“Pada level SMA, kita (orang tua) memperkuat kedewasaan, yaitu menyiapkan anak anak ini menjadi mandiri, karena dia sudah memasuki fase dewasa awal.” (Dr. Adian Husaini)
Setelah melalui masa pendidikan tingkat SMP yang menurut Islam fokus kepada persiapan kedewasaan, maka misi penting pendidikan di tingkat SMA ialah memperkuat serta mematangkan kedewasaan tersebut. Artinya, setelah lulus dari SMP, setiap anak sudah dianggap sebagai orang dewasa, sehingga mau tidak mau harus dididik sebagai manusia dewasa pula. Adapun hal-hal yang mendasari pandangan ini, sudah dijabarkan pada pembahasan sebelumnya.
Namun, yang penting untuk ditekankan adalah penolakan Islam atas hadirnya konsep remaja. Konsep ini berpijak pada kajian “Psikologi Perkembangan” dari Barat (khususnya Elizabeth Hurlock), yang menetapkan bahwa usia 12-18 (bahkan ada yang menetapkan sampai usia 21 tahun), adalah usia remaja. Kemudian dijadikankah konsep ini sebagai dasar dari periodisasi jenjang pendidikan. Dimana remaja ditempatkan pada tingkat SMP dan SMA. Artinya, setelah anak lulus SD, ia dianggap belum dewasa dan harus melewati masa peralihan (menuju dewasa) selama kurang lebih 6 tahun.
Sebetulnya, metode yang dipakai dalam menentukan konsep remaja adalah survei lapangan. Setelah menanyakan beberapa hal kepada beberapa orang dengan usia kisaran 12-18 tahun, disimpulkanlah bahwa pada usia itu anak-anak masih mengalami kegelisahan, kebingungan, belum bisa mengambil sikap, masih mencari identitas diri, dll.
Seharusnya, yang paling penting adalah menanyakan, “Kenapa pada usia tersebut mereka masih mengalami kegelisahan, kebingungan dan sebagainya?” Sebab, jika merujuk kepada sejarah, mulai dari masa Nabi sampai di Nusantara, banyak sekali orang-orang yang ketika menjalani usia-usia yang “katanya” remaja, sudah menjadi manusia-manusia yang matang dan mandiri (sebagaimana yang sudah dijabarkan pada pembahasan sebelumnya).
Artinya, survei ini sangat bergantung pada aspek “dimana” dan “kepada kelompok siapa”. Namun faktanya, survei lapangan yang sifatnya sangat sempit (dari segi tempat dan objek) inilah yang justru menyimpulkan satu konsep bernama “remaja” dan dijadikan dasar periodisasi jenjang pendidikan oleh banyak sekolah dan kampus, khususnya di Indonesia. Seakan-akan konsep itu ilmiah dan universial, sehinga tidak bisa tidak dipakai.
Dengan berpegangnya institusi pendidikan pada konsep remaja, tidak aneh jika tidak ada pikiran dan usaha dalam mempersiapkan kedewasaan anak pada tingkat SMP. Dan hal ini pula yang mau tidak mau membuat persepsi “maklum” dan “wajar” atas tindak kejahatan yang dilakukan anak pada usia tersebut. Akhirnya dibentuklah UU peradilan khusus untuk anak-anak, yang belum sampai pada usia dewasa. Padahal jika dipikirkan kembali, apakah para pelaku kasus pemerkosaan Yuyun, (seorang gadis berumur 14 tahun yang diperkosa oleh 14 orang laki laki yang usianya kisaran 16-23 tahun di Bengkulu, 2 April 2016), pemerkosaan seorang karyawati bernama Enno (oleh 3 laki-laki berumur 24, 20, dan 15 tahun di Tanggerang pada 17 Mei 2016), dan kasus pembunuhan seorang guru bernama Ahmad Budi Cahyanto di Madura (di salah satu sekolah SMA pada 1 Februari 2018, oleh muf-p;.ridnya sendiri), masih pantas disebut anak-anak?
Maka dalam Islam, seharusnya pendidikan pada usia tingkat SMA, adalah pendidikan untuk orang dewasa (akil baligh). Sebagaimana sistem yang ditetapkan Ki Hajar Dewantara di Taman Siswa-nya. Dimana beliau menetapkan “Taman Dewasa” bagi murid-murid yang berusia 14-16 tahun. Maka, tujuan pendidikan terpenting di tigkat SMA, adalah memperkuat dan mematangkan kedewasaannya, sehingga ia bisa menjadi manusia yang mandiri.
Dengan tetap berpegang pada 3 prinsip pendidikan Islam, diantara elemen-elemen yang sangat signifikan dalam membentuk kemandirian adalah penanaman adab (nilai-nilai) serta penanaman dan pengajaran ilmu-ilmu fardhu ain, yang disesuaikan dengan porsi tingkat SMA.
Di tingkat ini, penanaman adab harus dilakukan semaksimal mungkin. Sebab, ketika nanti masuk ke perguruan tinggi, ia sudah siap menerima berbagai macam ilmu yang sifatnya fardu kifayah. Saat itulah seorang mahasiswa akan mengkaji ilmu-iilmu yang sangat signifikan. Mulai dari ilmu hukum, politik, sosial, ekonomi, kedokteran, sampai ulmuddiin seperti ilmu tafsir dan hadits.
Jika adab belum tertanam kuat sejak SMA, kemugkinan besar ilmu-ilmu tersebut akan disalahgunakan. Meskipun pada tingkat perguruan tinggi adab masih dan harus ditanamkan, namun alangkah mudahnya manakala penanaman itu sudah dilakukan sebelumnya bahkan sejak awal.
Disamping itu, dengan penanaman adab berupa nilai-nilai atau soft skill, setiap anak akan mempunyai bekal dasar untuk menjadi mandiri. Artinya, ia akan siap menjawab beragam soal kehidupan. Ia tahu dan paham bagaimana harus memandang (mandiri dalam pikiran) dan memposisikan (mandiri dalam perbuatan) segala sesuatu yang ia temui dalam kehidupannya, pada tempat yang tepat dan sesuai kehendak Allah.
Maka, penanaman adab pada tingkat SMA, harus menjadikan seseorang beradab secara mandiri. Mulai dari beradab kepada Allah, Nabi, orang tua, guru, sesama makhluk hidup, dirinya sendiri, ilmu, sampai lingkungan.
Namun, sama seperti tingkat sebelumnya, hal yang paling signifikan pada tingkat SMA adalah masalah akidah. Maka, disamping penanaman adab kepada Allah, setiap anak juga harus dibekali dengan ilmu-ilmu akidah yang sifatnya fardhu ain yang sesuai pada tingkatan ini. Yaitu dengan menyertakan kajian-kajian tantangan pemikiran kontemporer.
Kalau pada tingkat SMP hanya sekedar disinggung, pada tingkat SMA kajian-kajian itu harus mulai dijabarkan secara jelas, meskipun hanya “kulitnya” saja. Minimal ia paham apa itu liberalisme, relativisme, feminisme, sekularisme, tahu dimana letak kesalahannya, dan bisa menjelaskan secara singkat dan baik. Inilah salah satu aspek kemandirian berpikir terpenting dalam tingkatan ini.
Sudah semestinya dikotomisasi antara sekolah atau perguruan tinggi Islam dan selainnya ditiadakan. Sebab, dimanapun pendidikan berlangsung, adab dan ilmu-ilmu fardhu ain wajib bagi setiap anak, khususnya umat Islam. Jangan sampai, hanya karena konotasi “umum”, sekolah meniadakan atau mengesampingkan 2 aspek itu. Dimana ilmu-ilmu eksakta secara komitmen diajarkan, namun tidak peduli akan akhlak murid, keimanannya, apakah ia sudah bisa shalat, membaca Al-Qur’an secara benar atau belum, dan lain sebagainya. Lebih-lebih ketika wawasan sudah bisa diakses lewat internet.
Penting untuk disadari, manakala institusi pendidikan masih mengandalkan informasi dan formalitas, mereka akan tertinggal dan tergerus zaman. Itulah mengapa, disamping berperan sebagai pengajar, guru juga harus menajadi pendidik, baik motivator, inspirator, ataupun pemberi keteladanan.
Disamping penanaman adab dan ilmu-ilmu fardhu ain, bagi yang mempunyai kapasitas akal di atas rata-rata, kedewasaan dan kemandirian juga butuh wawasan yang luas, berupa ilmu-ilmu fardhu kifayah. Sudah semestinya mereka dituntut untuk membaca buku-buku seputar perjuangan para tokoh Islam, sejarah peradaban Islam (dari masa Nabi Muhammad sampai di Nusantara), tasawuf, peradaban, pemikiran, akidah, dll. Maka tidak aneh, ketika sekolah di AMS (Algemeene Middelbare School) milik Belanda (setingkat SMA), M. Natsir harus membaca 36 buku untuk ujian satu mata pelajaran.
Kalaupun tidak, cukuplah penanaman adab dan ilmu-ilmu fardhu ain yang kuat serta satu ilmu fardhu kifayah yang sesuai dengan potensinya, yang akan mematangkan kedewasaan dan kemandiriannya. Yang terpenting tujuan intinya sebagai manusia baik dan bermanfaat bisa tercapai.
Sebagai kesimpulan dan penegas, tujuan pendidikan terpenting untuk anak tingkat SMA adalah mematangkan kedewasaannya. Mereka harus disiapkan menjadi pribadi-pribadi yang mandiri, baik secara pemikiran maupun tindakan. Mereka paham siapa dirinya, untuk apa ia hidup, apa dan siapa yang harus diperjuangkan dan dilawan, dan selalu berpikir ke depan. Begitu juga dengan tindakannya. Mereka siap menjawab soal soal-soal kehidupan, sudah bisa menentukan sikap, dan bisa bijak dalam bertindak.
Intinya, mereka adalah sosok yang mampu memandang dan memposisikan segala sesuatu secara mandiri, pada posisi yang tepat, sesuai harkat dan martabat yang sudah ditentukan oleh Allah.
***********
Penulis: Fatih Madini
(Mahasiswa STID Mohammad Natsir, Penulis Buku dan Kontributor mujahiddakwah.com)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)