Ketika melihat barang bagus, saya sering mendengar candaan dari kawan-kawan di pesantren, “Lan tanālul-birra…” Maksudnya, seseorang tidak akan memperoleh kebaikan sebelum menginfakkan barang yang benar-benar dicintai barang baru, antik, atau barang-barang berharga lainnya.
Mungkin maksud hati mereka adalah mengingatkan untuk bersikap itsar, mendahulukan orang lain dengan memberikan barang tersebut. Tren candaan seperti ini lebih saya sukai daripada pujian tanpa kalimat thayyibah. Tidak jarang, barang yang dipuji tanpa kalimat thayyibah justru tidak berumur panjang. Itulah keyakinan kami tertimpa ‘ain.
Nyatanya, sikap itsar telah membudaya dalam peradaban Islam sejak berabad-abad lalu. Ketika dua kaum, Muhajirin dan Anshar, disatukan dalam ikatan ukhuwah islamiyyah, kaum Muhajirin yang tidak memiliki harta langsung mendapatkan kehidupan layak di negeri yang baru mereka pijak.
Meski tanpa hubungan darah dan belum saling mengenal sebelumnya, mereka diperlakukan layaknya saudara. Ada yang langsung diberi setengah harta, bahkan ada yang menawarkan, “Pilihlah istriku yang paling kau sukai, maka dia untukmu!” Sungguh loyalitas yang luar biasa sesuatu yang mungkin sulit kita bayangkan di era masyarakat modern yang individualis.
Saat ini, kita tidak hanya terpisah secara fisik dari sesama Muslim, tetapi juga tercerai-berai hatinya. Keutamaan kaum Anshar inilah yang menjadi alasan mengapa membenci mereka termasuk salah satu cabang kemunafikan.
Dahulu, jika ada seorang sahabat yang menyatakan ketertarikannya pada suatu barang, pemiliknya langsung memberikannya tanpa ragu. Semakin besar kecenderungan jiwa terhadap barang tersebut, semakin ringan mereka menginfakkannya demi mengharap ridha Allah. Indah sekali potret akhlak generasi terbaik didikan Nabi Muhammad ﷺ.
Awalnya, saya belum memahami dengan baik makna ayat “Lan tanālul-birra ḥattā tunfiqụ mimmā tuḥibbụn” dalam QS. Ali Imran ayat 92 dan bagaimana aplikasinya dalam kehidupan. Dengan izin Allah, jawaban atas pertanyaan ini saya dapatkan dalam Mata Kuliah Tadabbur bersama Syaikh Fajrul Islam panggilan kami untuk Ustadz Heggy Fajrianto, Lc., M.A., dosen pengampu mata kuliah tersebut.
Saat membahas ayat ini, beliau menceritakan kisah Ibnu Umar yang gemar menginfakkan gula. Ketika ditanya alasannya, beliau menjawab bahwa gula adalah barang yang disukainya. Dengan demikian, Ibnu Umar berusaha mengamalkan perintah Allah meraih kebaikan dengan menginfakkan barang yang dicintainya. Mungkin sekilas kisah ini terdengar sederhana, tetapi bagi mereka yang memahami esensinya, ini adalah wujud nyata dari ketaatan.
Dalam menafsirkan ayat ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa menginfakkan harta yang dicintai lebih besar pahalanya dibandingkan harta biasa. Meski secara nominal sama, barang yang memiliki keterikatan emosional lebih bernilai di sisi Allah ketika diberikan. Tidak mudah bagi manusia yang cenderung mencintai dunia untuk melakukan hal ini sebab itu berarti menahan diri dari hawa nafsu.
Ayat ini juga mengingatkan kita agar tidak terbiasa memberikan barang yang tidak kita sukai kepada orang lain. Ketika bosan dengan setumpuk baju lama, kita menyumbangkannya. Ketika tidak menyukai suatu makanan, kita memberikannya kepada orang lain. Ketika barang sudah rusak, kita mengalihkannya ke orang lain. Jika kita sendiri enggan menggunakannya, mengapa memberikannya kepada orang lain?
Islam mendorong umatnya untuk tidak menjadikan kecenderungan nafsu sebagai tujuan utama. Supaya tidak ada ketamakan dan kerakusan terhadap dunia. Cinta berlebihan terhadap harta, hubban jamma, adalah ujian yang Allah berikan kepada manusia. Maka, siapa yang mampu melewati ujian ini dengan menginfakkan apa yang paling dicintainya, dialah yang meraih kebajikan sejati.
Menginfakkan Masa Muda
Saya merenung mungkinkah ini sebabnya Allah menjanjikan naungan di akhirat bagi seorang pemuda yang hatinya tertaut pada masjid? (HR. Muslim No. 1031). Sudah biasa kita lihat, shaf masjid lebih banyak diisi oleh mereka yang berusia senja. Di mushola kampung atau masjid perkotaan, pemandangan ini lumrah terjadi. Mungkin, banyak yang belum sadar bahwa maut bisa datang kapan saja, tak peduli usia. Betapa sering kelapangan menjadi ujian yang lebih sulit daripada kesulitan.
Refleksi ini menjadi motivasi bagi para pemuda yang tengah sibuk fi sabilillah, menuntut ilmu di jalan Allah. Tak perlu iri dengan kehidupan di luar sana, apalagi berpindah jalur. Anda sudah berada di jalan yang benar. Perbuatan maksiat memang tampak indah, tetapi itu hanya ilusi dibuat seakan menarik oleh musuh bebuyutan manusia. Kini saatnya meluruskan niat menuntut ilmu, bukan sekadar mengejar gelar, memenuhi keinginan orang tua, atau mencari kedudukan.
Dengan niat yang benar, proses menuntut ilmu akan mengantarkan seseorang kepada kemuliaan kemuliaan yang dikenal oleh penghuni langit. Ilmu menumbuhkan keimanan, menjadikan seseorang semakin haus akan kebenaran, dan akhirnya mengantarkannya kepada ketakwaan. Rasulullah ﷺ bersabda, “Man salaka ṭarīqan yaltamisu fīhi ‘ilman, sahhalallāhu lahu bihi ṭarīqan ila-l-jannah.” (HR. Ibnu Majah).
Wahai para pemuda, jangan ragu dan jangan bersedih. Bersabarlah dalam menuntut ilmu, karena ia adalah kesabaran yang penuh kenikmatan. Sebab, siapa yang tidak bersabar dalam menuntut ilmu di masa muda, ia harus bersabar dalam kebodohannya sepanjang hidup. Janji Allah selalu benar Dia senantiasa bersama orang-orang yang bersabar. Infakkan masa mudamu di jalan Allah! Barulah engkau layak disebut sebagai pemuda sejati.
“Bersabarlah terhadap kerasnya sikap seorang guru,
Sesungguhnya kegagalan dalam ilmu adalah karena permusuhan dengannya.
Barangsiapa belum merasakan pahitnya belajar walau sebentar,
Ia akan merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya.
Dan barangsiapa ketinggalan belajar di masa mudanya,
Maka bertakbirlah untuknya empat kali karena kematiannya.
Demi Allah, hakikat seorang pemuda adalah dengan ilmu dan takwa.
Bila keduanya tiada, maka tiada anggapan baginya.”
(Imam asy-Syafi’i Rahimahullah)
********
Penulis: Nurul Aisy
(Mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an Zad Cianjur)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)