Saat ini kita sudah berada di akhir tahun, dimana dalam beberapa hari lagi kita akan menyaksikan perayaan besar, perayaan yang dilangsungkan secara meriah dan mewah oleh sebagian masyarakat di seluruh dunia. Ya, itulah perayaan tahun baru yang secara rutin disambut dan dimeriahkan dengan berbagai acara dan kemeriahan.
Banyak di antara orang-orang yang ikut merayakan hari itu akan tetapi tidak mengetahui kapan pertama kali acara tersebut diadakan dan latar belakang mengapa hari itu dirayakan. Ikut-ikutan (taqlid) tanpa mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu dalam islam sangatlah dilarang, karena bisa berakibat pada rusaknya aqidah seseorang.
وَلَا تَقۡفُ مَا لَـيۡسَ لَـكَ بِهٖ عِلۡمٌ
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (QS. Al isra’: 36)
Olehnya perlu kita ketahui terlebih dahulu sejarah perayaan tahun baru masehi ini sebelum ikut menyemarakkannya.
Dalam sejarahnya, perayaan tahun baru Masehi merupakan pesta warisan dari masa lalu yang dahulu dirayakan oleh orang-orang Romawi. Mereka (orang-orang Romawi) mendedikasikan hari yang istimewa ini untuk seorang dewa yang bernama Janus, The God of Gates, Doors, and Beeginnings. Janus adalah seorang dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah menatap ke depan dan satunya lagi menatap ke belakang, sebagai filosofi masa depan dan masa lalu, layaknya momen pergantian tahun. (G Capdeville “Les épithetes cultuels de Janus” inMélanges de l’école française de Rome (Antiquité), hal. 399-400)
Fakta ini menyimpulkan bahwa perayaan tahun baru sama sekali tidak berasal dari budaya kaum muslimin. Pesta tahun baru masehi, pertama kali dirayakan orang kafir, yang notabene masyarakat paganis Romawi. Turut merayakan tahun baru statusnya sama dengan merayakan hari raya orang kafir. Dan ini hukumnya terlarang. Di antara alasan pendapat ini adalah:
Pertama, seseorang yang turut merayakan tahun baru sama dengan meniru kebiasaan mereka.
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam melarang ummatnya untuk meniru kebiasaan orang jelek, termasuk orang kafir. Beliau bersabda,
من تشبه بقوم فهو منهم
“Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (Hadis shahih riwayat Abu Daud)
Abdullah bin Amr bin Ash mengatakan,
من بنى بأرض المشركين وصنع نيروزهم ومهرجاناتهم وتشبه بهم حتى يموت خسر في يوم القيامة
“Siapa yang tinggal di negeri kafir, ikut merayakan Nairuz dan Mihrajan (hari raya orang majusi), dan meniru kebiasaan mereka, sampai mati maka dia menjadi orang yang rugi pada hari kiamat.”
Kedua, mengikuti hari raya mereka termasuk bentuk loyalitas dan menjadikan mereka teman setia.
Allah Subhanahu Wata’ala melarang kita untuk menjadikan mereka sebagai teman setia dan menampakkan cinta kasih kepada mereka. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,
يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا عدوي وعدوكم أولياء تلقون إليهم بالمودة وقد كفروا بما جاءكم من الحق …
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (rahasia), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu..” (QS. Al-Mumtahanan: 1)
Ketiga, Menyemarakkan hari raya merupakan bagian dari agama dan doktrin keyakinan, bukan semata perkara dunia dan hiburan.
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang di kota Madinah, penduduk kota tersebut merayakan dua hari raya, Nairuz dan Mihrajan. Beliau pernah bersabda di hadapan penduduk madinah,
قدمت عليكم ولكم يومان تلعبون فيهما إن الله عز و جل أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الفطر ويوم النحر
“Saya mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya, yang kalian jadikan sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya terbaik untuk kalian; idul fitri dan idul adha.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i).
Perayaan Nairuz dan Mihrajan yang dirayakan penduduk madinah, isinya hanya bermain-main dan makan-makan. Sama sekali tidak ada unsur ritual sebagaimana yang dilakukan orang majusi, sumber asli dua perayaan ini. Namun mengingat dua hari tersebut adalah perayaan orang kafir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Sebagai gantinya, Allah berikan dua hari raya terbaik: Idul Fitri dan Idul Adha.
Untuk itu, turut bergembira dengan perayaan orang kafir, meskipun hanya bermain-main, tanpa mengikuti ritual keagamaannya, termasuk perbuatan yang telarang, karena termasuk turut mensukseskan acara mereka.
Selain beberapa alasan diatas, masih banyak alasan lain sehingga perayaan tahun baru itu dilarang dalam islam seperti begadang semalam suntuk demi menantikan detik-detik pergantian tahun dan ini masuk pada perkara menyia-nyiakan waktu. Bermain kembang api dan meniup terompet yang merupakan suatu pemborosan yang juga merupakan perkara yang dilarang dalam islam. Adanya ikhtilat (campur baur) laki-laki dan perempuan dan juga perayaan tahun baru ini sering kali memicu perbuatan-perbuatan dosa besar seperti meninggalkan shalat, minum minuman beralkohol, dan zina.
Naudzubillah, semoga kita tidak sampai terjerumus pada bentuk perayaan seperti ini. Karena sudah diketahui bersama bahwa kaum muslimin hanya memiliki dua hari raya yaitu Idulfitri dan Iduladha, juga hari besar pekanan yaitu hari Jumat. Terkait perayaan tahun baru itu tidak ada tuntunannya, tapi yang perlu kita lakukan adalah bersyukur kepada Allah atas tambahan umur, muhasabah, membuat target-target kebaikan, dan intropeksi diri. Boleh jadi masa pandemi yang tak kunjung usai dan musibah bencana alam yang kerap terjadi belakangan ini, itu semua mungkin karena Allah menginginkan kita hama-hambah-Nya untuk lebih mendekatkan diri dan bertaubat kepada-Nya.
***********
Bulukumba, 23 Desember 2021
Penulis: Wahyuni Subhan
(Mahasiswa Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Pengurus Mujahid Dakwah Media)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel : www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)