Cinta adalah bagaimana hati senantiasa terpaut, saling berbagi kasih hingga sampai pada tahap rela berkorban segalanya untuk sesuatu yang dicintai. Sebab, itulah konsekuensi cinta yang bukan sekedar di hati saja, bukan pula sekedar di lisan semata tapi bukti nyata yang mampu mengukur seberapa besar cinta tersebut.
Sebagai sang pemilik cinta, maka tak mengherankan jika dikatakan bahwa tingkatan cinta tertinggi adalah mencintai-Nya. Sebab, diantara banyaknya cinta dalam kehidupan ini, cinta-Nyalah yang paling besar dibandingkan yang lainnya.
Benar, bukan lagi sesuatu yang perlu diperselisihkan. Bahkan cinta-Nya melebihi cinta seorang sahabat ke sahabatnya, seorang guru ke muridnya atau sebaliknya, seorang anak ke ibunya pun sebaliknya dan seorang istri ke suaminya demikian juga sebaliknya.
Ingatlah setiap nikmat yang Allah anugerahkan kepada diri kita hingga saat ini. Dia telah melipatkan nikmat-Nya dari ujung rambut hingga ke bawah kedua telapak kaki. Mungkin jika cinta manusia masih bisa diukur dengan perhitungan manusia, berbeda dengan cinta Allah sendiri kepada semua hamba-Nya yang tidak akan mampu dicapai dan dinominalkan jumlahnya oleh alat hitung manusia. Sebagaimana firman-Nya sebagai berikut,
وَاٰتٰىكُمْ مِّنْ كُلِّ مَا سَاَلْتُمُوْهُۗ وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَاۗ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَظَلُوْمٌ كَفَّارٌ
“Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34)
Sebagian kecil misalnya kesehatan badan, keamanan negara, sandang pangan, udara dan air, semuanya tersedia dalam hidup kita. Namun begitulah, kita memiliki dunia, tetapi tidak pernah menyadarinya. Kita menguasai kehidupan, tetapi tak pernah mengetahuinya.
اَلَمْ تَرَوْا اَنَّ اللّٰهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ وَاَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهٗ ظَاهِرَةً وَّبَاطِنَةً ۗوَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُّجَادِلُ فِى اللّٰهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَّلَا هُدًى وَّلَا كِتٰبٍ مُّنِيْرٍ
Terjemahnya: “Tidakkah kamu memperhatikan bahwa Allah telah menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untuk (kepentingan)mu dan menyempurnakan nikmat-Nya untukmu lahir dan batin. Tetapi di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.” (QS. Luqman: 20)
Kita memiliki dua mata, satu lidah, dua bibir. dua tangan dan dua kaki dan masing-masing semuanya berfungsi dengan baik. Pernahkah kita merenungi dan menyukuri semua itu? Jika satu persatu hilang dari kita, pernahkah kita memikirkan hal tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ
“Maka nkmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakarn?” (QS. Ar-Rahman: 13)
Apakah selama ini kita mengira bahwa, berjalan dengan kedua kaki itu sesuatu yang sepele, sedang kaki seringkali menjadi bengkak bila digunakan jalan terus menerus tiada henti? Apakah Anda mengira bahwa berdiri tegak di atas kedua betis itu sesuatu yang mudah, sedang keduanya bisa saja tidak kuat dan suatu ketika patah?
Jika bukan karena cinta, lantas karena apa semua nikmat ini? betapa hinanya diri kita manakala tertidur lelap, ketika sanak saudara di sekitar kita masih banyak yang tidak bisa tidur karena sakit yang mengganggunya. Pernahkah kita merasa peduli manakala dapat menyantap makanan lezat dan minuman dingin saat masih banyak orang di sekitar Anda yang tidak bisa makan dan minum karena sakit?
Coba pikirkan, betapa besarnya fungsi pendengaran, yang dengannya Allah menjauhkan kita dari ketulian. Coba renungkan dan raba kembali mata kita yang tidak butasaat ini. Ingatlah kembali dengan kulit kita yang terbebas dari penyakit lepra dan supak. Dan renungkan sekali lagi betapa dahsyatnya fungsi otak yang selalu sehat dan terhindar dari kegilaan yang menghinakan.
Adakah terlintas sedikit saja di pikiran kita ingin menukar mata kita dengan emas sebesar gunung Uhud, atau menjual pendengaran kita seharga perak satu bukit? Apakah kita mau membeli istana-istana yang menjulang tinggi dengan lidah hingga kita menjadi bisu kaarenanya? Mauka pula kita menukar kedua tangan ini dengan untaian mutiara, sementara pada akhirnya tangan kita menjadi buntung?
Begitulah, sebenarnya saat ini kita berada dalam kenikmatan tiada tara dan kesempurnaan tubuh, tetapi hanya saja kita tidak menyadarinya. Selalu saja kita merasa resah, suntuk, sedih, dan gelisash, meskipun masih mempunyai nasi hangat untuk disantap, air segar untuk diteguk, waktu yang tenang untuk tidur pulas, dan kesehatan untuk terus berbuat.
Sering sekali kita menggiring jiwa untuk memikirkan sesuatu yang tidak ada, schingga jiwa inipun lupa mensyukuri yang sudah ada. Pada akhirnya, jiwa mudah terguncang hanya karena kerugian materi yang mendera. Padahal, sesungguhnya kita masih memegang kunci kebahagiaan, memiliki jembatan pengantar kebahagian, karunia, kenikmatan, dan lain sebagainya. Maka jika bukan karena cinta, lantas apa? syukurilah!
وَفِيْٓ اَنْفُسِكُمْ ۗ اَفَلَا تُبْصِرُوْنَ
“Dan, pada dirimu sendiri. Maka, apakah kamu tidak memperhatikan.” (QS. Adz-Dzariyat: 21)
Syukurilah apa yang ada pada diri, keluarga, rumah, pekerjaan, kesehatan, dan apa saja yang tersedia di sekeliling kita saat ini. Dan janganlah termasuk golongan orang-orang yang kufur, ingkar, enggan untuk menghitung-hitung nikmat Allah yang begitu besar yang diberikan kepada diri ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَعْرِفُوْنَ نِعْمَتَ اللّٰهِ ثُمَّ يُنْكِرُوْنَهَا وَاَكْثَرُهُمُ الْكٰفِرُوْنَ
“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang yang ingkar kepada Allah.” (QS. An-Nahl: 83)
Perkara kesulitan sendiri, tidak lain manjain satu diantara bnyaknya bukti cinta Allah kepada haba-hambaNya. Sebagaimana dalam kehidupan ini setelah lapar ada kenyang, setelah haus ada kepuasan. setelah begadang ada tidur pulas, dan setelah sakit ada kesembuban. Setiap yang hilang pasti ketemu, dalam kesesatan akan datang petunjuk, dalam kesulitan ada kemudalhan, dan setiap kegelapan akan terang benderang.
….فَعَسَى اللّٰهُ اَنْ يَّأْتِيَ بِالْفَتْحِ
“Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasud-Nya) atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya.” (QS. Al-Maidah: 52)
Sampaikan kabar gembira kepada malam hari bahwa sang fajar pasti datang mengusirnya dari puncak-puncak gunung dan dasar-dasar lembah. Kabarkan juga kepada orang yang dilanda kesusahan bahwa, pertolongan akan datang secepat kelebatan cahaya dan kedipan mata. Kabarkan juga kepada orang yang ditindas bahwa kelembutan dan dekapan hangat akan segera tiba. Bukankah ini adalah sebuah kabar gembira dari-Nya?
Saat kita melihat hamparan padang pasir layaknya sahara yang seolah memanjang tanpa batas, ketahuilah bahwa di balik kejauhan itu terdapat kebun yang rimbun penuh hijau dedaunan. Juga ketika kita melihat seutas tali meregang kencang, ketahuilah bahwa, tali itu akan segera putus. Setiap tangisan akan berujung dengan senyuman, ketakutan akan berakhir dengan rasa aman, dan kegelisahan akan sirna oleh kedamaian.
Contoh nyata pda kisah Nabi Ibrahim Alaihi Salam. Ketika kobaran api tidak mampu membakar tubuhnha. Dan itu, karena pertolongan Allah, sebagaimana dalam firman-Nya,
قُلْنَا يٰنَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَّسَلٰمًا عَلٰٓى اِبْرٰهِيْمَ ۙ
“Hai api menjadi dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi lbrahim” (QS. Al-Anbiya’: 69)
Ketika lautan luas tak kuasa menenggelamkan Nabi Musa Alaihi Salam bersama kaumnya. Itu, tak lain karena kasih sayang Allah kepada hamba-Nya,
قَالَ كَلَّا ۗاِنَّ مَعِيَ رَبِّيْ سَيَهْدِيْنِ
“Dia (Musa) menjawab, “Sekali-kali tidak akan (tersusul); sesungguhnya Tuhanku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. Asy Syu’ara : 62)
Kisah berbeda, namun bentuk cinta yang sama, ketika bersembunyi dari kejaran kaum kafir dalam sebuah gua, Nabi Muhammad Shallallahu’Alaihi wa Sallam yang ma’shum mengabarkan kepada Abu Bakar bahwa Allah Yang Maha pengasih dan Maha Tinggi ada bersama mereka. Sehingga, rasa aman, tenteram dan tenang pun datang menyelimuti Abu Bakar.
Mereka yang terpaku pada waktu yang terbatas dan pada kondisi yang (mungkin) sangat kelam, umumnya hanya akan merasakan kesusahan, kesengsaraan, dan keputusasaan dalam hidup mereka. Itu, karena mereka hanya menatap dinding-dinding kamar dan pintu-pintu rumah mereka. Padahal, mereka seharusnya menembuskan pandangan sampai ke belakang tabir dan berpikir lebih jauh tentang hal-hal yang berada di luar pagar rumahnya.
Maka dari itu, jangan pernah merasa terhimpit sejengkalpun, karena setiap keadaan pasti berubah dan yakinlah selalu akan kekuatan cinta dari-Nya. Dan sebaik-baik bukti cinta kita kepada-Nya adalah menanti kemudahan dengan sabar. Betapapun, hari demi hari akan terus bergulir, tahun demi tahun akan selalu berganti, malam demi malam pun datang silih berganti. Meski demikian, yang gaib akan tetap tersembunyi, dan Sang pemilik cinta akan senantiasa pada keadaan dan segala sifat-Nya. Dan Allah akan menciptakan sesuatu yang baru setelah itu semua. Itulah salah satu bukti cinta-Nya, bersama kesulitan ada kemudahan, bersama kesabaran ada kebahagiaan, serta bersama rasa syukur ada ketenangan.
***********
Penulis: Wahyuni Subhan
(Mahasiswa Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Pengurus Mujahid Dakwah Media)
Demikian Semoga Bermanfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel : www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)