Sebuah pertanyaan kritis sampai kepada kami, “logikanya, kalau secara geografis kita duluan mengapa hari lebarannya malah kita belakangan…?”
Jawaban pertanyan ini bisa dijawab jika diulas dua variabel dalam pertanyaannya:”secara geografis kita duluan” dan “lebarannya kita belakangan”.
Secara Geografis Kita Duluan
Dalam perspektif astronomi,”secara geografis kita duluan” dimaksudkan bahwa wilayah kita,Indonesia (lebih ke timur), lebih dulu terkena cahaya matahari dibandingkan Saudi (lebih ke barat),sehingga waktu dan penanggalan kita lebih dulu. Ini disebabkan adanya gerak semu harian matahari dari timur ke Barat.Jadi,secara geografis kita lebih dulu, terkait dg pergerakan semu mataharinya.
Lebarannya Kita Belakangan
Metode rukyat dan hisab biasanya digunakan untuk penetuan hari lebaran. Tapi melihat dari pertanyaannya, orang ini meyakini rukyat sebagai metode dalam penentuan awal 1 dzulhijjah. Maka pembahasan ini dibatasi pada persoalan rukyat saja.
Jika perputaran waktu basisnya pergerakan semu matahari,maka lebaran terkait dengan ketampakan hilal di suatu daerah. Keterlihatan hilal itu,bergantung oleh banyak faktor,seperti ketinggian hilal,jarang lengkung bulan-matahari,lebar dan iluminasi hilal, kondisi atmosfir,dll (di waktu magrib).
Dari sini,
1. Objek yg dijadikan basis sudah beda,satunya gerak semua matahari,satunya hilal.
2. Selain itu,waktunya juga beda,satunya ditinjau sepanjang waktu,dan satunya ditinjau hanya setelah sholat magrib saja.
3. Ditambah lagi, gerak semu matahari itu teratur setiap hari di semua tempat, keterlihatan hilal itu tidak teratur/berubah-ubah,bergantung tempat dan waktunya. Meskipun begitu, semakin ke barat,maka peluang melihat hilalnya semakin besar karena umur hilal yg semakin tua dan jarak hilal yang semakin jauh dari matahari.
Sebagai contoh, saat matahari terbenam di gorontalo pada tanggal 29 Juni,tinggi hilal hanya sekitar 1.5 derajat. Saat matahari terbenam di Tumair Saudi,tinggi hilal sudah 5.5 derajat. Dari sini saja, sudah nampak tinggi hilalnya beda,maka tentu peluang ketampakannya juga jadi beda.
Lebih jauh, jika kondisi cuaca atau atmosfir masing-masing daerah berbeda,maka peluang terlihatnya akan jadi beda,bahkan bila tinggi sama pun,tapi kondisi cuaca atau atau atmosfir beda,maka boleh jadi beda pula hasilnya.
Fakta kegiatan rukyatul hilal tanggal 29 Juni/Zulqodah kemarin,walaupun di Indonesia yang tingginya hanya berkisar 1 derajat,hilal tak terlihat. Adapun Saudi yang tinggi hilalnya lebih dari 5.5 derajat,hilalnya terlihat.
Oleh karena itu,tidak ada hubungan antara kondisi geografis yang duluan mendapati cahaya matahari,dengan harus lebih dulunya terlihat hilal di daerah tersebut.
Meakipun di Saudi hilal sudah terlihat,mengapa pemerintah Indonesia tidak ikut hasil rukyat Saudi? Perlu dipahami bahwa dalam kazanah fiqh, ada dua metode rukyat, rukyat global dan rukyat lokal. Rukyat global akan menetapkan awal bulan hijriyah jika sudah ada satu belahan bumi yang melaporkan keterlihatan hilal, tanpa mempertimbangakan sekat2 teritorial. Adapun rukyat lokal,mengharuskan hilal itu terlihat di wilayahnya masing-masing,misalnya Indonesia.
Pemerintah Indonesia menguatkan untuk penggunaan rukyat lokal dibandingkan rukyat global karena dianggap lebih sesuai dengan hadits riwayat Muslim berikut.
Dari Kuraib : Sesungguhnya Ummu Fadl binti Al-Haarits telah mengutusnya menemui Mu’awiyah di Syam. Berkata Kuraib : Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku (bulan) Ramadan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadlan) pada malam Jum’at. Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadan), lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku (tentang beberapa hal), kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya ; “Kapan kamu melihat hilal (Ramadan) ? Jawabku : “Kami melihatnya pada malam Jum’at”. Ia bertanya lagi : “Engkau melihatnya (sendiri) ?” Jawabku : “Ya ! Dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu’awiyah Puasa”. Ia (Ibnu Abbas) berkata : “Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawal) “Aku bertanya : “Apakah tidak cukup bagimu rukyah (penglihatan) dan puasanya Mu’awiyah ? Jawabnya : “Tidak ! Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami”.
Pemerintah Indonesia memahami bahwa hasil rukyat di Syam dan di Madinah berbeda tapi senyatanya,saat ditanya, Ibnu Abbas yang ada di Madinah tetap berpegang pada rukyat di Madinah,bukan rukyat Syam. Wallahu a’lam.
***********
Penulis: Andi Muh. Akhyar, M.Sc
(Direktur Sekolah Astronomi Islam Indonesia, Dosen Fisika Universitas Negeri Gorontalo, dan Pengurus Badan Hisab Rukyat Kemenag Sul-Sel)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)