Bangsa Indonesia kembali menyambut hari ulang tahun RI dengan riang dan penuh semangat. Beragam aktifitas dipersiapkan. Dari upacara bendera di hari H hingga berbagai perlombaan menjelang hari peringatan peristiwa penting bangsa ini.
Di tengah kegembiraan ini tentu ada baiknya kita bersama kembali merenungi makna dan hakikat dari Kemerdekaan yang kita rayakan. Hal ini menjadi penting agar perayaan itu tidak menjadi sekedar acara seremonial tahunan yang membawa kehampaan.
Kemerdekaan dalam pertimbangan Maqashid as-Syaria’ah.
Maqashid As-Syari’ah atau hal-hal yang dituju atau yang ingin dicapai dengan Syari’ah Islam menjadi sangat penting dalam membicarakan kemerdekaan. Urgensi ini minimal karena dua alasan:
Pertama, karena memang Syari’ah seringkali dipahami secara literal dan sempit, baik oleh sebagian Umat Islam maupun non Muslim. Akibatnya Syariah seringkali menjadi momok yang menakutkan banyak orang.
Kedua, untuk menyampaikan bahwa Syariah justeru berbalik dari sangkaan sebagian yang masih memandangnya dengan pandangan negatif. Satu diantaranya seolah Syariah itu bertentangan dengan HAM, termasuk kebebasan. Padahal Syariah justeru sebenarnya “jalan untuk tegaknya HAM dan kebebasan”.
Jika kita ambil garis lintas, Maqashid as-Syariah dan Kemerdekaan merupakan dua entitas yang senyawa. Semua elemen atau anasir Maqashid as-Syariah secara mendasar juga menjadi tujuan utama dari deklarasi kemerdekaan. Yang berbeda hanya pada kisaran teknikalitas untuk mencapai tujuannya masing-masing.
Sebagaimana disepakati oleh para Ulama Islam, khususnya para ahli di bidang hukum Islam atau Syariah, ada lima tujuan utama dari penerapan hukum Islam yang lebih dikenal dengan istilah Maqashid as-Syariah.
Ketujuh tujuan itu adalah:
Hifzul hayaah (menjaga kehidupan)
Hifzul ad-diin (menjaga agama)
Hifzul ‘Irdh (menjaga kehormatan)
Hifzul ‘aqal (menjaga akal)
Hifzun nasl (menjaga keturunan)
Jika kita kaitkan dan coba pahami makna Kemerdekaan dengan memakai kacamata Maqashid as-Syariah ini maka akan ditemukan sebuah pemahaman hakikat Kemerdekaan yang begitu dalam dan sempurna.
Mungkin banyak yang belum sempat memikirkan betapa agama secara umum dan Syariah secara khusus memiliki ikatan makna dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga sangat wajar jika tujuan Kemerdekaan sesungguhnya memiliki ikatan yang kuat dengan Maqashid as-Syariah itu.
Merdeka itu Hidup
Jika merujuk pada tujuan pertama Syariah, yaitu menjaga kehidupan, maka sejatinya Kemerdekaan itu juga merupakan bagian dari esensi kehidupan. Orang yang tidak merdeka sesungguhnya secara esensi sedang mengalami kematian. Dan karenanya memperjuangkan Kemerdekaan itu adalah memperjuangkan lehidupan.
Maka lebih jauh dapat dipahami bahwa mereka yang rela dijajah atau diperbudak, sebenarnya mereka sedang kehilangan kehidupannya yang hakiki. Itulah yang menjadikan Bilal bin Rabah merasa lebih nyaman dan kuat di saat telah masuk Islam karena dengan Laa ilaaha illa Allah. Bahkan di saat-saat tersiksa sedemikian dahsyatnya.
Berbicara tentang kehidupan tentu bukan sekedar karena bernafas. Makna kehidupan di sini juga mencakup ekonomi dan segala yang terkait dengannya. Karenanya tujuan Syariah menjaga kehidupan juga tidak terlepas dari pentingnya menjamin kehidupan perekonomian manusia.
Demikian hendaknya kemerdekaan juga mutlak dipahami sebagaj hadirnya jaminan ekonomi bagi warga negara. Jangan sampai di satu sisi ada pengakuan Kemerdekaan. Tapi di sisi rakyat tidak merasakan jaminan ekonomi itu.
Merdeka itu Beragama
Merujuk kepada pokok kedua dari Maqashid as-Syariah maka sejatinya merdeka itu tidak bisa dipisahkan dari agama/keyakinan (religion/faith). Beragama itu adalah bagian dari kehidupan manusia yang integral. Dalam bahasa agama itu sendiri disebutkan bahwa manusia itu memiliki kefitrahan. Dan kefitrahan itulah agama (dzalika ad-diin Al-qayyim).
Oleh karenanya Kemerdekaan yang diproklamasikan harus menjadikan agama terjamin dan memberikan ruang luas untuk perkembangannya. Pengakuan kemerdekaan tapi pada saat yang sama melakukan supresi kepada agama dan pemeluknya menjadikan kemerdekaan itu tidak bermakna.
Syariah hadir untuk menjaga agama (hifzud diin). Maka Kemerdekaan juga terjadi agar kebebasan dalam menjalankan agama demi menjaga kefitrahan manusia.
Merdeka itu Kehormatan
Pokok ketiga dari Maqashid as-Syariah adalah hifzul ‘Irdh atau menjaga kehormatan manusia. Sebagian ulama menyebut bagian ini secara spesifik dengan menjaga keturunan (hifzun nasl). Sehingga larangan zina misalnya menjadi aturan baku dalam Syariah.
Kehormatan ini tentu tafsirannya banyak. Tapi salah satu yang paling mendasar adalah nilai-nilai moralitas dalam kehidupan manusia. Moralitas itu dijunjung tinggi karena menyangkut kehormatan hidup manusia.
Jika merujuk pada pokok tujuan Syariah ini maka Kemerdekaan harus menghadirkan jaminan integritas moral. Moral menjadi modal utama dalam membangun kehidupan publik. Termasuk di dalamnya tanggung jawab publik para pemegang amanah.
Karenanya merdeka tapi praktek korupsi merajalela menandakan esensi Kemerdekaan masih belum terwujud. Demikian pula mengaku merdeka tapi praktek-praktek immoralitas cenderung menjadi sesuatu yang biasa saja, termasuk pergaulan lawan jenis bebas (zina) berarti ada yang salah dengan pengakuan kemerdekaan.
Tapi secara khusus, jika kita pahami bagian ini dengan menjaga keturunan (hifzun nasl) maka kaitannya dengan Kemerdekaan jelas dimaknai sebagai hadirnya jaminan masa depan generasi. Jaminan ini tentunya mencakup jaminan politik, pendidikan dan tidak kalah pentingnya adalah jaminan ekonomi masa depan generasi bangsa.
Jangan sampai hawa nafsu bahkan keegoan untuk membangun tapi dengan hutang yang tidak terkendali. Akibatnya generasi masa depan akan terbebani dengan beban ekonomi yang tidak ringan.
Merdeka itu Berakal
Pokok kelima dari Maqashid as-Syariah (tujuan Syariah) adalah menjaga akal. Tentu kata akal (aql) di sini bermakna luas, termasuk pemikiran, ilmu, bahkan opini atau pendapat. Maka pada kaitan ini Kemerdekaan itu menghadirkan sebuah jaminan berkembangnya ilmu pengetahuan secara umum.
Kemerdekaan bahkan lebih jauh harus menjamin kebebasan berpikir dan mengembangkan pemikiran. Sehingga memungkinkan terjadinya berbagai inovasi dalam kehidupan bangsa.
Tapi tidak kalah pentingnya juga hidzul aql dalam konteks Kemerdekaan adalah pentingnya jaminan beropini/berpendapat. Bahkan pendapat yang sekalipun berbeda dan berseberangan dengan posisi kekuasaan penting untuk terjamin.
Begitu banyak contoh dalam sejarah Islam, termasuk bahkan Bagaimana para sahabat berbeda pendapat dengan Rasulullah dalam hal-hal teknis keduniaan. Apalagi dalam konteks kehidupan berbangsa yang telah bersepakat untuk mengadopsi Demokrasi sebagai pegangannya.
Merdeka itu menjamin kepemilikan
Pokok terakhir dari Maqashid as-Syariah adalah jaminan kepemilikan. Maka dalam Syariah mencuri itu diharamkan. Bisnis dimotivasi dan riba diharamkan karena dengan bisnis kememilikan terjamin. Dengan Riba pastinya seseorang akan menjadi objek dari pemilik modal.
Jika hal ini dikaitkan dengan Kemerdekaan maka merdeka itu juga berarti hadirnya rasa kepemilikan (sense of ownership). Tentu dimulai dari kepemilikan negara itu sendiri. Tapi lebih jauh Kemerdekaan harus memberikan ruang yang luas kepada bangsa untuk menjadi pemilik negara dan isinya.
Jika diambil satu contoh saja maka hal ini akan menjadi jelas. Dalam hal kepemilikan tanah misalnya, Kemerdekaan sejati harus dimaknai sebagai jaminan bahwa rakyat banyak harus memiliki akses yang luas untuk memilki tanah di negaranya sendiri.
Jika Kemerdekaan yang dirayakan dengan penuh kegembiraan ini tapi kepemilikan tanah ada di tangan segelintir orang maka esensi Kemerdekaan masih harus diperjuangkan.
Demikianlah makna Kemerdekaan dalam perspektif Maqashid as-Syariah. Dengan pemaparan ini Semoga kealergian bahkan phobia kepada Syariah tidak lagi berlebihan. Syariah hadir untuk mewujudkan Maqashid (tujuan) yang senyawa dengan tujuan Kemerdekaan itu.
Saya akhiri dengan mengingatkan kita semua bahwa esensi dasar dari Kemerdekaan itu ada pada deklarasi “Laa ilaaha illa Allah-Muhammad Rasulullah”.
Jangan sampai ada upaya untuk memisahkan, bahkan membenturkan di antara keduanya. Karena bagi bangsa Indonesia komitmen keagamaan (religiositas) dan Kebangsaan (nasionalitas) adalah dua entitas yang senyawa dan tak terpisahkan. Ewako!
Dirgahayu RI ke 77. Merdeka!
***********
Manhattan City, 16 Agustus 2022
Penulis: Dr. Imam Shamsi Ali, Lc., MA
(Alumni Pesantren Muhammadiyah Darul-Arqam Gombara, Direktur Jamaica Muslim Centre, Presiden Nusantara Foundation & Diaspora Indonesia di kota New York)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)