Suatu ketika, tatkala sedang mengkaji materi sosiologi bersama kawan-kawan yang hendak mengikuti ujian paket C, saya menemukan satu soal yang cukup menggelitik. intinya, soal itu membicarakan tentang satu gambaran dari status sosial sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Sang ayah digambarkan sebagai seorang petani. Si ibu sebagai pedagang sayur keliling, dan si anak sebagai dokter.
Perintahnya ialah supaya kami menjawab mobilitas sosial apa yang dimaksud dari konteks itu. Dan ternyata, menurut buku yang sedang kami kaji ini, jawaban berpihak pada huruf C, yakni “antargenerasi naik”.
Intinya, yang dimaksud dengan “antargenerasi naik” ialah satu kondisi di mana generasi si anak (sebagai penerus orang tuanya), dianggap lebih lebih maju, baik, sejahtera, dan mulia ketimbang generasi orang tuanya. Tolak ukurnya, adalah status sosial si anak sebagai dokter. Yang dianggap lebih elite, bergengsi, dan banyak menghasilkan materi duniawi.
Begitulah ilmu sosiologi memandang maju-mundur dan tinggi-rendahnya martabat manusia. Sebab, memang kami diberitahu oleh guru kami, bahwa ilmu sosiologi datang dari Barat, sehingga membuat agama tidak diikutsertakan.
Dampaknya, adalah seperti yang ada pada soal itu. Merumuskan satu kesimpulan berdasarkan akal manusia dan realitas semata, bahwa orang yang sejahtera dan mulia itu adalah yang status sosialnya tinggi dan bisa menghasilkan banyak harta.
Bahkan tidak hanya itu yang menjadi problem. Kajian-kajian semacam teori Darwin, atau teori kebutuhan manusia (sandang, pangan, dan papan), dan kriteria kemajuan suatu bangsa yang diajarkan di sekolah-sekolah pun juga mesti dipermasalahkan lagi.
Teori Darwin kemungkinan besar akan menyamakan insan dengan monyet yang hidupnya hanya untuk survive, cari kerja supaya bisa makan dan memuaskan syahwat. Bukan untuk melanjutkan perjuangan Nabi Adam melawan Iblis, para Nabi menegakkan kalimat tauhid, dan para ulama memperjuangkan Islam dan menjaga keutuhan NKRI.
Teori kebutuhan primer manusia hanya memperkuat kesamaan antara kebutuhan manusia dengan kera, yakni sebatas materi: makan, pakaian, dan tempat tinggal. Sementara dzikir, do’a, dan ibadah, tak pernah terpikirkan bahkan tidak terlaksanakan, karena tidak dianggap sebagai kebutuhan primer.
Itulah mengapa tidak aneh jika banyak orang pintar, kaya, elok wajahnya, populer, dan menyandang singgasana kekuasaan, harus berakhir di jeruji besi karena korupsi ataupun narkoba. Jasad mereka mungkin tercukupi bahkan kelebihan “muatan”, tapi batinnya sedang mengalami tragedi mengenaskan luar biasa.
Mungkin mereka lupa bahwa manusia terdiri atas jasad dan jiwa. Mungkin mereka tidak tahu bahwa dengan banyak berdzikir kepadaNya, hati menjadi tenang, tenteram dan tidak hampa (QS. 13: 28). Mungkin mereka tidak insaf akan pesan dari lagu “Indonesia Raya” untuk membangun jiwa terlebih dahulu, setelah itu baru badannya.
Adapun kajian terkait kriteria negara maju yang diajarkan di sekolah-sekolah akan mengarahkan para murid berpikir materialis. Akan selalu bersemayam dalam pikiran mereka bahwa yang namanya maju itu adalah seperti Amerika, Jepang, Finlandia, dll, yang bersih, disiplin, pendapatan per kapitanya tinggi, dan budaya arsitekturalnya yang megah.
Sementara itu, negara Madinah di masa Nabi tak pernah mereka anggap sebagai negara maju, dengan kriteria ketaqwaan, akhlak mulia, minimnya polusi moral, dan menjamurnya manusia baik. Bukankah kriteria negara Nabi sangat kontras dengan semua negara maju anggapan mereka?
Menurut Dr. Adian Husaini, maju itu kalau kita semakin dekat kepada Allah. Tidak seperti peradaban Barat yang tidak pernah bisa maju. Sebab, mereka selalu mendekonstruksi tujuan mereka, sehingga selalu berubah, Akibatnya, mereka tidak pernah sampai pada tujuan sebenarnya dari manusia.
Akibatnya hakikat diri insan (fitrah) dia tidak pernah bisa terpenuhi, sehingga hidupnya penuh dengan tragedi. Bukan pada jasad yang penuh darah, tapi pada jiwa yang tak pernah tenang, tenteram, dan terpuaskan. Kalaupun terpuaskan dengan alkohol, zina, dan menari-nari di atas panggung, yakinlah bahwa itu semua hanya kepuasan yang semu.
Intinya, kajian-kajian semacam itu hanya akan memperkuat orientasi yang sifatnya materialistis dan pragmatis dalam pikiran setiap murid. Sehingga, yang penting bagi mereka adalah bagaimana setiap institusi pendidikan yang mereka jalani, bisa membawa mereka pada banyaknya harta, tingginya status sosial, ketenaran dan popularitas, serta gengsi yang menjulang tinggi.
Padahal menurut Allah, kemuliaan seseorang itu berdasarkan ketaqwaan. Yang ukurannya adalah seberapa besar hati dan fisik taat kepada-Nya. Taat batin dengan menghilangkan segala penyakit hati (serta menumbuhkan segala hal yang bisa menghidupkan hati) dan taat zahir dengan melaksanakan perintah dan larangan Allah yang bersifat zahir
Adapun menurut Nabi, mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan menurutnya juga, sebaik-baik manusia adalah yang paling baik akhlaknya dan bermanfaat bagi orang lain. Sebab, Nabi sadar bahwa setiap manusia itu mempunyai kapasitas nya masing-masing layaknya barang tambang. Maka, yang terpenting baginya, adalah bagaimana seseorang itu bisa menjadi baik dan bermanfaat dengan apapun yang dimiliki, didapat, dan dipunya. Jadi lagi-lagi yang dinilai kebaikan akhlak dan kebermanfaatannya, bukan statusnya sosialnya.
Konstitusi pun juga ikut angkat bicara. Tepatnya pasal 31 ayat 3, dinyatakan secara tekstual: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia. Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.” lagi-lagi, ilmu-ilmu yang di dalamnya bersarang paham materialisme, secara tidak langsung dikecam oleh konstitusi.
Sejalan dengan Allah, Nabi Muhammad, dan konstitusi, Syed Muhammad Naquib al-Attas juga menyatakan hal yang serupa bahkan lebih tegas dan jelas. Dalam Islam and Secularism-nya, ia menyatakan:
“The purpose for seeking knowledge is to inculcate goodness or justice in man as man and individual self. The aim of educationin Islam is therefofore to produce a good man…the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab…”. Jadi baginya, penanaman nilai atau yang ia sebut sebagai ta’dib, merupakan tujuan utama dalam pendidikan yang tidak bisa tidak diterapkan.
Lagipula dalam Islam, tujuan utama manusia hidup di dunia adalah ibadah dan dakwah. Maka yang terpenting bagi Islam, adalah seberapa mampu seseorang menjalani profesinya sebagai ibadah dan ladang berdakwah. Begitulah Islam memandang kemuliaan seseorang.
Maka dari itu status sosial bukan tujuan utama, bukan segala-galanya, bukan pula tolak ukur kemuliaan manusia. Apa gunanya ketinggian serta keelokan status sosial, namun ia hanya menjadi “a new barbarian” yang senang berbuat kerusakan di muka bumi? Apakah orang seperti itu bisa dikatakan baik dan pantas untuk dimuliakan?
Maka, sudah semestinya, kebaikan, kamajuan, kesejahteraan, dan ketinggian nilai dan martabat manusia tidak diukur dari ketinggian status sosial dan penghasilannya. Melainkan dari segi ketaqwaan, kebaikan, dan kebermanfaatannya. Tidak lupa tujuan ibadah dan usaha dakwah yang dilakukannya lewat profesi yang sedang ia tekuni.
Guru saya, Dr. Muhammad Ardiansyah pernah berkata, “Setelah mendapat pendidikan, yang penting itu bukan profesi apa yang dijalaninya Yang penting itu apa yang ia lakukan dengan profesinya itu. Ingatlah, profesi petugas sampah jauh lebih mulia daripada pejabat tinggi yang korupsi.” Sejalan dengannya, Cak Lontong pun pernah berujar, “Nanti pada akhirnya bukan tentang siapa kita, tapi apa yang sudah kita perbuat.”
Maka jelaslah, pendidikan yang hakiki itu adalah yang mengutamakan penanaman nilai demi melahirkan manusia-manusia beradab (insan adabi). Bukan berarti tujuan duniawi itu tidak penting, tapi hanya berusaha memprioritaskan yang memang pantas untuk prioritas.
Sudah saatnya ta’dib digalakkan di setiap institusi pendidikan. Baik secara langsung, maupun lewat ilmu-ilmu yang hendak diajarkan. Mulai dari ilmu sosial yang tidak melupakan aspek batin manusia, ilmu sains yang selalu mengaitkan alam semesta (fisik) dan metafisik, sampai ilmu sejarah yang mengedepankan peran Islam dan para ulama serta pahlawannya di Nusantara. Itulah mengapa, menurut al-Attas, penanaman adab tidak bisa dipisahkan dari islamisasi ilmu pengetahuan, sebagaimana yang selalu digaungkannya itu.
Ingatlah, Dengan adab, setiap insan akan mampu mendisiplinkan pikiran, jiwa, dan raganya dalam memandang, meletakkan, dan memposisikan segala sesuatu (termasuk dirinya sendiri, Tuhan, dan ilmu) pada tempat atau posisi yang benar dan tepat, sesuai kehendak Allah.
Jika dikaitkan dengan zaman sekarang, penanaman adab berupa nilai-nilai atau yang sekarang dikenal sebagai soft skill, akan memberikan dampak positif bagi setiap orang berupa:
(1) Mendapat kemudahan dalam memperoleh ilmu yang sifatnya hard skill sekaligus melahirkan para pembelajar yang siap mengaum di era disrupsi.
(2) Membentuk manusia-manusia yang siap berjuang dan berdakwah dengan berapapun ilmu yang dipunya.
(3) Mencetak para good man atau sumber daya manusia unggul yang senantiasa menjadi orang yang baik dan bermanfaat di tengah umat, bukan mereka yang senang berbuat kerusakan di muka bumi dengan ilmu-ilmunya itu.
(4) Lebih mudah diterima kehadirannya di tengah-tengah masyarakat.
************
Penulis: Fatih Madini
(Mahasiswa STID Mohammad Natsir, Penulis Buku dan Kontributor mujahiddakwah.com)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)