بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيم
A . Jahiliyah
Jahiliyah adalah keadaan yang ada pada bangsa Arab sebelum Islam, yakni kebodohan tentang Allah, para RasulNya dan syariat agama. Ia berasal dari kata al- jahl (kebodohan) yaitu ketiadaan ilmu. Jahiliyah terbagi menjadi dua macam:
Pertama, Jahiliyah ‘Ammah (Jahiliyah Umum).
Yaitu yang terjadi sebelum diutusnya Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam dan ia telah berakhir dengan diutusnya Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam .
Kedua, Jahiliyah Khashshah (Jahiliyah Khusus).
Yakni yang terjadi pada sebagian negara, sebagian daerah dan sebagian orang. Jahiliyah jenis ini masih ada hingga sekarang. Karena itu Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda,
أَرْبَعٌ فِيْ أُمَّتِيْ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ
“Ada empat (perkara) dalam umatku yang termasuk perkara jahiliyah.” (HR .Muslim).
Dan beliau shallallaahu alaihi wasallam bersabda kepada Abu Dzar radiyallaahu ‘anhu.
إِنَّكَ امْرُءٌ فِيْكَ جَاهِلِيَّةٌ
“Sesungguhnya engkau adalah seorang yang masih memiliki (sifat) jahiliyah” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Karena itu, nyatalah kesalahan orang yang mengenelarisir jahiliyah pada zaman sekarang hingga mengatakan, jahiliyah pada abad ini atau yang semisalnya. Yang benar adalah hendaknya dikatakan, jahiliyah sebagian orang yang hidup di abad ini, atau mayoritas yang hidup di abad ini. Adapun mengeneralisir jahiliyah, maka hal itu tidak benar dan tidak diperbolehkan, sebab dengan diutusnya Nabi shallallaahu alaihi wasallam berarti jahiliyah secara umum itu telah hilang.
B . Kefasikan
Secara bahasa kefasikan اْلفِسْقُ(al-fisq) adalah al-khuruj (keluar). Sedangkan yang dimaksud kefasikan menurut syara’ adalah keluar dari ketaatan kepada Allah Subhanahu waTa’ala.
Kefasikan ada dua macam :
Pertama, Kefasikan yang membuatnya keluar dari agama, yakni kufur. Karena itu orang kafir juga disebut orang fasik, maka ketika menyebut Iblis, Allah Subhanahu waTa’ala berfirman, Artinya:”Maka ia berbuat fasik (mendurhakai) perintah Rabbnya.” (Al-Kahfi: 50). Kefasikan Iblis di atas adalah kekufurannya, Allah Subhanahu waTa’ala berfirman:
Artinya: “Dan adapun orang-orang fasik maka tempat mereka adalah neraka.” (As-Sajdah: 20).
Yang dimaksud orang-orang fasik di atas adalah orang-orang kafir, hal itu sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah Subhanahu waTa’ala sesudahnya:
Artinya: “Setiap kali mereka hendak keluar dari padanya, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka, ‘Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kamu mendustakannya’.” (As-Sajdah: 20).
Kedua, kefasikan yang tidak membuat seseorang keluar dari agama, sehingga orang-orang fasik dari kaum muslimin disebut al-‘ashi (pelaku maksiat), dan kefasikan itu tidak mengeluarkannya dari Islam. Allah Subhanahu waTa’ala berfirman:
Artinya: “Dan orang- orang yang menuduh wanita-wanita yang baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 4)
Artinya: “Barangsiapa menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh mengucapkan ucapan-ucapan kotor, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (Al-Baqarah : 197).
Dalam menafsirkan kata-kata fasik dalam ayat di atas, para ulama mengatakan, ia adalah perbuatan maksiat.(1)
C. Kesesatan
Kesesatan (الضَّلاَلُ) adalah berpaling dari jalan yang lurus. Ia adalah lawan dari petunjuk (الْهِدَايَةُ), Allah Subhanahu waTa’ala berfirman,
Artinya:”Barang siapa berbuat sesuai dengan petunjuk (Allah), maka sesungguhnya ia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya ia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri.” (Al-Isra’: 15).
Kesesatan dinisbatkan kepada beberapa makna:
1. Terkadang diartikan kekufuran (الْكُفْرُ), firman Allah Subhanahu waTa’ala,
Artinya:”Barangsiapa kafir kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya dan Hari Kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (An-Nisa’: 136).
2.Terkadang diartikan kemusyrikan (الشِّرْكُ), firman Allah Subhanahu waTa’ala,
Artinya”Barangsiapa menyekutukan (sesuatu) dengan Allah maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (An-Nisa’: 116).
3. Terkadang diartikan menyalahi (kebenaran), tetapi di bawah kekufuran, sebagaimana dikatakan, الْفِرَقُ الضَّالَّةُ (kelompok-kelompok yang sesat), artinya yang menyalahi (kebenaran).
4. Terkadang diartikan kesalahan (الْخَطَأ), sebagaimana ucapan Musa alaihissalam,
Artinya:”Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf (salah).” (As-Syu’ara: 20).
5. Terkadang diartikan lupa(النِّسْيَانُ) , Allah Subhanahu waTa’ala berfirman, “Supaya jika seorang lupa, maka seorang lagi mengingatkannya” (Al- Baqarah : 282).
6. Terkadang diartikan hilang dan tidak ada (الضَّيَاعُ وَالْغَيْبَةُ), seperti dikatakan, ضَالَّةُ اْلإِبِلِ (unta yang hilang).
D. Riddah, Macam- macam dan Hukumnya
Secara bahasa riddah (الرِّدَّة) artinya kembali (الرُّجُوْعُ). Dan menurut istilah syara, riddah berarti kufur setelah Islam, Allah Subhanahu waTa’ala berfirman,
Artinya: “Barangsiapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (Al-Baqarah: 217)
Riddah ada empat macam:
1. Riddah dengan ucapan. Seperti mencaci Allah Subhanahu waTa’ala atau RasulNya shallallaahu alaihi wasallam atau malaikat-malaikatNya atau salah seorang dari rasulNya. Atau mengaku mengetahui ilmu ghaib atau membenarkan orang yang mengaku nabi. Atau berdoa kepada selain Allah Subhanahu waTa’ala atau memohon pertolongan kepadanya, sesuatu yang tidak kuasa dilakukan kecuali oleh Allah Subhanahu waTa’ala atau berlindung kepadanya dalam hal yang juga tidak kuasa dilakukan kecuali oleh Allah Subhanahu waTa’ala.
2. Riddah dengan perbuatan. Seperti sujud kepada patung, pohon, batu, kuburan, dan memberikan sembelihan untuknya. Termasuk juga membuang mushaf al-Qur’an di tempat-tempat yang kotor, melakukan sihir, mempelajari dan mengajarkannya serta memutuskan hukum dengan selain apa yang diturunkan Allah Subhanahu waTa’ala dan meyakini kebolehannya.
3. Riddah dengan kepercayaan (i’tiqad). Seperti kepercayaan adanya sekutu bagi Allah Subhanahu waTa’ala atau kepercayaan bahwa zina, khamar dan riba adalah halal. Atau percaya bahwa roti adalah haram, shalat adalah tidak wajib atau hal semisalnya yang telah disepakati kehalalan, keharaman atau kewajibannya secara ijma’ (konsensus) yang pasti, yang tak seorang pun tidak mengetahuinya.
4. Riddah dengan keraguan tentang sesuatu sebagaimana yang disebutkan di atas. Seperti ragu tentang diharamkannya syirik atau diharamkannya zina atau khamr. Atau ragu tentang halalnya roti atau ragu terhadap risalah Nabi Muhammad shallallaahu alaihi wasallam atau risalah nabi-nabi selainnya, atau ragu tentang kebenarannya, ragu tentang agama Islam atau ragu tentang kesesuaian dengan zaman sekarang.
Konsekuensi Hukum Setelah Terjadinya Riddah
1. Yang bersangkutan diminta untuk bertaubat. Jika bertaubat dan kembali kepada Islam dalam masa tiga hari, maka taubatnya diterima kemudian ia dibiarkan (tidak dibunuh).
2. Jika ia tidak mau bertaubat, maka ia wajib dibunuh, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu alaihi wasallam,
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
“Barangsiapa mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah dia.” (HR. al-Bukhari dan Abu Daud).
3. Dilarang membelanjakan hartanya di saat ia dalam masa diminta untuk bertaubat, jika ia masuk Islam kembali, maka harta itu miliknya, jika tidak maka harta itu menjadi rampasan (fai’) Baitul Mal sejak ia dibunuh atau mati karena riddah. Pendapat lain mengatakan, begitu ia jelas-jelas murtad, maka hartanya dibelanjakan untuk kemaslahatan umat Islam.
4. Terputusnya hak waris mewarisi antara dirinya dengan keluarga dekatnya, ia tidak mewarisi harta mereka dan mereka tidak mewarisi hartanya.
5. Jika ia mati atau dibunuh dalam keadaan Riddah, maka ia tidak dimandikan, tidak dishalatkan dan tidak dikubur di kuburan umat Islam. Sebaiknya ia dikubur dikuburan orang-orang kafir atau dipendam dalam tanah, di mana saja, selain di kuburan umat Islam.
***********
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Penulis: Syekh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan Rahimahullah
Sumber: Kitab Tauhid
Penerbit: Yayasan As Sofwa Jakarta
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)