Indonesia adalah negeri yang dibebaskan dengan darah parah santri dan ulama. Taruh haru biru penuh kebahagiaan dikala kemerdekaan telah diraih negeri tercinta ini. Sontak kata merdeka dan takbir membahana di seluruh pelosok negeri atas setiap tumpah darah yang terkucur dari penjajahan tersebut.
Peristiwa 10 November 1945 menjadi bukti peran dan perjuangan santri mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, maka tak pantas mempertanyakan tolerensi dan cinta kaum santri terhadap negeri beribu pulau ini. Penetapan hari santri 22 Oktober pun memiliki nilai historis yang kuat, yakni ketika Belanda dan sekutunya ingin kembali menjajah Indonesia maka diserukan revolusi jihad oleh KH. Hasyim Asy’ari atas ajakan Bung Tomo kala itu di Surabaya.
Di Bulan ini, kembali momen indah diatas perlu dikenang, untuk mengingat kembali jejak para santri membebaskan bumi Pertiwi. Maka ketika bumi Indonesia merintih, maka merintih pula kaum santri itu.
Ketika negeri Indonesia terjajah dengan segala bentuk modernisasi yang mencabik kemuliaan bangsanya, maka selayaknya santri mesti hadir membebaskan negerinya dari penjajahan modernitas yang justru mengoyak kehormatan bangsa dan penduduknya.
Hari-hari ini, Kaum santri dianggap gagap dengan modernisasi. Model sekolah kepesantrenan tempat para santri menimba ilmu dan adab dari gurunya, mendapatkan beban tambahan untuk tidak terjatuh dalam kegagapan modernisasi. Maka ada empat hal pokok pembahasan ini.
Pertama: Kegagapan modernisasi bagaimanakah yang selayaknya santri harus hadir di dalamnya, memenuhi pilar tonggak bangsa agar negeri ini, mampu membusungkan dadanya dari negeri lain, dari segala persaingan itu. Menurut KBBI, modernisasi adalah pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan masa kini.
Maka berangkat dari definisi diatas, tuntutan yang dimaksud adalah kehadiran santri dalam perkembangan teknologi informasi, perlombaan robot, design grafis, kendaraan listrik, atau bahkan penggunaan teknologi nuklir.
Dalam sambutan sekjen Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Agama Nizar mengapresiasi upaya keras panitia, kepala madrasah, guru, pembina, serta pendamping dalam menyiapkan wahana pengembangan kreativitas dan inovasi siswa di bidang robotika. Sekjen Kemenag menegaskan.
“Karena sampai saat ini, masih memiliki semangat membangun sumber daya manusia yang unggul di dunia robotika, di tengah pandemi Covid-19,” ungkap Sekjen. Semoga hadirnya ajang ini, dapat menumbuhkembangkan kreativitas dan imajinasi siswa-siswi madrasah untuk kebermanfaatan manusia,” lanjutnya. (17/10/2021).
Perlombaan semisal robotik di atas patut diapresiasi, selama nilai ruh kepesantrenan juga tetap hadir dalam diri mereka. Pribadi unggul menjadi harapan setiap proses pendiidikan dimana pun berada. Unggul dengan berbagai indikator seperti kreatifitas, jiwa nalar yang tinggi, mental dan semangat pengusaha, mampu bersaing dan produkti, dan indikator-indikator lainnya.
Namun dari seluruh indikator itu, indikator Imtaq (iman dan taqwa) adalah asas utama yang membentuk karakter tersebut. Sekian banyak para ahli, teknokrat dengan berbagi multidisipliner itu, namun tanpa iman dan takwa justru bisa mengancam negara dengan praktik korupsi, malpraktik dan sebagainya.
Allah mengingatkan dalam al-Qur’an, bahwa seyogyanya seorang muslim tidak hanya ahli dalam urusan dunia, tetapi sebelum itu ia mesti dalam urusan akhirat (Qs. ar-Rum: 7). Bahkan ayat mengandung unsur celaan kepada mereka yang lupa perkara akhirnya.
Kedua: Sudah selayaknya-kah para santri meninggalkan “kegagapan modernisasi”. Pernyataan ini bisa benar dari salah satu sisi dan juga salah pada sisi lain. Hakikatnya pesantren yang mencetak para santri, telah memiliki model tersendiri dalam proses pendidikan dan pengajaran.
Hadirnya sosok Kiai, yang menanamkan keteladanan dan ilmu menjadi hal pokok dalam pendidikan kepesantrenan. Maka penguatan kurikulum seperti tentu mesti diprioritaskan dari segala hal lainnya, dan tentu ini masuk dalam kategori pemisahan kurikulum fardhu ain yang semestinya dituntaskan di tingkat madrasah ibtidaiyah dan tsanawiyah.
Adapun kurikulum yang bersifat fardhu kifayah termasuk didalamnya adalah penguatan materi praktikum atau laboratorium robotik, teknik pertanian, perikanan, dan teknik wirausaha dapat mereka ambil pada tingkat ini.
Sebaliknya, ketika pesantren mengalami kemerosotan akhlak, pelanggaran syariat, kehilangan adab dan akhlak kepada guru dan sesama santri, maka tentu hal ini adalah prioritas untuk diperbaiki. Melakukan evaluasi kurikulum, sistem kepesantrenan, pembinaan kesantrian, aturan penggunaan gadget atau smartphone adalah hal yang perlu dilihat secara menyeluruh, sebelum pengambilan keputusan.
Ketiga: Apakah kaum santri paling utama dituntut agar ketertinggalan bangsa dalam modernisasi dimulai dari mereka? Bisa iya dan bisa juga tidak. Hakikatnya, Indonesia tidak pernah kehabisan sosok ilmuan, orang cerdas dan pemimpin. Namun titik kritis itu justru ada pada masa 4.0 menuju 5.0. Kasus pelecehan seksual di salah satu pesantren di Jombang (tirto.id, 7/2/2020), pesantren di Aceh (BBC, 17/7/2020), di Ponpes Ogan Ilir (tribunnews.com, 30/9/2021) dan masih banyak kenakalan remaja yang terus menghantui pembinaan santri.
Maka tentu, butuh banyak pembenahan yang terus diperbaiki dalam sistem kepesantrenan. Lahirnya undang-undang 18 tahun 2019 tentang Pesantren menjadi spirit untuk lebih memantapkan fungsi pesantren dalam pendidikan, dakwah dan pembinaan masyarakat.
Keempat: Apa pokok terpenting sebagai standar keberhasilan pendidikan kepesantrenan? Imam Abdullah Ibnu al-Mubarak (736-797 M) seorang ulama dan pengusaha sukses dermawan menyebutkan, “aku mempelajari adab sebelum belajar ilmu, selama 20 tahun”.
Begitulah hakikat ilmu, kemuliaannya ada pada tingkat adab seorang santri. Adab dalam makna luas, mencakup adab kepada Allah, Al-Qur’an, Rasulullah, kepada guru dan juga kepada temannya. Adab dan akhlak ini akan mengantarkan keteladanan, Syaikh Burhanuddin az-Zanurji menyebutkan dalam kitabnya Ta’lim al-Muta’alim.
“Setiap orang Islam juga wajib mengetahui atau mempelajari akhlak yang terpuji dan yang tercela, seperti watak murah hati, kikir, penakut, pemberani, merendah diri, congkak, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan), bakhil terlalu hemat dan sebagainya. Sifat sombong, kikir, penakut, israf hukumnya haram. Dan tidak mungkin bisa terhindar dari sifat-sifat itu tanpa mengetahui kriteria sifat-sifat tersebut serta mengetahui cara menghilangkannya. Oleh karena itu orang islam wajib mengetahuinya.”
Maka dari sekian problematika santri dan kepesantrenan, maka pemerintah diharapkan dapat hadir memberikan perhatian yang lebih besar untuk ikut serta memperbaiki dan melahirkan santri unggul, baik melalui penguatan kurikulum, penguatan peran pesantren di tengah masyarakat, kemudahan administratif dan penguatan dana, serta kemandirian dalam usaha melalui pelatihan dan bantuan modal.
************
Penulis: Askar Fatahuddin, S. Si.,M.E
(Dosen STIBA Makassar dan Mahasiswa Program Kaderisasi Ulama Dewan Dakwah)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)