بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيم
A. Hukum Menyambut dan Bergembira dengan Hari Raya Mereka
Sesungguhnya di antara konsekuensi terpenting dari sikap membenci orang-orang kafir ialah menjauhi syi’ar dan ibadah mereka. Sedangkan syi’ar mereka yang paling besar adalah hari raya mereka, baik yang berkaitan dengan tempat maupun waktu. Maka orang Islam berkewajiban menjauhi dan meninggalkannya.
Ada seorang lelaki yang datang kepada baginda Rasul Shallallaahu alaihi wa Salam untuk meminta fatwa karena ia telah bernadzar memotong hewan di Buwanah (nama sebuah tempat), maka Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam menyatakan kepadanya; “Apakah di sana ada berhala dari berhala-hala orang Jahiliyah yang disembah?” Dia menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya, “Apakah di sana tempat dilaksanakannya hari raya dari hari-hari raya mereka?” Dia menjawab, “Tidak”. Maka Nabi bersabda, “Tepatilah nadzarmu, karena sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam maksiat terhadap Allah dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam.” (HR. Abu Daud dengan sanad yang sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas menunjukkan, tidak boleh menyembelih untuk Allah di tempat yang digunakan menyembelih untuk selain Allah; atau di tempat orang-orang kafir merayakan pesta atau hari raya. Sebab hal itu berarti mengikuti mereka dan menolong mereka di dalam mengagungkan syi’ar-syi’ar mereka atau menjadi wasilah yang menghantar-kan kepada syirik.
Begitupula ikut merayakan hari raya (hari besar) mereka mengandung wala’ kepada mereka dan mendukung mereka dalam menghidupkan syi’ar-syi’ar mereka. Di antara yang dilarang adalah menampakkan rasa gembira pada hari raya mereka, meliburkan pekerjaan (sekolah), memasak makan-makanan sehubungan dengan hari raya mereka.
Dan di antaranya lagi ialah mempergunakan kalender Masehi, karena hal itu menghidupkan kenangan terhadap hari raya Natal bagi mereka. Karena itu para sahabat menggunakan kalender Hijriyah sebagai gantinya.
Syaikh Ibnu Taimiyah berkata, “Ikut merayakan hari-hari besar mereka tidak diperbolehkan karena dua alasan: Pertama: Bersifat umum, seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa hal tersebut berarti mengikuti Ahli Kitab, yang tidak ada dalam ajaran kita dan tidak ada dalam kebiasaan salaf. Mengikutinya berarti mengandung kerusakan dan meninggalkannya terdapat maslahat menyelisihi mereka.
Bahkan seandainya kesamaan yang kita lakukan merupakan sesuatu ketepatan semata, bukan karena mengambilnya dari mereka, tentu yang disyari’atkan adalah menyelisihinya telah diisyaratkan di atas. Maka barangsiapa mengikuti mereka, dia telah kehilangan maslahat ini sekali pun tidak melakukan mafsadah (kerusakan) apa pun, terlebih lagi kalau dia melakukannya.
Kedua: karena hal itu adalah bid’ah yang diada-adakan. Alasan ini jelas menunjukkan bahwa sangat dibenci hukumnya menyerupai mereka dalam hal itu.” Beliau juga mengatakan, “Tidak halal bagi kaum muslimin ber-tasyabbuh (menyerupai) mereka dalam hal-hal yang khusus bagi hari raya mereka; seperti makanan, pakaian, mandi, menyalakan lilin, meliburkan kebiasaan seperti bekerja dan beribadah atau pun yang lain-nya.
Tidak halal mengadakan kenduri atau memberi hadiah atau menjual barang-barang yang diperlukan untuk hari raya tersebut. Tidak halal mengizinkan anak-anak atau pun yang lainnya melakukan permainan pada hari itu, juga tidak boleh menampakkan perhiasan.
Ringkasnya, tidak boleh melakukan sesuatu yang menjadi ciri khas dari syi’ar mereka pada hari itu. Hari raya mereka bagi umat Islam haruslah seperti hari-hari biasanya, tidak ada hal istimewa atau khusus yang dilakukan umat Islam. Adapun jika dilakukan hal-hal tersebut oleh umat Islam dengan sengaja maka berbagai golongan dari kaum salaf dan khalaf menganggapnya makruh.
Sedangkan pengkhususan seperti yang tersebut di atas maka tidak ada perbedaan di antara ulama, bahkan sebagian ulama menganggap kafir orang yang melakukan hal tersebut, karena dia telah mengagungkan syi’ar-syi’ar kekufuran.
Segolongan ulama mengatakan, “Siapa yang menyembelih kambing pada hari raya mereka (demi merayakannya), maka seolah-olah dia menyembelih babi.” Abdullah bin Amr bin Ash berkata, “Siapa yang mengikuti negara-negara ‘ajam (non-Islam) dan melakukan perayaan Nairuz dan Mihrajan serta menyerupai mereka sampai ia meninggal dunia dan dia belum bertobat, maka dia akan dikumpulkan bersama mereka pada Hari Kiamat.”
B. Hukum Ikut Merayakan Pesta, Walimah, Hari Bahagia atau Hari Duka Mereka Dengan Hal-hal yang Mubah serta Ber-ta’ziyah pada Musibah Mereka.
Tidak boleh memberi ucapan selamat (tahni’ah) atau ucapan bela-sungkawa (ta’ziyah) kepada mereka, karena hal itu berarti memberikan wala’ dan mahabbah kepada mereka. Juga dikarenakan hal tersebut mengandung arti pengagungan (penghormatan) terhadap mereka.
Maka hal itu diharamkan berdasarkan larangan-larangan ini. Sebagaimana haram mengucapkan salam terlebih dahulu atau membuka jalan bagi mereka.
Ibnul Qayyim berkata, “Hendaklah berhati-hati jangan sampai ter-jerumus sebagaimana orang-orang bodoh, ke dalam ucapan-ucapan yang menunjukkan ridha mereka terhadap agamanya. Seperti ucapan mereka, “Semoga Allah membahagiakan kamu dengan agamamu”, atau “memberkatimu dalam agamamu”, atau berkata, “Semoga Allah memuliakanmu”.
Kecuali jika berkata, “Semoga Allah memuliakanmu dengan Islam”, atau yang senada dengan itu. Itu semua tahni’ah dengan perkara-perkara umum. Tetapi jika tahni’ah dengan syi’ar-syi’ar kufur yang khusus milik mereka seperti hari raya dan puasa mereka, dengan mengatakan, “Selamat hari raya Natal” umpamanya atau “Berbahagialah dengan hari raya ini” atau yang senada dengan itu, maka jika yang mengucapkannya selamat dari kekufuran, dia tidak lepas dari maksiat dan keharaman.
Sebab itu sama halnya dengan memberikan ucapan selamat terhadap sujud mereka kepada salib; bah-kan di sisi Allah hal itu lebih dimurkai daripada memberikan selamat atas perbuatan meminum khamr, membunuh orang atau berzina atau yang sebangsanya.
Banyak sekali orang yang terjerumus dalam hal ini tanpa menyadari keburukannya. Maka barangsiapa memberikan ucapan selamat kepada seseorang yang melakukan bid’ah, maksiat atau pun kekufuran maka dia telah menantang murka Allah. Para ulama wira’i (sangat menjauhi yang makruh, apalagi yang haram), mereka senantiasa menghindari tahni’ah kepada para pemimpin zhalim atau kepada orang-orang dungu yang diangkat sebagai hakim, qadhi, dosen atau mufti; demi untuk menghin-dari murka Allah dan laknatNya.
Dari uraian tersebut jelaslah, memberi tahni’ah kepada orang-orang kafir atas hal-hal yang diperbolehkan (mubah) adalah dilarang jika mengandung makna yang menunjukkan rela kepada agama mereka. Adapun memberikan tahni’ah atas hari-hari raya mereka atau syi’ar-syi’ar mereka adalah haram hukumnya dan sangat dikhawatirkan pelakunya jatuh pada kekufuran.
***********
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Penulis: Syekh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan Rahimahullah
Sumber: Kitab Tauhid
Penerbit: Yayasan As Sofwa Jakarta
Artikel : www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)