Kemarin (17/7/22), Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) dan Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah Mohammad Natsir (STID) menyelenggarakan acara bertajuk “114 Tahun Mohammad Natsir: Reaktualisasi Pemikiran & Perjuangan”. Mulai dari Ketua Umum DDII, Dr. Adian Husaini, keluarga Pak Natsir, para pakar, sampai mahasiswa STID ikut menyumbang pikiran dalam diskusi tersebut.
Salah satu yang disorot oleh Ustadz Adian adalah soal perjuangan Pak Natsir melawan Sekularisme, khususnya dalam sidang konstituante tahun 1957. Isi pidato tersebut tertulis dalam buku berjudul “Islam Sebagai Dasar Negara”. Menurutnya, buku kecil itu betul-betul mengorek habis kesesatan, kecacatan, bahkan kerugian sekularisme.
Pak Natsir mengawali pembahasan mengenai definisi sekularisme atau yang ia sebut sebagai “la diniyah” (tidak beragama). Singkatnya, sekularisme adalah suatu pandangan hidup yang meyakini segala aspek keduniaan tidak bisa bahkan mesti terputus dari segala hal yang melebihi batas keduniaan itu sendiri, entah akhirat, Tuhan, wahyu, doa, ibadah dan lain sebagainya. Semua hal yang bersifat metafisik itu tidak dianggap sebagai sumber kepercayaan apalagi ilmu.
Pengaruh sekularisme yang paling tampak ada dalam ranah nilai. “Ia menganggap bahwa percayaan dan nilai-nilai moral itu ditimbulkan oleh masyarakat se-mata-mata. Ia memandang bahwa nilai-nilai itu ditimbulkan oleh sejarah ataupun oleh bekas-bekas kehewanan manusia se-mata-mata, dan dipusatkan kepada kebahagiaan manusia dalam penghidupan sekarang ini belaka,” pungkas Pak Natsir.
Jadi salah satu ciri utama dari sekularisme adalah ketika nilai-nilai hidup atau etika dipisahkan dari ilmu pengetahuan. Entah itu ilmu hukum, sosial, budaya, ataupun sains.
Terlepasnya nilai-nilai hidup inilah yang membuat seseorang bebas melakukan apapun (entah itu baik atau buruk) dengan ilmu yang sudah dimilikinya. Sebab, pandangan sekularisme ini telah membentuk satu kerangka berpikir bahwa tujuan menuntut ilmu adalah untuk ilmu itu sendiri (science for the sake of science).
Kalaupun ilmu pengetahuan disertakan dengan nilai-nilai hidup, permasalahan berikutnya menurutnya, adalah nilai-nilai itu sudah dilepaskan dari wahyu Ilahi. Sumber nilai-nilai hanya bertumpu pada akal manusia dan kesepakatan satu masyarakat tertentu. Inilah pengaruh sekularisme yang paling berbahaya menurutnya
Beralih ke pembahasan berikutnya, menurut pelaku Mosi Integral itu, salah satu faktor terbesar seseorang menjadi sekular adalah pesatnya perkembangan industri. ia meresahkan mereka yang hidup dalam alam “industrialisme” yang umumnya meninggalkan atau menafikan agama, Tuhan, dan nilai-nilaiNya
Sebab, mereka hidup dalam suasana yang penuh dengan kepastian yang dipicu oleh kemajuan dan perkembangan sains yang begitu pesat. Mereka tidak perlu seperti manusia-manusia sebelumnya yang kehidupannya lebih condong ke arah agraria (pertanian), yang ketika membutuhkan hujan untuk menyuburkan tanamannya, harus memohon kepada suatu zat yang gaib (seperti dewa-dewa yang sifatnya supranatural) demi memenuhi kebutuhan tersebut. Ketika butuh listrik, mereka yang hidup di era industri, tinggal menekan knop saja. Ingin tenaga tambahan, cukup dengan mesin (seperti alat trasportasi). Bahkan ketika ingin perang pun, mereka bisa melakukannya dengan beragam teknologi militer tanpa perlu bantuan dari Tuhan.
Menurut Pak Natsir, fase industrialisme terjadi setelah melewati tiga fase sebelumnya. Pertama, fase kehidupan manusia yang sekadar hidup di dalam gua-gua, di bawah pohon-pohon.
Kehidupannya sekadar untuk mencari makan dengan berburu atau mencari ikan. Mungkin ia sudah religius, tapi yang ia sembah adalah petir (sebagai pemberi api ketika menyambar satu objek), sungai (sebagai pemberi ikan), bahkan batu (yang dianggap bisa memberi perlindungan).
Fase kedua, adalah ketika manusia hidup dengan berternak. Ia tetap religius, namun yang ia sembah adalah zat berupa binatang-binatang tersebut (sebagai pemberi “rezeki”). Fase ketiga, ketika manusia hidup di atas taraf pertanian. Ia semakin religius ketimbang manusia di dua fase sebelumnya.
Sebab, ia semakin sadar bahwa perubahan iklim-lah yang mempengaruhi pertumbuhan tanamannya. Sehingga yang mereka sembah bukan petir atau hujannya, melainkan zat gaib yang menurunkan hujan dan petir tersebut.
Barulah kemudian memasuki fase selanjutnya, yakni industrialisme. Fase yang secara garis besar bisa membuat seseorang menjadi sekular bahkan ateis.
Terlepas dari tiga fase religius itu, mantan Perdana Menteri dan Menteri Penerangan itu hanya mau menyayangkan sekaligus mengkritik mereka yang hidup di fase industrialisme namun melupakan bahkan menafikan kewujudan dan peran Tuhan.
Tentu solusi dari empat fase itu, adalah wahyu Allah, yang menurutnya bisa membebaskan manusia dari pengaruh-pengaruh yang bersifat temporer, bisa memancar ibarat mata air yang memancarkan al-iksir penawar hidup; dan bersifat abadi serta mampu membebaskan manusia dari kesesatan dan kejahilan akan Tuhan.
Namun, bukankah kita yang hidup di era industri ini lebih mengenal tentang agama dan Tuhan kita ketimbang mereka yang hidup di zaman dahulu dimana informasi sulit sekali untuk didapatkan? Lalu mengapa semua itu harus ditinggalkan hanya karena keberadaan sains dan teknologi yang begitu hebat?
Penting untuk diingat, mereka yang hidup di era industri ini dan melupakan Tuhannya (sekalipun mereka kenal), tidak lebih baik dari manusia-manusia religius yang sama sekali tidak mengenal siapa itu Allah, sehingga harus menjadikan zat-zat lain sebagai Tuhan; sehingga harus membuat imajinasi baru tentang kewujudan yang gaib dibalik alam semesta ini.
Sebab, keyakinan mereka akan adanya zat tersebut, menimbulkan rasa takut. Rasa takut itulah yang menuntun mereka untuk selalu bersikap baik kepada alam dan selalu menggunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat.
Sedangkan mereka yang tahu siapa itu Allah namun memilih untuk menjadi sekular, akan cenderung menjadi pribadi-pribadi yang senang mengeksploitasi alam karena haus akan materi dan kekuasaan.
Tokoh dakwah paling berpengaruh itu juga menyebutkan tentang kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh paham ini, yang bersumber pada satu hal, yakni tersingkirnya nilai-nilai agama yang manifestasinya adalah adab atau etika. Inilah dualisme: paham yang men-dikotomisasi atau memisahkan antara dua hal yang seharusnya tak terpisah.
Salah satu dampak terburuk yang pernah ditimbulkan oleh paham ini, adalah munculnya Nazisme. Mengutip seorang penyokong Nazisme yang kemudian membelot, Herman Rausching, Pak Natsir menulis bahwa faktor terpenting dari munculnya Nazisme bukanlah Hitler, melainkan adanya sikap tidak peduli dan tidak menghormati tuntutan-tuntutan adab dan menyampingkan ajaran agama.
Pendiri PENDIS itu pun pada akhirnya berkesimpulan bahwa agama lebih unggul dari sekularisme. Sebab sekularisme tidak bisa menyelesaikan pertentangan pikiran berkenaan dengan konsepsi masyarakat ataupun konsep kemanusiaan, yang pada hakikatnya merelatifkan semua pandangan hidup dan nilai. Lebih jauh murid A. Hassan itu mengatakan,
“Paham agama adalah sebaliknya. Ia memberikan dasar yang terlepas dari relativisme. Inilah sebabnya mengapa konsepsi, hummanity’ yang berdasarkan agama, lebih logis, lebih meliputi, dan lebih memuaskan. Paham agama memberikan dasar yang tetap, yang tidak berubah. Segala yang bergerak dan berubah harus mempunyai dasar yang tetap, harus mempunyai apa yang dinamakan point of reference, titik tempat memulangkan segala sesuatu. Jika tidak ada dasar, yang tetap maka niscaya crisis atau bencana akan timbul…. Pendeknya, di dalam segala lapangan hidup, pikiran, perasaan, tindakan dll, agama memberi pimpinan.”
Islam sudah sempurna dan nilainya pun universal. Tapi Islam tetap menghormati bahkan menerima nilai-nilai kemanusiaan yang bersumber dari akal dan kesepakatan suatu masyarakat. Dengan syarat, tidak bertentangan dengan Islam dan tetap menjadikan nilai-nilai agama atau wahyu sebagai pondasi dan pemandu nilai-nilai tersebut.
Kalau nilai-nilai kemanusiaan basisnya bukan wahyu dan hanya berkiblat pada akal manusia dan kesepakatan masyarakat, Nantinya nilai-nilai kemanusiaan tersebut menjadi relatif (tergantung subjek, kondisi dan tempat) sehingga bias dan ambigu, bebas sebebas-bebasnya dan tidak teratur bahkan liar. Ujung-ujungnya malah memperparah degradasi moral.
Maka bisa-bisa, bunuh diri, pernikahan beda agama, pernikahan sesama jenis, zina, menganggap semua agama sama, dan murtad, dianggap sah karena sesuai denga hak asasi manusia. Sebaliknya, mereka yang mengatakan hal yang berlawanan dari semua itu, dianggap tidak toleran, sombong, tidak menghargai perbedaan, senang berpecah belah, tidak membela dan menjunjung tinggi hak asasi setiap manusia.
Akhirnya, apa yang seharusnya salah dalam pandangan Islam, dibela mati-matian, dan apa yang seharusnya benar dalam pandangan Islam, disalahkan habis-habisan.
Itulah mengapa agama lebih unggul ketimbang sekularisme. Sebab, pada hakikatnya, akal manusia itu terbatas, sehingga memerlukan pemandu yang bernama wahyu. Dan satu-satunya agama yang bisa memberikan panduan paling lengkap melalui wahyunya hanyalah Islam.
Sebagai penutup pidatonya, Pak Natsir menghimbau:
“Maka, Saudara Ketua, dengan penuh tanggung jawab kami ingin mengajak bangsa kita, bangsa Indonesia yang kita cintai itu, untuk siap siaga menyelamatkan diri dan keturunannya dari arus sekularisme itu, dan mengajak dengan sungguh-sungguh supaya dengan hati yang teguh , merintis jalannya memberikan dasar hidup yang kukuh kuat sesuai dengan fitrah manusia, agar akal kita dan qalbunya, seimbang kecerdasan dengan akhlak budi pekertinya, yang hanya dapat dengan kembali kepada tuntunan ilahi.”
************
Penulis: Fatih Madini
(Mahasiswa STID Mohammad Natsir, Penulis Buku dan Kontributor mujahiddakwah.com)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)