بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيم
Pertama: Asma’ Husna
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Hanya milik Allah asma’ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma’ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-A’raf: 180)
Ayat yang agung ini menunjukkan hal-hal berikut:
1. Menetapkan nama-nama (asma’) untuk Allah Subhannahu wa Ta’ala , maka siapa yang menafikannya berarti ia telah menafikan apa yang telah ditetapkan Allah dan juga berarti dia telah menentang Allah Subhannahu wa Ta’ala .
2. Bahwasanya asma’ Allah Subhannahu wa Ta’ala semuanya adalah husna. Maksudnya sangat baik. Karena ia mengandung makna dan sifat-sifat yang sempurna, tanpa kekurangan dan cacat sedikit pun. Ia bukanlah sekedar nama-nama kosong yang tak bermakna atau tak mengandung arti.
3. Sesungguhnya Allah memerintahkan berdo’a dan ber-tawassul kepadaNya dengan nama-namaNya. Maka hal ini menunjukkan keagungannya serta kecintaan Allah kepada do’a yang disertai nama-namaNya.
4. Bahwasanya Allah Subhannahu wa Ta’ala mengancam orang-orang yang ilhad dalam asma’Nya dan Dia akan membalas perbuatan mereka yang buruk itu.
Ilhad menurut bahasa berarti condong. Ilhad di dalam asma’ Allah berarti menyelewengkannya dari makna-makna agung yang dikandungnya kepada makna-makna batil yang tidak dikandungnya. Sebagaimana yang dilakukan orang-orang yang men-ta’wil-kannya dari makna-makna sebenarnya kepada makna yang mereka ada-adakan.
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Katakanlah: ‘Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-asma’ul husna (nama-nama yang terbaik) …”. (Al-Isra’: 110)
Diriwayatkan, bahwa salah seorang musyrik mendengar baginda Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam sedang mengucapkan dalam sujudnya, “Ya Allah, ya Rahman”. Maka ia berkata, “Sesungguhnya Muhammad mengaku bahwa dirinya hanya menyembah satu tuhan, sedangkan ia memohon kepada dua tuhan.”
Maka Allah menurunkan ayat ini. Demikian seperti disebutkan oleh Ibnu Katsir. Maka Allah menyuruh hamba-hambaNya untuk memanjatkan do’a kepadaNya dengan menyebut nama-namaNya sesuai dengan keinginannya. Jika mereka mau, mereka memanggil, “Ya Allah”, dan jika mereka menghendaki boleh memanggil, “Ya Rahman” dan seterusnya.
Hal ini menunjukkan tetapnya nama-nama Allah dan bahwasanya masing-masing dari namaNya bisa digunakan untuk berdo’a sesuai dengan maqam dan suasananya, karena semuanya adalah husna.
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Dia mempunyai al-asma’ul husna (nama-nama yang baik).” (Thaha: 8)
“… Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepadaNya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Al-Hasyr: 24)
Maka barangsiapa menafikan asma’ Allah berarti ia berada di atas jalan orang-orang musyrik, sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta’ala : “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Sujudlah kamu sekalian kepada Yang Maha Penyayang’, mereka menjawab: ‘Siapakah yang Maha Penyayang itu? Apakah kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami (bersujud kepadaNya)?’, dan (perintah sujud itu) menambah mereka jauh (dari iman).” (Al-Furqan: 60)
Dan termasuk orang-orang yang dikatakan oleh Allah Subhannahu wa Ta’ala : “… padahal mereka kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Katakanlah: ‘Dialah Tuhanku tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia …’.” (Ar-Ra’d: 30)
Maksudnya, ini yang kalian kufuri adalah Tuhanku, aku meyakini rububiyah, uluhiyah, asma’ dan sifatNya. Maka hal ini menunjukkan bahwa rububiyah dan uluhiyah-Nya mengharuskan adanya asma’ dan sifat Allah Subhannahu wa Ta’ala. Dan juga, bahwasanya sesuatu yang tidak memiliki asma’ dan sifat tidaklah layak menjadi Rabb (Tuhan) dan Ilah (sesembahan).
Kedua: Kandungan Asma’ Husna Allah
Nama-nama yang mulia ini bukanlah sekedar nama kosong yang tidak mengandung makna dan sifat, justru ia adalah nama-nama yang menunjukkan kepada makna yang mulia dan sifat yang agung.
Setiap nama menunjukkan kepada sifat, maka nama Ar-Rahman dan Ar-Rahim menunjukkan sifat rahmah; As-Sami’ dan Al-Bashir menun-jukkan sifat mendengar dan melihat; Al-’Alim menunjukkan sifat ilmu yang luas; Al-Karim menunjukkan sifat karam (dermawan dan mulia); Al-Khaliq menunjukkan Dia menciptakan; dan Ar-Razzaq menunjuk-kan Dia memberi rizki dengan jumlah yang banyak sekali.
Begitulah seterusnya, setiap nama dari nama-namaNya menunjukkan sifat dari sifat-sifatNya. Syaikh Ibnu Taimiyah berkata: “Setiap nama dari nama-namaNya menunjukkan kepada Dzat yang disebutnya dan sifat yang dikandungnya, seperti Al-’Alim menunjukkan Dzat dan ilmu, Al-Qodir menunjukkan Dzat dan qudrah, Ar-Rahim menunjukkan Dzat dan sifat rahmat.”
Ibnul Qayyim berkata, “Nama-nama Rabb Subhannahu wa Ta’ala menunjukkan sifat-sifat kesempurnaanNya, karena ia diambil dari sifat-sifatNya. Jadi ia adalah nama sekaligus sifat dan karena itulah ia menjadi husna. Sebab andaikata ia hanyalah lafazh-lafazh yang tak bermakna maka tidaklah disebut husna, juga tidak menunjukkan kepada pujian dan kesempurnaan.
Jika demikian tentu diperbolehkan meletakkan nama intiqam (balas dendam) dan ghadhab (marah) pada tempat rahmat dan ihsan, atau sebaliknya. Sehingga boleh dikatakan, “Ya Allah sesungguhnya saya telah menzhalimi diri sendiri, maka ampunilah aku, karena sesungguhnya Engkau adalah Al-Muntaqim (Maha Membalas Dendam). Ya Allah anugerahilah saya, karena sesungguhnya engkau adalah Adh-Dharr (Yang Memberi Madharat) dan Al-Mani’ (Yang Menolak) …” dan yang semacamnya.
Lagi pula kalau tidak menunjukkan arti dan sifat, tentu tidak diperbolehkan memberi kabar dengan masdar-masdar-nya dan tidak boleh menyifati dengannya. Tetapi kenyataannya Allah sendiri telah mengabarkan tentang DiriNya dengan masdar-masdar-Nya dan menetapkannya untuk DiriNya dan telah ditetapkan oleh RasulNya untukNya, seperti firman Allah Subhannahu wa Ta’ala : “Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rizki Yang Mem-punyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (Adz-Dzariyat: 58)
Dari sini diketahui bahwa Al-Qawiy adalah salah satu nama-namaNya yang bermakna “Dia Yang Mempunyai Kekuatan”. Begitu pula firman Allah: “… Maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya …” (Fathir: 10)
“Al ‘aziiz” adalah “Yang Memiliki Izzah (kemuliaan)”. Sampai akhirnya Ibnu Qoyyim berkata: “… juga seandainya asma-Nya tidak mengandung makna dan sifat maka tidak boleh mengabari tentang Allah dengan fi’il (kata kerja)nya. Maka tidak boleh dikatakan “Dia mendengar”, “Dia melihat”, “Dia mengetahui”, “Dia berkuasa” dan “Dia ber-kehendak”. Karena tetapnya hukum-hukum sifat adalah satu cabang dari ketetapan sifat-sifat itu. Jika pangkal sifat tidak ada maka mustahil adanya ketetapan hukumya.”
Ketiga: Studi Tentang Sebagian Sifat-Sifat Allah
Sifat-sifat Allah terbagi menjadi dua bagian:
Bagian pertama, adalah sifat dzatiyah, yakni sifat yang senantiasa melekat denganNya. Sifat ini tidak berpisah dari DzatNya. Seperti ilmu, kekuasan, mendengar, melihat, kemuliaan, hikmah, ketinggian, keagungan, wajah, dua tangan, dua mata.
Bagian kedua, adalah sifat fi’liyah. Yaitu sifat yang Dia perbuat jika berkehendak. Seperti, bersemayam di atas ‘Arsy, turun ke langit dunia ketika tinggal sepertiga akhir dari malam, dan datang pada hari Kiamat.
Berikut ini kami sebutkan sejumlah sifat-sifat Allah dengan dalil dan keterangannya, apakah ia termasuk dzatiy atau fi’liy.
A. Al-qudrah (berkuasa)
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “… dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Al-Maidah: 120) “Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 20)
“Dan adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Al-Kahfi: 45)
“Katakanlah: ‘Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu’.” (Al-An’am: 65)
“Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk mengembali-kannya (hidup sesudah mati).” (Ath-Thariq: 8)
Dia telah menetapkan sifat qudrah, kuasa untuk melakukan apa saja, sebagaimana Dia juga menafikan dari DiriNya sifat ‘ajz (lemah) dan lughub (letih). Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.” (Fathir: 44)
“Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, dan Kami sedikit-pun tidak ditimpa keletihan.” (Qaf: 38)
Dia memiliki qudrah yang mutlak dan sempurna sehingga tidak ada sesuatu pun yang melemahkanNya. Tidaklah ada penciptaan makhluk dan pembangkitan mereka kembali kecuali bagaikan satu jiwa saja. “Sesungguhnya perintahNya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia.” (Yasin: 82)
Maka seluruh makhlukNya, baik yang di atas maupun yang di bawah, menunjukkan kesempurnaan qudrah-Nya yang menyeluruh. Tidak ada satu partikel pun yang keluar dariNya. Cukuplah menjadi dalil bagi seorang hamba manakala ia melihat kepada penciptaan diri-nya; bagaimanakah Allah menciptakannya dalam bentuk yang paling baik, membelah baginya pendengaran dan penglihatannya, menciptakan untuknya sepasang mata, sebuah lisan dan sepasang bibir? Kemudian apabila ia melayangkan pandangannya ke seluruh jagat raya ini maka ia akan melihat berbagai keajaiban qudrahNya yang menunjukkan keagunganNya.
B. Al-iradah (berkehendak)
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendakiNya.” (Al-Maidah: 1)
“Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (Al-Hajj: 14)
“Mahakuasa berbuat apa yang dikehendakiNya.” (Al-Buruj: 16)
“Sesungguhnya perintahNya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia.” (Yasin: 82)
Ayat-ayat ini menetapkan iradah untuk Allah Subhannahu wa Ta’ala yakni di antara sifat Allah yang ditetapkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ahlus-Sunnah wal Jama’ah menyepakati bahwa iradah itu ada dua macam:
a. Iradah Kauniyah, sebagaimana yang terdapat dalam ayat: “Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit …” (Al-An’am: 125)
Yaitu iradah yang menjadi persamaan masyi’ah (kehendak Allah), tidak ada bedanya antara masyi’ah dan iradah kauniyah.
b. Iradah Syar’iyah, sebagaimana terdapat dalam ayat: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah: 185)
Perbedaan antara keduanya ialah:
Iradah kauniyah pasti terjadi, sedangkan iradah syar’iyah tidak harus terjadi; bisa terjadi bisa pula tidak.
Iradah kauniyah meliputi yang baik dan yang jelek, yang bermanfaat dan yang berbahaya bahkan meliputi segala sesuatu. Sedangkan iradah syar’iyah hanya terdapat pada yang baik dan yang bermanfaat saja.
Iradah kauniyah tidak mengharuskan mahabbah (cinta Allah). Terkadang Allah menghendaki terjadinya sesuatu yang tidak Dia cintai, tetapi dari hal tersebut akan lahir sesuatu yang dicintai Allah. Seperti penciptaan Iblis dan segala yang jahat lainnya untuk ujian dan cobaan.
Adapun iradah syar’iyah maka di antara konsekuensinya adalah mahabbah Allah, karena Allah tidak menginginkan dengannya kecuali sesuatu yang dicintaiNya, seperti taat dan pahala.
C. Al-’Ilmu (Ilmu)
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “… Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata …” (Al-Hasyr: 22)
“… Yang mengetahui yang ghaib. Tidak ada tersembunyi dari-padaNya seberat zarrah pun yang ada di langit dan yang ada di bumi …” (Saba’: 3)
“Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan di bumi.” (Al-Hujurat: 18)
“Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satu pun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit.” (Ali Imran: 5)
“… dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah …” (Al-Baqarah: 255)
“Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (An-Nahl: 74)
Di antara dalil yang menunjukkan atas ilmuNya yang luas adalah firman Allah Subhannahu wa Ta’ala : “… agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmuNya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Ath-Thalaq: 12)
Di antara dalilnya yang lain ialah hasil ciptaanNya yang sangat teliti dan sempurna. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan)…?” (Al-Mulk: 14)
Karena mustahil bisa menciptakan benda-benda di alam ini dengan sangat teliti dan sempurna kalau bukan Yang Maha Mengetahui. Yang tidak mengetahui dan tidak mempunyai ilmu tidak mungkin menciptakan sesuatu, seandainya ia menciptakan tentu tidak akan teliti dan sempurna. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula) …” (Al-An’am: 59)
“Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, dan menge-tahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (At-Taghabun: 4)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat tentang masalah ini. Syaikh Ibnu Taimiyah berkata, “Kaum Muslimin memahami, sesungguhnya Allah mengetahui segala sesuatu sebelum benda-benda itu ada dengan ilmuNya dan qadim azaliy yang merupakan salah satu dari konsekuensi DiriNya yang Mahasuci. Dan Dia tidak mengambil ilmu tentang benda itu dari benda itu sendiri.
“Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Mahahalus lagi Maha Mengetahui?” (Al-Mulk: 14)
D. Al-Hayat (Hidup)
Yaitu sifat dzatiyah azaliyah yang tetap untuk Allah, karena Allah bersifat dengan ‘ilmu, qudrat dan iradah; sedangkan sifat-sifat itu tidaklah ada kecuali dari yang hidup. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya) …” (Al-Baqarah: 255)
“Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia …” (Ghafir: 65)
“Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati …” (Al-Furqan: 58)
Ayat-ayat di atas menetapkan sifat hayat bagi Allah. Dan bahwa Al-Hayyul Qayyum adalah “Al-Ismul A’zham” (nama yang paling agung) yang jika Allah dipanggil dengannya pasti Dia mengabulkan, jika Dia dimintai dengannya pasti Dia memberi; karenanya hayat menunjukkan kepada seluruh sifat-sifat dzatiyah, dan qayyum menunjukkan kepada seluruh sifat-sifat fi’liyah.
Jadi seluruh sifat kembali kepada dua nama yang agung ini. BagiNya adalah kehidupan yang sempurna; tidak ada kematian, tidak ada kekurangan, tidak ada kantuk dan tidak ada tidur. Dialah Al-Qayyum, yang menegakkan yang lainNya dengan memberinya sebab-sebab kelangsungan dan kebaikan.
E. As-Sam’u (Mendengar) Dan Al-Bashar (Melihat)
Keduanya termasuk sifat dzatiyah Allah. Allah menyifati diriNya dengan kedua-duanya dalam banyak ayat, seperti firmanNya: “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
“Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (An-Nisa’: 58)
“… Sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat.” (Thaha: 46)
Pendengaran Allah Subhannahu wa Ta’ala menangkap semua suara, baik yang keras maupun yang pelan; mendengar semua suara dengan semua bahasa dan dapat membedakan semua kebutuhan masing-masing. Satu pendengaran tidak mengganggu pendengaran yang lain. Berbagai macam bahasa dan suara tidaklah membuat samar bagiNya.
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Al-Mujadalah: 1)
“Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka?” (Az-Zukhruf: 80)
Sebagaimana Allah juga melihat segala sesuatu, dan tidak ada sesuatu pun yang menutupi penglihatanNya. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:
“Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?” (Al-’Alaq: 14)
“Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan (melihat pula) perobahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.” (Asy-Syu’ara: 218-219)
“Dan katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu itu …’.” (At-Taubah: 105)
Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satupun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit. (Ali Imran: 5)
Yang tidak mendengar dan melihat tidak layak untuk menjadi Tuhan. Allah Subhannahu wa Ta’ala menceritakan tentang Ibrahim Alaihissalam yang berbicara kepada bapaknya sebagai protes atas penyembahan mereka terhadap berhala. “Mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak bisa mendengar dan melihat.” (Maryam: 42)
“Apakah berhala-berhala itu mendengar (do’a) mu sewaktu kamu berdo’a (kepadanya)?” (Asy-Syu’ara: 72)
F. Al-Kalam (Berbicara)
Di antara sifat Allah yang dinyatakan oleh Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ salaf dan para imam adalah Al-Kalam. Sesungguhnya Allah Subhannahu wa Ta’ala berbicara sebagaimana yang Dia kehendaki; kapan Dia menghendaki dan dengan apa Dia kehendaki, dengan suatu kalam (pembicaraan) yang bisa didengar.
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan (nya) daripada Allah.” (An-Nisa’: 87)
“Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?” (An-Nisa’: 122)
“Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (An-Nisa’: 164)
“… Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) …” (Al-Baqarah: 253)
“(Ingatlah), ketika Allah berfirman, ‘Hai Isa …” (Ali Imran: 55)
“Dan Kami telah memanggilnya dari sebelah kanan gunung Thur dan Kami telah mendekatkannya kepada Kami di waktu dia munajat (kepada Kami).” (Maryam: 52)
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa …” (Asy-Syu’ara: 10)
“Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka …” (Al-Qashash: 62)
“…supaya ia sempat mendengar firman Allah…” (At-Taubah: 6)
“…padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah…” (Al-Baqarah: 75)
Semua ayat ini menetapkan sifat hadits (ucapan), qaul (perkataan), kalam (pembicaraan), nida’ (seruan) dan munajat. Semuanya adalah termasuk jenis kalam yang tetap bagi Allah sesuai dengan keagunganNya. Kalam Allah termasuk sifat dzatiyah, karena terus menyertai Allah dan tidak pernah berpisah dariNya. Juga termasuk sifat fi’liyah, karena berkaitan dengan masyi’ah dan qudrah-Nya.
Allah Subhannahu wa Ta’ala juga menyebutkan bahwa yang tidak bisa berbicara tidak pantas untuk menjadi Tuhan. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa ke gunung Thur membuat dari perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa anak lembu itu tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak dapat (pula) menunjukkan jalan kepada mereka?” (Al-A’raf: 148)
Kalam adalah sifat kesempurnaan, sedangkan bisu adalah sifat kekurangan. Dan Allah memiliki sifat kesempurnaan, suci dari keku-rangan.
G. Al-Istiwa’ ‘Alal-’Arsy (Bersemayam Di Atas ‘Arsy)
Ia adalah termasuk sifat fi’liyah. Allah Subhannahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa Dia bersemayam di atas ‘Arsy, pada tujuh tempat di dalam kitabNya.
Surat Al-A’raf: “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy …” (Al-A’raf: 54)
Surat Yunus: “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy …” (Yunus: 3)
Surat Ar-Ra’d: “Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy …” (Ar-Ra’d: 2)
Surat Thaha: “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy …” (Thaha: 5)
Surat Al-Furqan: “… kemudian Dia bersemayam di atas Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah …” (Al-Furqan: 59)
Surat As-Sajdah: “Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy.” (As-Sajdah: 4)
Surat Al-Hadid: “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy …” (Al-Hadid: 4)
Dalam ketujuh ayat ini lafazh istawa’ datang dalam bentuk dan lafazh yang sama. Maka hal ini menyatakan bahwa yang dimaksudkan adalah maknanya yang hakiki yang tidak menerima ta’wil, yaitu ketinggian dan keluhuranNya di atas ‘Arsy. ‘Arsy menurut Bahasa Arab adalah singgasana untuk raja. Sedangkan yang dimaksud dengan ‘Arsy di sini adalah singgasana yang mempunyai beberapa kaki yang dipikul oleh malaikat, ia merupakan atap bagi semua makhluk.
Sedangkan bersemayamnya Allah di atasnya ialah yang sesuai dengan keagunganNya. Kita tidak mengetahui kaifiyah (cara)nya, sebagaimana kaifiyah sifat-sifatNya yang lain. Akan tetapi kita hanya menetapkannya sesuai dengan apa yang kita pahami dari maknanya dalam bahasa Arab, sebagaimana sifat-sifat lainnya, karena memang Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab.
H. Al-’Uluw (Tinggi) Dan Al-Fawqiyyah (Di Atas)
Dua sifat Allah yang termasuk dzatiyah adalah ketinggianNya di atas makhluk dan Dia di atas mereka. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Dan Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (Al-Baqarah: 255)
“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi.” (Al-A’la: 1)
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit.” (Al-Mulk: 16)
Maksudnya “Dzat yang ada di atas langit” apabila yang dimaksud dengan sama’ (dalam ayat tersebut) adalah langit, atau “Dzat yang di atas” jika yang dimaksud dengan sama’ adalah sesuatu yang ada di atas. Sebagaimana Dia menggambarkan tentang diangkatnya apa-apa kepadaNya: “… sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepadaKu …” (Ali Imran: 55)
“Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat ‘Isa kepada-Nya.” (An-Nisa’: 158)
Dan tentang shu’ud (naik)nya sesuatu kepadaNya: “… KepadaNya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkanNya.” (Fathir: 10)
Dan tentang ‘uruj (naik)nya sesuatu kepadaNya: “Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan …” (Al-Ma’arij: 4)
‘Uruj dan shu’ud adalah naik. Dalil-dalil semacam ini menunjuk-kan kepada ‘uluw (ketinggian) Allah di atas makhlukNya.
Begitu pula fawqiyah-Nya ditetapkan oleh berbagai dalil, di antaranya adalah firman Allah Subhannahu wa Ta’ala : “Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hambaNya …” (Al-An’am: 18)
“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka.” (An-Nahl: 50)
Perbedaan antara ‘uluw dan istiwa’ adalah bahwasanya ‘uluw ada-lah sifat dzat, sedangkan istiwa’ adalah sifat fi’il. ‘Uluw mempunyai tiga makna: – ‘Uluwudz-Dzat (DzatNya di atas makhluk) – ‘Uluwudz-Qahr (kekuatanNya di atas makhluk) – ‘Uluwul-Qahr (kekuasaanNya di atas makhluk). Kesemuanya itu adalah sifat yang benar untuk Allah Subhannahu wa Ta’ala .
I. Al-Ma’iyyah (Kebersamaan)
Ia adalah sifat yang tetap bagi Allah berdasarkan dalil yang banyak sekali. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” (At-Taubah: 40)
“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (Al-Hadid: 4)
“… sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat”. (Thaha: 46)
Dalil-dalil di atas menetapkan bahwa Allah Subhannahu wa Ta’ala selalu bersama hambaNya, di mana pun mereka berada. Arti ma’iyah: Ma’iyah Allah terhadap makhlukNya ada dua macam:
Ma’iyah umum bagi semua makhlukNya. Maksudnya, pengetahuan Allah terhadap amal perbuatan hamba-hambaNya, gerakan yang zhahir dan yang batin, perhitungan amal dan pengawasan ter-hadap mereka. Tidak ada sesuatu pun dari mereka yang lepas dari pengawasan Allah di mana pun mereka berada. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “… Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada …” (Al-Hadid: 4)
Ma’iyah khusus untuk orang-orang mukmin. Maknanya, pengawasan dan pengetahuan Allah terhadap mereka, serta pertolongan, dukungan dan penjagaan Allah untuk mereka dari tipu muslihat musuh-musuh mereka. “… “Sesungguhnya Aku bersama kamu berdua. Aku mendengar dan melihat.” (Thaha: 46)
“… Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita …” (At-Taubah: 40)
Catatan Penting: Dari uraian di atas, jelaslah makna Ma’iyah Allah terhadap hambaNya bukan berarti “Allah bercampur dengan mereka melalui DzatNya”, Mahasuci Allah dari hal tersebut, karena hal itu adalah “madzhab hululiyah” yang sesat, batil dan kufur. Karena Allah di atas para hambaNya dan Maha tinggi di atas mereka, tidak bercampur DzatNya dengan mereka, bersemayam di atas ‘Arsy-Nya dan Dia bersama mereka dengan ilmuNya, mengetahui segala hal ihwal mere-ka, mengawasi mereka dan mereka tidak sedikit pun bisa menghilang dari pandangan Allah.
Ma’iyah dapat digunakan untuk kebersamaan yang mutlak, sekali pun tidak ada sentuhan atau percampuran. Anda mengatakan, “barang/harta saya ada bersama saya”). Padahal harta tersebut ada di atas kepala anda atau di atas kendaraan anda atau di atas kuda anda. Anda mengatakan, “Kami terus saja berjalan, dan rembulan bersama kami”, padahal dia ada di langit, akan tetapi ia tetap menerangi dan tidak hilang dari pandangan anda, sedang yang sampai hanyalah cahaya dan penerangannya saja.
J. Al-Hubb (Cinta) Dan Ar-Ridha (Ridha)
Ia adalah dua sifat yang tetap bagi Allah dan termasuk sifat fi’liyah. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin …” (Al-Fath: 18)
“… Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha terha-dapNya …” (Al-Maidah: 119)
“Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa’at mereka sedikit pun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai (Nya).” (An-Najm: 26)
“… maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya …” (Al-Maidah: 54)
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (Al-Baqarah: 222)
“… sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Baqarah: 195)
Dalam ayat-ayat ini terdapat ketetapan adanya sifat mahabbah dan ridha bagi Allah. Bahwasanya Dia mencintai sebagian manusia dan meridhai mereka. Dan Dia mencintai sebagian amal dan akhlak, yaitu cinta dan ridha yang hakiki yang sesuai dengan keagunganNya Yang Mahasuci.
Tidak seperti cintanya makhluk untuk makhluk atau ridhanya. Di antara buah cinta dan ridha ini ialah terwujudnya taufiq dan pemuliaan serta pemberian nikmat kepada hamba-hambaNya yang Dia cintai dan Dia ridhai. Dan bahwa terwujudnya cinta dan ridha dari Allah untuk hambaNya adalah dikarenakan amal shalih yang di antaranya adalah takwa, ihsan dan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam . Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi …” (Ali Imran: 31)
“Dan senantiasa hambaKu mendekat kepadaKu dengan melaksanakan ibadah-ibadah ‘sunnah’ sehingga Aku mencintainya.” (HR. Al-Bukhari)
K. As-Sukhtu (Murka) Dan Al-Karahiyah (Benci)
Sebagaimana Allah mencintai hambaNya yang mukmin dan meridhainya, maka Dia juga memurkai orang-orang kafir dan munafik, membenci mereka dan membenci amal perbuatan mereka.
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka …” (Al-Ma’idah: 80)
“… tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka …” (At-Taubah: 46)
Murka dan benci adalah dua sifat yang tetap bagi Allah sesuai dengan keagunganNya. Di antara dampak dari keduanya adalah terjadinya berbagai musibah dan siksaan terhadap orang-orang yang dimurkaiNya dan dibenci perbuatannya.
L. Al-Wajhu (Wajah), Al-Yadaani (Dua Tangan) Dan Al-’Ainaani (Dua Mata)
Ini adalah sifat-sifat dzatiyah Allah sesuai dengan keagunganNya. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman: 27)
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah Allah.” (Al-Qashash: 88)
Dua ayat tersebut menekankan wajah untuk Allah. Kita menetapkannya untuk Allah Subhannahu wa Ta’ala sesuai dengan keagunganNya sebagaimana Dia sendiri menetapkan untukNya. Dan Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “(Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki.” (Al-Ma’idah: 64)
“… apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tanganKu. …”. (Shaad: 75)
Dua ayat tersebut menetapkan dua tangan untuk Allah. Dan Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “… maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, …” (Ath-Thur: 48)
“Yang berlayar dengan pemeliharaan Kami …” (Al-Qamar: 14)
“… dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasanKu.” (Thaha: 39)
Disebutkan lafazh ‘ain (mata) dan a’yun (beberapa mata) sesuai dengan apa yang disandarkan kepadanya, berbentuk tunggal atau jamak sesuai dengan ketentuan bahasa Arab. Dan disebutkan dalam sunnah yang suci sesuatu yang menunjukkan makna tatsniyah (dua).
Rasul Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda ketika menyifati Dajjal yang mengaku sebagai tuhan, “Sesungguhnya dia adalah buta sebelah, dan sesungguhnya Tuhanmu tidaklah buta sebelah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ini jelas, bahwa maksudnya bukanlah menetapkan satu mata, karena mata yang sebelah jelas cacat (buta). Mahasuci dari hal yang demikian. Maka dalam ayat-ayat dan hadits tersebut terdapat penetapan terhadap dua mata bagi Allah, sesuai dengan apa yang pantas bagi keagunganNya sebagaimana sifat-sifatNya yang lain.
M. Al-’Ajab (Heran)
Ia adalah sifat yang tetap bagi Allah Subhannahu wa Ta’ala sesuai dengan apa yang pantas bagi keagunganNya, sebagaimana yang ada dalam beberapa nash-nash shahih dan sharih (jelas). Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Tuhan kita merasa heran terhadap keputus asaan hamba-hambaNya padahal telah dekat perubahan (keadaan dari kesulitan kepada kemudahan) olehNya. Dia melihat kepadamu yang dalam keadaan sempit (susah) dan berputus asa. Dia pun tertawa, Dia mengetahui bahwa pertolonganNya untukmu adalah dekat.” (HR. Ahmad dan lainnya)
Dalam hadits ini terdapat sifat heran dan tertawa, yaitu dua sifat Allah dari sifat-sifat fi’liyah-Nya sebagaimana sifat-sifatNya yang lain. Tidaklah keherananNya sama dengan keheranan makhluk, dan tidaklah pula tertawaNya sama dengan tertawanya makhluk. Tidak ada sesuatu pun yang menyamaiNya.
N. Al-Ityan Dan Al-Maji’ (Datang)
Keduanya adalah sifat fi’liyah Allah Subhannahu wa Ta’ala . Dia berfirman: “Janganlah (berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-turut, dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris.” (Al-Fajr: 21-22)
“Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan malaikat (pada hari kiamat) dalam naungan awan, …” (Al-Baqarah: 210)
“Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau kedatangan Tuhanmu atau kedatangan sebagian tanda-tanda Tuhanmu. …” (Al-An’am: 158)
Ayat-ayat tersebut menetapkan sifat ityan dan maji’ bagi Allah yaitu datang dengan DzatNya secara sebenarnya untuk memutuskan hukum antara hamba-hambaNya pada hari Kiamat, sesuai dengan ke-agunganNya. Sifat datang dan mendatangi itu tidak sama dengan sifat makhluk. Mahasuci Allah dengan hal itu.
15. Al-Farah (Gembira)
Al-Farah adalah sifat yang tetap bagi Allah. Ia merupakan salah satu dari sifat fi’liyah-Nya sesuai dengan keagunganNya. Dalam hadits shahih Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam menyatakan bahwasanya Allah sangat bergembira karena taubat seorang hambaNya. Beliau Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
“Allah amat gembira karena taubat hamba melebihi kegembiraan salah seorang dari kalian karena (telah menemukan) kendaraannya (kembali).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Kegembiraan Allah ini adalah kegembiraan berbuat baik dan sayang, bukan kegembiraan seorang yang membutuhkan kepada taubat hambaNya yang bisa diambil manfaatnya. Karena sesungguhnya Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ketaatan hambaNya. Akan tetapi Dia bergembira untuk itu karena kebaikanNya, sayangNya dan anugerahNya kepada pada hambaNya yang mukmin; sebab Dia mencintai dan menginginkan kebaikan serta keselamatan hamba dari siksaan-Nya.
Keempat: Pendapat-Pendapat Golongan Sesat Tentang Sifat-Sifat Ini Beserta Bantahannya Golongan-golongan sesat seperti Jahmiyah, Mu’tazilah dan Asy’ariyah menyalahi AhlusSunnah wal Jama’ah dalam hal sifat-sifat Allah.
Mereka menafikan sifat-sifat Allah atau menafikan banyak sekali dari sifat-sifat itu atau men-ta’wil-kan nash-nash yang menetapkannya dengan ta’wil yang batil. Syubhat (keraguan, kerancuan) mereka dalam hal ini adalah mereka mengira bahwa penetapan dalam sifat-sifat ini menimbulkan adanya tasybih (penyerupaan Allah dengan lainNya).
Oleh karena sifat-sifat ini juga terdapat pada makhluk maka penetapannya untuk Allah pun menimbulkan penyerupaanNya dengan makhluk. Karena itu harus dinafikan -menurut mereka- atau harus di-ta’wil-kan dari zhahir-nya, atau tafwidh (menyerahkan) makna-makna-nya kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala. Demikianlah madzhab mereka dalam sifat-sifat Allah, dan inilah syubhat dan sikap mereka terhadap nash-nash yang ada.
Bantahan Terhadap Mereka
1. Sifat-sifat ini datang dan ditetapkan oleh nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mutawatir. Sedangkan kita diperintahkan mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu …” (Al-A’raf: 3)
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Ikutilah sunnahku dan sunnah para Khulafa’ Rasyidin se-sudahku.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, ia berkata hadits ini hasan shahih)
Dan Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “… Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; …” (Al-Hasyr: 7)
Maka barangsiapa yang menafikannya berarti dia telah menafikan apa yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya, dan berarti pula dia telah menentang Allah dan RasulNya.
Sesungguhnya kaum salaf dari sahabat, tabi’in dan ulama pada masa-masa yang dimuliakan, semuanya menetapkan sifat-sifat ini dan mereka tidak berselisih sedikit pun di dalamnya. Imam Ibnul Qayyim berkata: “Manusia banyak berselisih pendapat dalam banyak hal tentang hukum, tetapi mereka tidak berselisih dalam memahami ayat-ayat sifat dan juga hadits-haditsnya, sekali pun itu hanya sekali. Bahkan para sahabat dan tabi’in telah bersepakat untuk iqrar (menetapkannya) dan imrar (membiarkan apa adanya) disertai dengan pemahaman makna-makna lafazh-nya bahwa hal tersebut telah dijelaskan dengan tuntas, dan bahwa menjelaskannya adalah hal yang teramat penting, karena ia termasuk penyempurnaan bagi perwujudan dua kalimah syahadah, dan penetapannya merupakan konsekuensi tauhid. Maka Allah dan RasulNya menjelaskan dengan jelas dan gamblang tanpa kesamaran dan keraguan yang bisa menimpa ahlul ilmi.”
Sedangkan Rasulullah telah bersabda, “Kewajiban kalian adalah mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafa’ Rasyidin.” Sedangkan penetapan sifat adalah termasuk hal tersebut.
2. Seandainya zhahir nash-nash tentang sifat-sifat itu bukan yang dimaksud, dan dia wajib di-ta’wil-nya (penyerahan makna kepada Allah), tentu Allah dan RasulNya telah berbicara kepada kita dengan khitab dan ucapan yang kita tidak paham maknanya. Dan tentu nash ini bersifat teka-teki atau kode-kode (sandi) yang tidak bisa kita pahami. Ini adalah mustahil bagi Allah, Allah Mahasuci dari yang demikian. Karena kalam Allah dan kalam RasulNya adalah ucapan yang sangat jelas, gamblang dan berisi petunjuk.
3. Menafikan sifat berarti menafikan wujud Allah, karena tidak ada dzat tanpa sifat, dan setiap yang wujud pasti mempunyai sifat. Mustahil dibayangkan ada wujud yang tidak mempunyai sifat. Sesungguhnya yang tidak mempunyai sifat hanyalah ma’dum (sesuatu yang tidak ada).
Maka barangsiapa yang menafikan sifat-sifat bagi Allah yang telah Dia tetapkan untuk diriNya, berarti ia telah mencampakkan sifat-sifat Allah, telah membangkang kepada Allah dan telah menyerupakan Allah dengan benda-benda yang tidak ada wujudnya, dan itu berarti pula dia telah mengingkari wujud Allah; sebagai keha-rusan dan konsekuensi dari ucapannya itu.
4. Kesamaan nama-nama Allah dan sifat-sifatNya dengan nama-nama dan sifat-sifat makhlukNya dalam bahasa tidak mengharuskan kesamaan atau penyerupaan dalam hakikat atau kaifiyat. Allah memiliki sifat-sifat yang khusus dan sesuai dengan keagungan-Nya. Makhluk mempunyai sifat-sifat khusus dan sesuai dengan kepantasannya pula. Ini tidak mengharuskan kesamaan atau penyerupaan. Bahkan antar makhluk pun tidak harus sama.
Jika dikatakan, “Sesungguhnya ‘Arsy itu adalah sesuatu yang wujud” dan “sesungguhnya nyamuk itu sesuatu yang wujud”, ini tidak mengharuskan keduanya sama dalam “sesuatu dan wujud”, juga dalam hakikat dan kaifiyat. Jika hal ini terjadi antara makhluk dengan makhluk, maka antara Allah Al-Khaliq dengan makhlukNya adalah lebih utama untuk tidak sama.
5. Sebagaimana Allah mempunyai Dzat yang tidak diserupai oleh dzat makhluk, maka Dia juga mempunyai sifat-sifat yang tidak diserupai oleh sifat-sifat makhluk.
6. Sesungguhnya menetapkan sifat-sifat yang ada adalah kesempurnaan dan menafikannya adalah kekurangan. Sedangkan Allah Mahasuci dari sifat kekurangan. Maka wajiblah penetapan sifat-sifat itu.
7. Sesungguhnya dengan nama-nama dan sifat-sifat ini, para hamba dapat mengetahui Tuhannya dan mereka memohon kepadaNya dengan nama-nama itu. Mereka takut kepadaNya dengan nama-nama itu. Mereka takut kepadaNya dan mengharap dariNya sesuai dengan kandungan nama-nama itu. Jika dinafikan dari Allah maka hilanglah makna-makna yang agung itu. Lalu dengan apa Dia dimintai dan dengan apa pula ber-tawassul kepadaNya?
8. Sesungguhnya hukum asal dalam nash-nash sifat adalah zhahir dan makna aslinya. Tidak boleh menyelewengkan dari zhahir-nya kecuali jika terpenuhi keempat syarat berikut ini:
a. Menetapkan kemungkinan lafazh mengandung makna yang akan di-ta’wil-kan kepadanya.
b. Menegakkan dalil yang memalingkan lafazh dari zhahir-nya kepada makna yang mungkin dikandungnya yakni makna yang menyalahi zhahir-nya.
c. Menjawab dalil-dalil yang bertentangan dengan dalilnya tadi. Karena orang yang mengaku benar harus mempunyai bukti atas dakwaannya. Dia harus mempunyai jawaban yang benar terhadap dalil-dalil yang berlawanan dengannya. Dan tidaklah disebut memiliki dalil orang yang hanya mendakwakan ta’wil.
d. Bahwasanya manakala Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam berbicara dengan suatu pembicaraan jika beliau menginginkan arti yang bukan zhahir-nya, pasti beliau menjelaskan kepada umat bahwasanya beliau menginginkan majaz (arti kiasan) bukan hakikat atau arti sebenarnya. Ternyata ini tidak pernah terjadi pada nash-nash sifat tersebut.
***********
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Penulis: Syekh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan Rahimahullah
Sumber: Kitab Tauhid
Penerbit: Yayasan As Sofwa Jakarta
Artikel : www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)