Cara pertama datang dari seorang ulama bernama Abu Yusuf. Suatu ketika ia pernah ditanya: “Bagaimana anda bisa memperoleh ilmu?” Ia pun menjawab: “Aku tidak pernah bosan mengambil manfaat dan tidak pernah pelit untuk menyebarkannya.”
Pada hakikatnya, “Hikmah (ilmu) itu adalah barang mukmin yang hilang. Dimana ia menemukannya, ia akan mengambilnya (tanpa pikir panjang),” sabda Nabi. Dan hikmah itu bisa datang dari mana, siapa dan kapan saja.
Sebagaimana kisah Imam al-Ghazali yang disindir: “Bagaimana engkau bisa mengaku berilmu sedangkan kami telah merampas semua ilmumu (baca: catatan), sehingga engkau tidak lagi mempunyai ilmu?” oleh seorang perampok karena tidak menghafal ilmu-ilmu yang telah dicatatnya.
Maka kemudian kita punya prinsip: (1) Jangan bosan mengambil manfaat dari mana dan siapapun. (2) Ambil yang baik, tinggalkan yang buruk. Tapi kedua prinsip itu harus diiringi dengan kecakapan dalam memilah dan tepat dalam memilih ilmu supaya tidak terjebak kepada ilmu-ilmu yang salah; yang disangka membawa manfaat tapi justru malah merusak.
Langkah berikutnya adalah menyebarkannya. Entah lewat nasihat, diskusi, dan mengajar dengan berbagai media yang ada. Dengan disebarkan, ilmu semakin bertambah. Dengan mengajar, kita dituntut untuk mengulang apa yang pernah dipelajari dan menambah yang belum.
Sebab kata guru saya, “Kalau mau mengajar satu RT, ilmunya harus se-RW. Kalau mau mengajar satu RW, ilmunya harus se-Kelurahan.” Nabi pun pernah mengingatkan, siapa yang menyembunyikan ilmunya, akan ditali kekang dengan tali berlumur api neraka.
Cara kedua, dengan lisan yang selalu bertanya dan hati/akal yang selalu berpikir. Inilah jawaban yang diberikan Ibnu ‘Abbas ketika ditanya bagaimana cara memperoleh ilmu.
“Bertanya itu setengah ilmu,” ujar seorang ulama. “Malu bertanya, sesat di jalan,” tutur pribahasa. “Penuntut ilmu itu sering dijuluki ‘ma taquul’ (kalimat bahasa Arab yang sering digunakan untuk bertanya), karena saking banyaknya dari mereka yang selalu mendengungkan kalimat pertanyaan berupa ‘Ma taquul fi hadzihil mas’alah?” Tulis al-Zanuji dalam Ta’lim-nya.
Cukuplah itu semua menjadi dalil akan pentingnya bertanya. Tapi satu hal yang perlu diingat, jangan sampai semangat kita dalam bertanya harus mengikis dan meruntuhkan adab bertanya, layaknya pertanyaan Bani Israil kepada Nabi Musa dan pertanyaan Ibunda Sukmawati soal jasa sang proklamator dan Nabi Muhammad terhadap kemerdekaan Ibu Pertiwi
Syarat pertama memperoleh ilmu adalah “dzaka” atau kemauan memfungsikan akal dengan baik dan sungguh-sungguh, tegas Naashir al-Sunnah, Imam Syafi’i. “Siapa yang sedikit berpikir, makai akan banyak berbuat kesalahan,” tutur Leonardo Davincy.
“Berpikirlah sebelum bertindak” dan “Teman yang berakal lebih baik dari yang jaahil,” tegas mahfuzat. “MIKIR!” singgung Cak Lontong. Unsur utama yang membedakan antara manusia dan hewan adalah akal. Sehingga kewujudannya sebagai manusia akan dipertanyakan manakala unsur itu tak difungsikan dengan baik.
Setidaknya, cukuplah dua paragraf di atas menjadi penegas sekaligus dalil akan urgennya aktivitas berpikir. Tapi kalau ada yang masih bertanya juga untuk apa manusia berpikir, cukuplah dijawab dengan pertanyaan, “Untuk apa ikan berenang.” Ingatlah, aktivitas berpikir adalah cara terbaik untuk menghargai dan mensyukuri nikmat akal.
Kalau sudah, langkah selanjutnya adalah memikirkan apa yang hendak dipikirkan. Karena sebagaimana ulama berkata: “kemuliaan akal manusia tergantung pada apa yang dipikirkannya.”
Menurut murid setia Plato, Aristoteles, memikirkan keberpikiran manusia adalah hal yang paling mulia. Itulah mengapa ilmu logika (tentang teori dan hukum berpikir) lahir di tangannya. Dan aktivitas inilah tahapan yang lebih tinggi dalam menghargai dan mensyukuri nikmat akal.
Antara bertanya dan berfikir itu mempunyai korelasi yang nyata. Dimana pertanyaan tak akan dimunculkan tanpa adanya proses berpikir terlebih dahulu. Berpikir menunjukkan keseriusan dan fokus dalam belajar.
Sehingga muncullah kemampuan untuk memilah mana ilmu yang sudah dan belum dipahami. Dari situlah muncul pengetahuan tentang apa yang hendak ditanyakan. Namun permasalahannya ada pada kemauannya dalam bertanya. Tapi, ‘ala kulli hal, pertanyaan mesti didahului aktivitas berpikir. Jangan harap bisa bertanya kalau tidak pernah mikir!
Cara selanjutnya diungkapkan oleh seorang ahli ilmu ketika ditanya cara memperoleh ilmu: “Dengan orang tua kaya yang senang berbuat baik kepada orang-orang berilmu.” Bukan berarti yang tidak kaya tidak bisa.
Tapi yang mempunyai kelebihan harta, punya potensi lebih dalam hal itu. Meskipun ada juga dari mereka yang menggunakan kekayaannya untuk hal-hal buruk. Padahal sebaik-baik harta adalah yang paling bermanfaat, bukan banyak.
Poin pentingnya bukan di “kaya”nya, tapi di “berbuat baik”nya. Kalau setiap orang tua percaya akan konsep berkah guru, bagaimana pun kondisinya, ia akan sangat memuliakan guru-guru anaknya dengan kadar dan caranya masing-masing.
Imam al-Zarnuji pernah bilang: “Siapa yang ingin anaknya jadi berilmu, jagalah hubungan dengan para ulama, muliakan, agungkan dan berilah mereka apapun (yang bisa baik untuk diberi). Kalau nanti anaknya tidak berilmu, cucunya yang akan berilmu.”
Cara terakhir adalah dengan bersyukur usai memahami suatu ilmu. Hal ini diakui langsung oleh Imam Abu Hanifah: “Setiap kali aku diberikan taufik sehingga berhasil memahami fikih dan hikmah aku selalu berucap ‘Al-hamdulillah’. Lalu ilmuku pun bertambah.”
Syukur mesti berporos pada tiga tiang yang tanpa ketiganya syukur tidak berlaku. Pertama, menuturkan nikmat secara lahir melalui lisan. Hal ini pun terbagi menjadi dua jenis: Jenis pertama adalah Mengatakan “Al-hamdulillah” setiap kali mendapat nikmat. Itulah mengapa menurut al-Zarnuji, salah satu niat yang mesti dilantangkan oleh setiap penuntut ilmu selain ridha Allah, adalah mensyukuri nikmat akal.
Jenis kedua, adalah memperbanyak menyiarkan nikmat Allah. Hal ini sejalan dengan perintah Allah kepada Nabi Muhammad: “Dan terhadap nikmat Tuhan-Mu maka hendaklah kamu siarkan” (QS Al-Dhuha: 11).
Penyiaran itu tentu bukan untuk riya’ apalagi sombong, melainkan sebagai bentuk rasa syukur. Dan dengannya juga, diharapkan orang lain dapat mensyukuri nikmat yang telah diterimanya. Namun pada akhirnya, kedua jenis itu sama-sama mempertegas bahwa fungsi lisan dalam bersyukur adalah sebagai pujian manusia kepada Allah.
Poros kedua, Menerima dan mengakui nikmat secara batin melalui hati. Itu artinya, fungsi hati adalah untuk mempertegas setiap Muslim supaya betul-betul mengetahui dan memahami Allah sebagai sumber segala nikmat disertai rasa terima, ridha, ikhlas serta cinta terhadap nikmat yang Allah berikan kepadanya.
Jangan sampai ada perbedaan antara lisan dan hati; lisannya menuturkan “Al-hamdulillah” dan menyiarkan nikmat, tapi hatinya menolak dan terus ingkar, sebagaimana orang kaya yang masih haus jabatan.
Poros terakhir, menempatkan nikmat pada tempat yang sesuai dengan kehendak Allah atau menggunakan nikmat untuk ketaatan kepada Allah, baik dengan menjalankan perintah ataupun menjauhi larangan-Nya.
Mulai dari tangan yang senang memberi dan sukar menyakiti apalagi mencuri, mulut yang senang bercakap-cakap yang baik atau diam bukan menggunjing satu sama lain, kaki yang senang melangkah ke masjid dan majelis ilmu bukan ke diskotik, mata yang selalu melihat hal-hal yang Allah ridhai buka yang dimurkai, akal yang selalu dipakai menuntut ilmu bukan mewujudkan perbuatan licik, waktu dan umur yang selalu dipakai untuk hal-hal yang manfaat bukan yang tidak, harta tidak pernah lupa untuk disedekahkan baik di kala sempit maupun lapang bukan yang dipendam dan ditumpuk, sampai ilmu yang dibuat manfaat untuk dirinya dan orang lain bukan justru memberi kerusakan di mana-mana.
Poros ketiga inilah kunci bertambahnya ilmu. Ilmu ini milik Allah. Prinsipnya, semakin yang punya senang, semakin banyak diberikan. Hanya dengan menggunakan ilmu untuk taqwa-lah pemilik ilmu akan cinta dan mau memberikan ilmu lebih. Itulah mengapa Ia berfirman: “Wa ittaqullah, wa yu’allimukumullah.”
Empat cara di atas saya ambil dari kitab Ta’lim Muta’allim karya Imam Burhanuddin al-Zarnuji. Insyaallah dengan empat cara ini, penuntut ilmu tidak lagi pasif; sekadar datang ke tempat belajarnya dan menunggu disuapi ilmu oleh guru.
Tapi ia aktif mencari manfaat kapan, dimana dan kepada siapapun lalu menyebarluaskannya serta aktif bertanya dan berpikir. Ditambah lagi, ia mendapat bantuan pemahaman sebab keberkahan guru (karena kebaikannya dan kedua orang tuanya) dan rasa syukur yang tiada henti atas ilmu yang didapat.
************
Penulis: Fatih Madini
(Mahasiswa STID Mohammad Natsir, Penulis Buku dan Kontributor mujahiddakwah.com)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)