Beberapa teman bertanya pada saya, lebaran idul adha ini kamu laksanakan pada tanggal berapa? Saya jawab, lebaran saya tahun ini bersama dengan penduduk negeri sesuai ketetapan pemerintah. Hal ini karena beberapa alasan:
Imam Nawawi rahimahullah membuat satu bab dalam Syarh Sahih Muslim yang berjudul :
باب أن لكل بلد رؤيتهم وانهم إذا رأوا الهلال ببلد لا يثبت حكمه لما بعد عنهم
“Bab penjelasan bahwa setiap negara bersandar pada hasil ru’yah mereka sendiri dan bahwasanya jika orang-orang melihat hilal di satu negri maka hukumnya tidak sah bagi yang jauh dari mereka”. (Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, Tahqiq Hani al-Haj dan Imad Zaki al-Barudi, Juz 7, hal 148, Penerbit Daar at-Taufiqiyah litturats-Kairo, Tanpa Cetakan, Tanpa Tahun)
Pemberian judul ini di dasari oleh hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim, bahwasanya Kuraib diperintahkan oleh Ummu al-Fadhl bintu al-Harits untuk menemui Mu’awiyah karena satu keperluan di Syam. Sesampainya di Syam, ia melihat hilal Ramadhan pada malam Jum’at. Ketika kembali ke Madinah, ia bertemu dengan Abdulah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu dan menyampaikan bahwa penduduk Madinah melihat hilal Ramadhan pada malam Sabtu. Kuraibpun bertanya, tidakkah berpuasa sesuai dengan hasil rukyat penduduk Syam dan hasil rukyat Mu’awiyah? Beliau berkata, tidak boleh. Begitulah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan. Lihat riwayat imam Muslim no. 1084
Hadits ini secara tegas menjelaskan bahwa setiap wilayah bersandar pada hasil rukyatnya masing-masing. Ini adalah kemudahan dari Allah, karena zaman dahulu teknologi komunikasi tidak secanggih hari ini, sehingga penetapan ibadah bukan berdasarkan tempat, tapi berdasarkan hilal, khususnya hilal di wilayah masing-masing.
Allah Azza wajalla berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.” (QS. Al-Baqarah: 189)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika ditanya tentang penduduk Madinah yang mana sebagian mereka melihat hilal Dzulhijjah namun persaksian mereka dianggap tidak sah oleh pemerintah kota Madinah, apakah mereka akan berpuasa sesuai tanggal yang zahirnya tanggal 9 walaupun secara batinnya itu adalah tanggal 10 (hari raya)?.
Beliau menjawab: “Ya, mereka tetap berpuasa pada hari ke 9 yang makruf dalam jama’ah (ketetapan pemerintah-pent). Walaupun diwaktu yang sama itu adalah hari ke 10 Dzulhijjah sebab dalam Sunnah disebutkan, berpuasalah pada hari kalian berpuasa, berhari raya idul Fitri lah di hari kalian ber-idul Fitri, dan ber-idul kurbanlah di hari kalian ber-idul kurban….
Sekiranya saja manusia wukuf di Arafah pada tanggal 10 Dzulhijjah karena kesalahan, maka itu sah sesuai kesepakatan. Karena hari itu adalah hari Arafah dalam hak mereka (sesuai hilal mereka). Sekiranya mereka juga wukuf pada tanggal 8 maka pada keabsahannya terdapat khilaf, namun yang benar juga sah. Ini adalah salah satu pendapat Mazhab Malik dan Ahmad.
Aisyah Radhiyallahu’anha berkata, “Sesungguhnya Arafah adalah hari yang diketahui oleh manusia, dasar dari itu semua adalah Allah mengaitkan hukumnya berdasarkan pada hilal dan bulan sesuai firman Allah yang artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.” (QS. Al-Baqarah: 189).” (Ibnu Taimiyah, Majmu’at al-Fatawa, Tahqiq Farid Abdul Aziz al-Jundiy dan Asyraf Jalal asy-Syarqawi Jilid 13, hal 103, Penerbit Daarul hadits-Kairo, Tanpa cetakan, tahun 1435 H)
Pernyataan Ibnu Taimiyah rahimahullah ini juga kemudian dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah dalam bukunya yang berjudul Ahkam al-Ikhtilaf Fii Rukyati Hilal Dzilhijjah (Hukum-Hukum Perbedaan Pendapat Pada Masalah Rukyat Hilal Dzilhijjah). Beliau menegaskan bahwa alasan Ibnu Taimiyah yaitu dalam pemahaman rakyat negri itu bukan tanggal 10 melainkan tanggal 9 Dzilhijjah, sesuai hilal mereka. Sehingga puasanya tanggal 9 versi mereka boleh dan tidak ada perbedaan pendapat ulama dalam hal ini. Lihat, Ibnu Rajab al-Hambali, Ahkam al-Ikhtilaf Fii Rukyati Hilal Dzilhijjah, Tahqiq Abdullah bin Abdul Aziz al-Jibrin, halaman 23, pdf.
Ringkasnya bahwa dasar penetapan ibadah kurban dan puasa tanggal 9 Dzulhijjah adalah rukyat dari setiap wilayah atau masing-masing negri. Hilal menjadi patokannya, bukan tempat. Sehingga walaupun terjadi perbedaan hari antara Indonesia dan Arab Saudi, selama tanggal sama sesuai ketepan masing-masing negri, maka tanggal itu yang diikuti.
Kesimpulannya adalah, lebaran berdasar pada ketetapan hilal penduduk negeri, maka itu adalah petunjuk Nabi Shallalllahu’alaihi wasallam.
Ini sedikit yang bisa kmi tulis atas permintaan teman-teman Facebook untuk menjelaskan alasan saya, satu tulisan singkat yang ditulis dalam masa istrahat setelah seharian bekerja berdagang kambing kurban. Moga bisa dipahami bersama.
***********
Penulis: Muhammad Ode Wahyu al-Munawy, SH.
(Pembina Pondok Pesantren Tahfizhul Qur’am an-Nail, Alumni Jurusan Syariah Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum Islam STIBA Makassar dan Kontributor mujahiddakwah.com)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)