjut Kareem mengatakan, bukankah menjadi teladan di dalam rumah untuk anak dan istri, itu juga jejak kebaikan?
Saya lalu mengambil kesimpulan yang saya suarakan kepada istri. “Kita harus melakukan kebaikan sekecil apapun. Karena itu adalah jejak terbaik hidup yang bisa kita lakukan.”
Tak kuduga, istri menjawab, “Betul sekali”.
Kisah Luqman Al-Hakim
Mungkin sebagian orang memang suka meninggalkan jejak dengan karya-karya monumental, terutama yang sifatnya fisik. Seperti istana, taman, atau pun patung.
Namun, kalau kita perhatikan dalam Alquran, Allah memberikan kita jejak Luqman Al-Hakim bukan karena keterampilan membangun gedung. Tetapi nasihat bijak kepada anaknya agar tidak mempersekutukan Allah SWT.
Ketika anak tumbuh dewasa dengan jiwa tauhid, ia tidak akan memandang penting segala hal selain Allah SWT. Dengan begitu akan mudah hidup dalam kesadarannya sifat menyayangi, tajam empati, dan terdepan dalam kepedulian.
Ia menjadikan nilai Alquran sebagai landasan bersosial, bermasyarakat. “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al-Hujurat: 10).
Melalui ayat itu ia punya misi, yakni bagaimana mampu memperbaiki hubungan antar saudara. Kalau itu terbentuk dalam jiwa dan sistem berpikir seorang Muslim, mustahil dia akan bertindak jahat kepada sesama orang beriman.
Akan tetapi, karena kebanyakan anak-anak dididik dengan “ketakutan” tidak bisa hidup enak, sebagian dari mereka tumbuh menjadi koruptor. Mereka hidup dengan kondisi nir empati. Bahkan mereka hidup hanya “menyembah” materi.
Lakukan dan Kuatkan
Jadi, berbicara tentang jejak terbaik dalam hidup kita, ada dua hal prinsip mesti hadir dalam hati.
Pertama, tauhid dalam jiwa kita harus kuat. Memandang bahwa perintah Allah baik dan mendatangkan kebaikan harus menghujam dalam hati. Tentu tetap dengan kebijaksanaan dalam upaya implementasinya. Ingat sejarah Nabi Ibrahim yang mengedepankan cara-cara dialog dengan Nabi Ismail dalam hal akan menjalankan perintah Allah yang sangat besar.
Kedua, lakukan hal-hal kecil yang memang Allah pandang bernilai dalam hidup ini. Senyum kepada sesama, itu berpahala setara sedekah. Maka jangan ketemu orang dengan wajah cemberut. Kata Gus Baha, kalau lagi tak enak hati, jangan keluar rumah. Sebab tersenyum kepada sesama itu sunnah.
Adapun kalau kita telah memilih satu hal untuk jadi jejak kebaikan, seperti berkegiatan di masyarakat, menulis, dan lain sebagainya, maka lakukan dan kuatkan selalu.
***********
Penulis: Ustadz Imam Nawawi, M.Pd.I
(Kepala Humas BMH Pusat, Eks Ketua Umum Pemuda Hidayatullah dan Pengasuh masimamnawawi.com)
Demikian Semoga Bermanfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)