Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radiallahu anhu , dia berkata,
“Seorang perempuan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, kami kaum lemah yang bergantung kepada bapak-bapak kami, anak-anak kami, dan para suami kami, apa yang boleh kami gunakan dari harta-harta mereka (tanpa seizin dari mereka) ” Beliau bersabda, “Makanan basah yang kalian boleh memakan dan menghadiahkannya.” (Diriwayat-kan oleh Abu Dawud).
Imam al-Khaththabi Rahimahullah berkata dalam kitabnya Ma’alim as-Sunan pada juz 2, hal. 79, “Dikhususkannya makanan basah dari jenis makanan lainnya, karena ia lebih mudah basi dan lebih cepat rusak jika dibiarkan begitu saja tanpa dimakan dan bisa jadi berbau busuk dan tidak bisa dimanfaatkan, sehingga menjadi sesuatu yang akan dibuang dan dilempar. Sebaliknya, tidak demikian halnya dengan makanan yang kering, karena dapat bertahan lama di dalam penyimpanan dan dapat dimanfaatkan apabila dikeluarkan dan disimpan, sehingga beliau tidak mengizinkan mereka menghabiskannya.
Di antara sesama tetangga dan kerabat telah berlaku kebiasaan saling memberi hadiah buah-buahan dan sayur-mayur segar serta mengirim sebagian masakan matang kepada mereka. Juga memberi oleh-oleh untuk tamu dan orang yang berkunjung kepada mereka apa yang mereka miliki. Maka terjadilah saling memberikan keleluasaan dalam hal ini tanpa harus meminta izin, dan berlaku sesuai dengan adat kebiasaan yang dinyatakan baik pada kondisi sepertinya. Namun aturan ini hanya berlaku untuk orang yang diperkenankan mengurus hartanya dari kalangan bapak dan anak, dan tidak berlaku bagi suami dan istri.
Hal itu karena kondisi hubungan antara bapak dan anak lebih longgar dan tidak butuh perhitungan ekstra teliti dalam mengembangkan harta perserikatan, dalam pembagian di antara keduanya, dan hak bagian yang ada antara keduanya. Sedangkan dalam kaitan nafkah suami terhadap istrinya, maka ia merupakan pengganti atas bersenang-senang dengannya dan hal tersebut diukur dengan jumlah tertentu dan memiliki batas maksimal, sehingga dua hal tersebut tidak bisa disamakan. Dan salah satu dari keduanya tidak berhak melakukan sesuatu dari hal tersebut kecuali dengan izin pasangannya.
Abu Dawud Rahimahullah telah memasukkan hadits ini dalam Bab al-Mar’ah Tashaddaqa min Baiti Zaujiha (wanita/istri bersedekah dari rumah suaminya).
Ash-Shan’ani dalam Subul as-Salam berkata pada juz 2, hal. 279 bahwa Ibnu al-Arabi berkata, “Ulama salaf berbeda pendapat dalam masalah tersebut, sebagian dari mereka ada yang membolehkannya dalam sesuatu yang sedikit yang dianggap sepele dan tidak nampak berkurang (setelah diambil). Dan sebagian dari mereka ada yang membolehkan dengan syarat jika suami mengizinkannya, walaupun dengan (ucapan izin) secara global.”
Saya berkata, Sebab perbedaan pendapat ini adalah adanya hadits-hadits yang membolehkan wanita bersedekah dari harta suaminya, dan hadits-hadits yang melarang hal tersebut. Al-Hafizh al-Iraqi Rahimahullah menyampaikan satu perkataan bagus dalam memadukan hadits-hadits yang (tampak) bertentangan tentang tema ini. Seperti hadits Abu Umamah al-Bahili Radiallahu Anhu yang diriwayatkan at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dia berkata,
“Saya mendengar Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda ketika khutbah wada’ (perpisahan), ‘Seorang wanita tidak boleh menginfakkan sesuatu apa pun dari harta suaminya kecuali dengan izin suaminya.’ Dikatakan, ‘Tidak pula makanan wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Itu adalah harta kami yang paling utama’.”
Hadits ini melarang kaum wanita menginfakkan harta suaminya tanpa seizinnya. Sedangkan hadits yang sedang kita bicarakan yaitu hadits Sa’ad bin Abi Waqqash, membolehkan wanita menyedekahkan harta dari rumah suaminya seperti rathb (makanan basah) dan sejenisnya.
AI-Hafizh al-Iraqi Rahimahullah, berkata, “Cara menggabungkan pengertian dua hadits tersebut, adalah bahwa hal itu berbeda sesuai dengan perbedaan adat istiadat suatu negara, dan sesuai dengan perbedaan kondisi suami terkait dengan berkenan dan tidak berkenannya dia akan hal tersebut. Juga tergantung pada perbedaan kondisi barang yang diinfakkannya; antara barang remeh yang diperkenankan dan jenis barang yang memiliki nilai penting bagi dirinya yang ia tidak mudah memberikannya, dan perbedaan antara makanan yang basah dan mudah rusak jika terlambat dimakan, dengan yang bisa disimpan dan tidak cepat rusak.” Beliau (Imam al-Iraqi) menjadikan perkataan al-Khaththabi sebagai penguat pendapatnya setelah menyampaikan hadits Aisyah Radiallahu Anhu yang berbunyi,
“Apabila seorang perempuan menafkahkan sesuatu dari rumah suaminya, tanpa membuat kerusakan (dengan berlebih-lebihan)….”
Perkataan ini mengarah pada kebiasaan penduduk Hijaz dan penduduk negeri lainnya, bahwa pemilik harta terkadang mengizinkan istri, keluarga dan pembantunya untuk menginfakkan sesuatu yang ada di rumahnya berupa makanan atau lauk-pauk dan sejenisnya. Dia memberikan kebebasan kepada mereka dalam bersedekah dari hartanya, jika ada orang yang meminta dan tamu yang berkunjung. Maka Nabi Muhammad menganjurkan untuk mempertahankan dan membiasakan kebiasaan baik ini serta menjanjikan pahala bagi pelakunya. Namun, bukan berarti seorang istri atau pembantu broken” bertindak sendiri mengambil sesuatu yang tidak diizinkan pemilik harta dan tidak diberikan kebebasan bagi mereka berinfak darinya, bahkan beliau khawatir jika itu dilakukan, maka mereka akan mendapat dosa. Demikian Juga ia memperkuat argumentasinya dengan perkataan
Ibnu al-Arabi dan al-Mundziri yang akan dibahas nanti.
**********
Penulis: Manshur bin Hasan al-Abdullah
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)