“Boleh dikatakan bahwa Pedoman Masyarakat lah yang telah banyak menghubungkan kami.” – Hamka
Saat Buya Hamka mendapatkan kesempatan memimpin Majalah “Pedoman Masyarakat” di Medan, maka ketika itu pula nama Hamka mulai dikenal dan bertemu pemikiran dengan kalangan luas. Jika sebelumnya Hamka pernah memimpin beberapa majalah sendiri yang tidak berjalan lama, “Khatibuh Ummah” (1925) hanya tiga keluaran, “Kemauan Zaman” (1929) lima keluaran, “al Mahdi” di Makassar (1939) hanya Sembilan keluaran, yang akhirnya tutup sebab kekurangan modal dan mendapat beberapa permasalahan.
Namun melalui Pedoman Masyakat (1936-1942) karir kepengarangan dan pemikiran Hamka mencapai puncak keberhasilan dan popularitasnya, dengan oplah majalah Pedoman Masyarakat hingga 4000 eksemplar, melebihi Majalah Panji Pustaka yang dikeluarkan Balai Pustaka pada saat itu, pada pembaca yang tersebar di seluruh Indonesia, hingga di Singapura dan Malaysia.
Banyak pembaca yang mengenal buah pemikiran Hamka melaui pelajaran agama, falsafah, politik, hikayat, tasawuf hingga sejarah yang beliau tuliskan secara berkala di Pedoman Masyarakat yang diwarnai dan dipimpinnya.
Saat Soekarno dipindahkan dari pengasingannya di Endeh ke Bengkulu, Hamka mengirimkannya Pedoman Masyarakat setiap kali terbit, sehingga mulai terjadi hubungan pemikiran yang mesra dan bersahabat hingga beliau menjadi Presiden. Namun kemudian kian lama kian terpisah, kian jauh jarak dan pemikiran pemerintahannya, sampai akhirnya Hamka dibenamkan dalam kepemimpinannya di masa Orde Lama dua tahun empat bulan lamanya, oleh seorang Ir. Soekarno yang juga pernah mendaulat dirinya sebagai anak angkat dari ayah Hamka, seorang ulama besar yang ia kaguminya.
Hamka kemudian berkomentar dalam autobiografinya Kenang-Kenangan Hidup, “Namun saya tidak lupa, bahwa Pedoman Masyarakat lah yang mempertemukan kami”
Ketika Mohammad Hatta telah dipindahkan pula dari tempat pengasingannya di Digul ke Banda Neira, buku “Tasauf Modern” yang pernah dimuat berturut-turut selama setahun lebih di Pedoman Masyarakat, juga Hamka kirimkan kepada beliau. Sehingga Mohammad Hatta pun mengirimkan surat apresiasi dan ucapan terima kasih kepada Hamka. Sejak saat itu mulai tumbuh hubungan batin antara Bung Hatta dan Hamka. Hingga kelak ia dipertemukan dalam momen-momen besar negara.
Pada saat Hamka ke Jawa, beliau mengunjungi Haji Agus Salim yang tinggal di Jalan Karet, tidak begitu jauh dari Masjid Jami Tanah Abang. Haji Agus Salim bercerita tentang falsafah, agama, politik, tasawuf dan lainnya dengan mendalam, yang selalu membuat Hamka suka dan tidak pernah bosan. Haji Agus Salim menyebutkan bahwa ia senang membaca dan memperhatikan Pedoman Masyakat. Beliau juga mampu mengarang dan bersedia jika diminta oleh Hamka.
Hamka berujar “Karangan beliau, gaya bahasa, pilihan kalimat, sangatlah indah. Beliau adalah ahli politik sastrawan. Sampai beliau meninggal saya merasa bahwa beliau adalah salah seorang diantara tempat saya berhutang budi”.
Tidak hanya kesan baik dan sanjungan yang didapatkan oleh Hamka melalui tulisan-tulisan dan Pedoman Masyarakat yang diilhaminya. Tuan A. Hassan di Bandung, yang kemudian lebih dikenal dengan Tuan A. Hassan Bangil, menyerang Hamka habis-habisan melalui tulisannya, karena mengeluarkan pendapat yang berbeda dari pandangan dan pemahaman agamanya.
Hingga beliau mengeluarkan Majalah al-Lisan satu keluaran khusus yang diberi nama “Keluaran Hamka” yang didalamnya Tuan A. Hassan meluapkan segala caci dan penghinaan, ejek dan tudingan, sehingga Hamka mengatakan “Kalau jiwa tidak kuat bisa menghancurkan mental”. Sampai masa Indonesia merdeka pun beliau masih mengeluarkan majalah semisal yang menghantam setiap orang yang beliau anggap bersebrangan dari kebenaran menurut keyakinannya.
Namun berbeda dengan murid A. Hassan, yakni Mohammad Natsir dan Mohammad Isa Anshari, mereka berdua tidak terbawa dengan perseteruan gurunya tersebut kepada Hamka. Justru kedua tokoh muda ini menjadi sahabat karib dan teman seperjuangan Hamka dalam politik, kenegaraan dan banyak hal lainnya, hingga akhir masa hidup mereka. Mohammad Natsir banyak berdialog pemikiran dan saling menyanjung bersama Hamka dalam tulisan-tulisannya, serta bergandengan tangan membawa Masyumi, partai politik Islam yang istiqomah dalam membimbing negara.
Hamka kemudian kembali menyebutkan, bahwa awal persahabatan itu “Boleh dikatakan bahwa Pedoman Masyarakat lah yang telah banyak menghubungkan kami.”
Pertemuan Hamka dengan banyak tokoh-tokoh nasional hingga masyarakat di pelosok desa, juga banyak yang dimulai dan terjadi melalui komunikasi pemikiran Hamka pada tulisan-tulisannya. Tidak hanya yang setuju dan memujinya, namun yang bersilang pendapat dan mengunjingnya pun tidak sedikit yang tetap konsisten dan tertarik untuk membaca dan saling mengenal pandangan-pandangan Hamka dalam berbagai persoalan agama dan bangsa yang dituliskannya.
Banyak dari pertemuan pemikiran ini yang tidak terputus, hingga akhirnya terajut dalam persahabatan dan interaksi sesungguhnya pada pertemuan empat mata. Serta yang tetap mengenal kehebatan dan kebaikannya dalam lembaran pemikiran yang ditinggalkan, dan keteladanan yang terwariskannya, meski jasad mereka telah terkubur usia.
Daftar Pustaka:
- Hamka, Kenang-Kenangan Hidup Jilid III, Jakarta: Bulan Bintang, 1974
- Hamka, Kenang-Kenangan Hidup, Jakarta, Gema Insani, 2018.
***********
Penulis: Bambang Galih Setiawan
(Alumni Ma’had Aly Imam al Ghazally Surakarta)
Conten Production by Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)