Pada 15 Agustus 2023, saya menulis status di FB: “Jika berpolitik punya bekal ilmu yang memadai, niat untuk ibadah, dan berjuang menegakkan kebenaran, maka: LANJUTKAN!”
Status itu mendapat cukup banyak komentar. Hampir seluruhnya setuju dengan pernyataan tersebut. Tapi, ada satu komentar yang menarik: ”Kalau berpolitiknya masih di demokrasi, sesolih apa pun akan tergerus juga ketaatannya.”
Saya menjawab komentar itu: ”Buya Hamka, Mohammad Natsir, juga ikut Pemilu dalam sistem demokrasi… banyak ulama dan tokoh politisi muslim yang baik.”
Komentar saya dijawab lagi: ”Merekapun tidak mampu menerapkan syariat Islam Ustadz, apalagi secara kaffah!”
Mungkin masih banyak orang muslim yang memiliki pandangan seperti itu, sehingga mereka enggan melibatkan diri dalam Pemilu tahun 2024. Ada yang menyatakan, jika sistemnya tidak Islami dan masih memberlakukan sistem demokrasi, maka tidak ada gunanya menggunakan hak pilih. Sebab, menurut mereka, demokrasi adalah sistem yang tidak Islami. Karena itu, mereka memilih ”golput”, alias tidak memilih calon presiden atau anggota legislatif.
Ada lagi, yang menyatakan, bahwa Pemilu bukan jalan untuk meraih kemenangan perjuangan Islam. Kata mereka belum ada partai Islam yang berhasil mewujudkan pemerintahan Islam melalui Pemilu.
Pandangan-pandangan seperti itu, sejatinya bisa dikatakan berlebihan dalam memahami demokrasi, pemerintahan, dan dakwah Islam. Menggunakan hak pilih dalam pemilu, pada dasarnya adalah boleh. Namanya juga hak. Boleh digunakan dan boleh tidak digunakan.
Tetapi, jika mengharamkan ikut pemilu dengan alasan pemilu adalah bagian dari sistem demokrasi, itu pendapat yang berlebihan. Sebab, bisa saja memilih dalam pemilu menjadi wajib.
Sebagai contoh. Misalnya, dalam kontestasi Pilpres tahun 2024 ada dua pasang calon presiden dan wakil presiden. Yang pertama: Robert dan Ribet. Keduanya dikenal sebagai aktivis komunis, liberal, dan pelaku homoseksual. Pasangan kedua: Rohmat dan Ridho. Keduanya dikenal sebagai ilmuwan hebat dan pengusaha sukses yang sholeh dan dermawan.
Dalam kondisi seperti itu, maka saya akan mewajibkan diri saya untuk memilih Rohmat dan Ridho. Jika saya tidak menggunakan hak pilih saya, itu sama saja saya mendukung Robert dan Ribet. Karena saya secara otomatis memperbesar peluangnya untuk menang.
Logika ini sangat mudah dipahami. Bagaimana dengan sistem demokrasi? Para ulama Islam di Indonesia, sejak pemilu pertama tahun 1955, sudah bersepakat untuk mengikuti jalan pemilu sebagai sarana untuk memperjuangkan aspirasi dan tugas umat Islam sebagai ummatud da’wah.
Sebagai sebuah sistem pemerintahan, demokrasi diakui memiliki banyak kelemahan. Para ulama dan cendekiawan muslim, bahkan Plato – seorang filosof Yunani – pun sudah memberikan kritik terhadap sistem demokrasi. Karena itulah, para tokoh dan ulama Islam Indonesia sepakat memperjuangkan kemerdekaan dan mempertahankannya.
Begitu juga ketika peluang berjuang melalui pemilu dalam sistem demokrasi pun, para ulama kita tanpa ragu membentuk partai politik dan mengikuti proses pemilu untuk meraih kekuasaan. Sebab, kekuasaan memang diperlukan untuk memperjuangkan tegaknya kebenaran.
Dengan banyaknya orang-orang baik di lembaga eksekutif, legislatif, atau yudikatif, maka insyaAllah bisa mencegah tejadinya kondisi masyarakat dan negara yang lebih buruk lagi. Jika anggota DPR dipenuhi oleh para pendukung LGBT dan minuman keras, secara otomatis akan memuluskan jalan terjadinya kerusakan masyarakat.
Jika seorang menolak pemilu karena sistem demokrasi dipandang tidak Islami, maka sepatutnya ia juga konsisten untuk menolak semua sistem yang tidak Islami. Misalnya, perusahaan, sekolah, universitas, dan sebagainya, yang tidak Islami.
Jadi, menolak pemilu dengan alasan pemilu adalah bagian dari sistem demokrasi, itu merupakan pemikiran yang berlebihan. Patut dicatat, bahwa yang diperintahkan Allah agar menjadi baik, adalah manusianya. Manusia-manusia baik itulah yang pasti akan berjuang untuk memperbaiki diri, keluarga, masyarakat, dan bangsanya.
Diri manusia itulah yang akan bertanggung jawab di akhirat nanti. Bukan negaranya! Di mana saja seorang muslim berada – apakah hidup dalam negara demokrasi atau negara kerajaan – maka ia harus menjadi orang baik, menjadi abdullah dan khalifatullah fil-ardh yang baik.
Meskipun seseorang muslim tinggal di AS atau Rusia, maka ia harus tetap menjadi hamba Allah yang baik. Tentu saja, ia wajib mengakui syariat Islam secara kaffah dan menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan kemampuannya.
Jadi, menyambut pemilu 2024, kita gunakan hak pilih kita dengan sebaik-baiknya, untuk memilih yang terbaik. Setelah itu, siapa pun presiden Indonesia tahun 2024 nanti, kita tetap wajib menerapkan sistem pendidikan untuk keluarga kita dengan benar dan bijak. Siapa pun menteri pendidikannya nanti!.
**********
Penulis: Ustadz Dr. Adian Husaini, M.Si
(Dosen, Pendiri INSISTS Jakarta dan Direktur Ponpes At Taqwa Depok)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)