Ada hubungan yang kuat antara feminisme dan semangat kolonialisme Barat. Feminisme dianggap mewarisi semangat sarjana kolonial dalam merepresentasikan “yang lain” dengan citra inferior. Kritik tersebut berasal dari para feminis poskolonial yang muncul dibawah pengaruh tulisan-tulisan Edward Said seperti Orientalism dan Culture and Imperialism.[1] Di dalam karyanya, Said menunjukan bahwa sarjana-sarjana Orientalis lebih memilih membuat sebuah representasi imajiner yang negatif tentang timur dari pada meneliti gambaran yang sesungguhnya.[2] Feminisme Barat dituduh menempuh cara yang sama, Chandra Talpade Mohanty, salah satu feminis poskolonial terkemuka menunjukan representasi perempuan lain di dalam tulisan feminis Barat sebagai berikut ;
This “Average Third World” woman leads an esentially truncated life based on her feminine gender (read ; sexually constrained) and her being “Third World” (read : ignorat, poor, uneducated, traditional …..) This is contrast to the impicit self-representation of Western woman as educated, as modern, as having control over their own bodies and sexualities and the freedom to make their own decisions.[3]
Gambaran di atas oleh Mohanty disebut imaji“The Average Third World women” yakni hasil dari pandangan feminis Barat yang menganggap perempuan tertindas di seluruh dunia adalah fenomena homogen. Mereka lalu membuat gambaran imajiner tentang perempuan-perempuan tersebut sembari menggambarkan diri dalam citra yang kontras; maju, berpendidikan dan independen. Gambaran ini juga diperoleh dari feminis non-Barat yang mempergunakan pendekatan feminis Barat[4]. Berdasarkan penggambaran yang terdistorsi dan berbau imperialistik semacam itulah, para feminis menjalankan program-programnya di negara di luar Barat. Sehingga tidak mengherankan bila memajukan perempuan disamakan dengan westernisasi. Hal tersebut juga berlaku di dunia Islam.
Dalam konteks dunia Islam, misrepresentasi (penggambaran yang salah) Barat terhadap muslimah bisa dilacak jauh sebelum lahirnya feminisme. Mohja Kahf[5] melacak representasi muslimah di dalam karya-karya di Barat mulai dari abad pertengahan hingga periode romantisisme. Ia menemukan adanya perubahan signifikan representasi muslimah di dalam narasi Barat dari waktu ke waktu yang merupakan produk dari perkembangan kebudayaan Barat serta perubahan perimbangan kekuatannya dengan dunia Islam.[6] Represetnasi tersebut bisa dibagi di dalam tiga kurun, masa Abad Pertengahan, Renaisans dan masa kolonial.
Di dalam narasi abad pertengahan ketika peradaban Islam jauh mengugguli Barat, muslimah muncul di dalam karya sastra sebagai sosok Termagant, seorang ratu berwibawa yang memiliki kekuatan menakutkan. Gambaran ini kemudian berubah menjadi perempuan yang liar dan sensual ketika mulai terjadi konflik dengan peradaban Islam. Citra liar dan sensual itu diteruskan pada masa Renaisans selain adanya citra terkungkung agama. Akhirnya pada masa kolonial, munculah gambaran perempuan yang tertindas, terkurung di dalam harem dan menjadi korban kekolotan sekaligus memiliki pesona seksual yang menggoda[7]. Gambaran muslimah dari masa kolonial inilah yang hingga saat ini masih bertahan di dalam budaya pop ataupun dokumenter yang diproduksi di Barat.[8]
Sebagaimana budaya pop dan media Barat yang mewarisi representasi muslimah ala sarjana kolonial, feminisme pun terjebak di dalam bias tersebut. Etnosentrisme yang berada di belakang representasi feminisme Barat terhadap muslimah dianggap oleh Fedwa el-Guindi berakar dari warisan kolonial tersebut.[9] Akibatnya, mereka meyakini bahwa akar ketertinggalan muslimah terletak di dalam agama mereka yang terbelakang, sehingga solusi yang ditawarkan pun adalah sebuah upaya modernisasi yang lagi-lagi sejajar dengan westernisasi. Sebab nilai-nilai Barat selalu dianggap mewakili kemajuan, sebuah pandangan yang lahir dari perkawinan kolonialisme dengan feminisme.[10]
Analisis Jasmin Zine terhadap beberapa karya feminis yang menggambarkan muslimah menegaskan corak kolonialis, termasuk mereka yang sudah berupaya keluar dari kungkungan paradigma kolonial itu. Zine memberikan contoh tentang karya Geraldine Brooks ,jurnalis feminis dari Australia, berjudul Nine Parts of Desire. Di dalam buku itu Brooks selalu memulai babnya dengan sebuah ayat al-Qur’an untuk menujukan bahwa representasinya terhadap muslimah memang berangkat dari teks paling otoritatif di dalam Islam. Namun demikian, di dalam karyanya tersebut, Brooks masih sangat bias. Ketika ia menggambarkan jilbab misalnya, secara halus Brooks menggunakan apa yang disebut Zine sebagai “metaphorical violence”untuk mentrasnfer bias negatifnya tentang jilbab kepada pembaca.[11] Hal yang sama juga terjadi pada penulis lain yang disurvei Zine.
Bias feminisme Barat yang menghasilkan misrepresentasi sebagaimana disampaikan dalam tulisan sebelumnya (lihat: Misrepresentasi Muslimah dalam Wacana Feminis (1)), menimbulkan reaksi dari beberapa pemikir muslim untuk membangun feminisme dari sudut pandang Islam. Gerakan ini kemudian berkembang menjadi feminisme Islam. Badran Margot, salah satu sarjana yang banyak membahas feminisme Islam menggambarkan gerakan tersebut sebagai,
…a feminist discourse and practice that derives its understanding and mandate from the Qur’an, seeking rights and justice within the framework of gender equality for women and men in the totality of their existence. Islamic feminism explicates the idea of gender equality as part and parcel of the Qur’anic notion of equality of all insan (human beings) and calls for the implementation of gender equality in the state, civil institutions, and everyday life…[1]
Dari gambaran ini diperoleh kesan bahwa femnisisme Islam mengambil basisnya langsung dari al-Qur’an sebagai alternatif bagi feminisme Barat. Kedudukan feminisme Islam sebagai alternatif juga bisa dilihat di dalam sikap Fatima Mernissi sebagai salah satu tokoh feminis Islam terhadap feminisme Barat. Ia secara jelas mengecam misrepresentasi feminisme Barat terhadap Islam secara umum dan muslimah secara khusus. Bagi Mernissi, misrepresentasi Barat hanya menambah kompleksnya persoalan perempuan di dunia Islam serta memancing permusuhan dari mereka.[2]
Ironisnya meskipun Mernissi menyuarakan oposisi terhadap misrepresentasi feminisme Barat, el-Guindi menilainnya justru terjebak di dalam ideologi asal misrepresentasi yang dilawannya itu. Dalam persoalan harem misalnya, walaupun memakai sumber-sumber Arab, Mernissi tetap bersandar kepada ideologi Kristen-Eropa ketika menafsirkannya sehingga harem tereduksi menjadi sekedar persoalan gender dan seksualitas[3]
Mernissi bukanlah satu-satunya feminis Muslim yang terjebak di dalam ideologi Barat ketika hendak menafsirkan Islam. Studi yang dilakukan Khalif Muammar terhadap pemikiran-pemikiran beberapa tokoh feminis Islam menunjukan hal tersebut. Studi itu meliputi beberapa usaha feminis Islam untuk mencari legitimasi kesetaraan gender dengan cara merekonstruksi bangunan syari’ah, meninjau ulang beberapa persolan fikih perempuan, serta reinterpretasi beberapa ayat dan hadis yang dianggap misoginis.
Dari kritik epistemolisnya terhadap wacana feminis Islam tersebut, Khalif Muammar menyimpulkan bahwa lontaran ide-ide mereka sama sekali asing bagi Islam, mereka juga banyak keliru dalam memakai metodologi keilmuan Islam. Hal itu terjadi sebab mereka memang hanya mencari validitas di dalam teks keagamaan bagi pemikiran yang diusung. Sebuah pemikiran yang berangkat dari worldview sekuler Barat.[4] Beberapa feminis Muslim yang betul-betul terbaratkan seperti Nawal el-Sadawi, Irshad Manji, dan Taslima Nasrin bahkan menjadi sangat liar dalam mengkritisi Islam sebagai sebab ketimpangan gender. Kritik mereka telah menjadi varian dari Islamophobia, Muhamadul Hasan menyebutnya gendered Islamophobia. [5] Akibatnya, alih-alih mengatasi masalah yang ada, mereka justru lebih banyak membangkitkan kontroversi di tengah masyarakat Islam.
Akhirnya, sama seperti feminisme Barat, feminisme Islam pun terjebak di dalam mispreresentasi terhadap muslimah sehingga upaya pemberdayaan mereka justru kontraproduktif. Sachiko Murata telah mengingatkan bahwa kritik feminisme terhadap Islam memang berangkat dari suatu pandangan-dunia yang secara radikal asing bagi Islam sehingga alih-alih membangun ia justru berdampak buruk. Kritik tersebut disebarkan dengan semangat proselitisme khas Barat dan diterima oleh sebagian umat Islam yang telah kehilangan sentuhan dengan jagat intelektual dan spritualitas mereka sendiri.[6]
Apalagi kampanye feminisme tidak berhenti pada tataran teoritis saja, dengan mengendarai badan-badan internasional seperti UNDP, teori-teori kesetaraan yang dibangun di atas ideologi mereka diimpor ke seluruh dunia hingga ia menjadi arus utama dalam diskursus tentang perempuan dan sangat mempengaruhi kebijakan pemerintah di hampir semua negara di dunia Islam.[7] Maksud dari kampanye besar-besaran tersebut adalah untuk memberdayakan perempuan. Namun prinsip pemberdayaan mereka berasal dari akar ideologi yang asing bagi umat Islam. Padahal untuk pemberdayaan perempuan, umat seharusnya memulainya dari landasan agama mereka sendiri.
Sebagai bagian dari upaya membangkitkan peradaban Islam, perjuangan Muslimah haruslah didasarkan pada upaya mengkaji kembali khazanah keislaman secara kreatif dengan tidak keluar dari worldview Islam.[8] Agama ini telah memiliki konsepnya sendiri tentang perempuan. Mengadopsi mentah-mentah konsep dari peradaban lain, sebagaimana telah dijelaskan di atas justru menambah persoalan. Abu Sulayman menegaskan bahwa di dalam sejarah, umat Islam tidak pernah bisa maju ketika mereka mengadopsi pemikiran dari peradaban lain sebagai basis perjuangannya.[9]
Salah satu bentuk perjuangan muslimah saat ini adalah melawan hegemoni wacana feminisme tentang muslimah yang sarat misrepresentasi. Sebagaimana telah dipaparkan, pengetahuan tentang muslimah yang diproduksi orientalis kolonial dan diwarisi feminisme Barat telah mengaburkan identitas muslimah. Wacana feminis poskolonial yang dibangkitkan perempuan-perempuan dari negara-negara bekas jajahan tidak bisa betul-betul mengakomodir sebab basis mereka umumnya adalah ras atau nasionalitas.[10]
Feminisme Islam pun tidak bisa diharapkan sebab mereka juga pada kenyataannya telah terbaratkan. Olehnya, perjuangan muslimah tidak terbatas pada kajian terhadap khazanah keislaman atau peningkatan kualitas hidup mereka. Lebih dari itu, muslimah memiliki kewajiban untuk membersihkan sisa-sisa misrepresentasi kolonialistik yang hingga kini menutupi hakikat perempuan dalam Islam dan kerap berujung pada kesalahpahaman. Jasmin Zine menyebut usaha tersebut “writing ourselves”[11], muslimah harus menuliskan tentang diri mereka sendiri untuk mencipta kontra-narasi bagi misrepresentasi feminisme.
Penulis: Ustadz Ayub
Conten Production by The Center for Gender Studies (CGS)
Catatan Kaki:
[1] Sara Mills, “Teori Feminis Poskolonial” dalam Stevi Jackson dan Jackie Jones, Teori-Teori Feminis Kontemporer, (Yogyakarta : Jalasutra, 2009), hal. 169.
[2] Said menunjukan bahwa citra tentang Timur di dalam imajinasi kolektif Barat bisa dilacak dari karya-karya sastra pada masa konflik Yunani-Persia hingga laporan-laporan dan kerja intelektual tentang Islam. Mereka membuat garis imajiner yang tegas antara dua benua, dimana Timur digambarkan eksotis menggoda tapi sekaligus meneror, lalu menjadi yang kalah dan terbelakang, lihat Edward Said, Orientalism, (London : Penguin, 1977), hal 56 – 97.
[3] Chandra Talpade Mohanty, Feminism Without Borders ; Decolonizing Theory, Practicing Solidarity, (Durham & London : Duke University Press, 2003), hal 22
[4] Ibid, 18.
[5] Seorang guru besar sastra kelahiran Damaskus yang kini tinggal di Amerika.
[6] Mohja Kahf, Western Representations of the Muslim Woman: From Termagant to Odalisque, (Austin : University of Texas Press, 2010), hal 2
[7] Gambaran tersebut bahkan dipertegas dengan menerbitkan serangkaian kartu pos yang menampilkan muslimah berjilbab tapi digambarkan seksi, menampakan payudara dan senyum sensual, lihat,. Malek Alloula, The Colonial Harem, (Mennapolis : University of Minnesota Press, 1986), hal 105 – 106.
[8] Mohammed Azaouibaa, The Representation of Muslims in Western Documentaries, (Fes : Sidi Mohamed Ben Abdellah University, 2013), hal 29.
[9] Fedwa el-Guindi, Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan, (Jakarta : Serambi, 2003), hal 57
[10] Mihret, Woldesemait,. Unfolding the Modern Hijab: From the Colonial Veil to Pious Fashion.Diss. (Trinity College, 2013), hal 25.
[11] Jasmin, Zine. “Muslim Women And The Politics Of Representation.” American Journal of Islamic Social Sciences 19.4 (2002), hal 11.