KH Hasyim Asy’ari (berikutnya disebut KH Hasyim) adalah salah seorang ulama berpengaruh pada separuh pertama abad ke-20. Keulamaannya termasuk menandai generasi ulama yang hadir pada abad ke-20 yang sangat kuat corak kecendikiawanannya.
Corak kecendikiawanan ini dapat dilihat dari sekelumit interaksi para ulama yang menghadapi berbagai tantangan-dinamika permasalahan umat dan masyarakat yang menyangkut masalah aliran-aliran menyimpang, arus ideologi asing, sampai penjajahan.
Dalam sekelumit tantangan tersebut, KH Hasyim adalah salah satu ulama menonjol kiprahnya yang megarahkan penanya berhadap-hadapan dengan beberapa penyimpangan dan permasalahan yang membahayakan umat Islam. Tulisan ini sekedar bertujuan memberi kesan terhadap respons KH Hasyim tersebut. Kesan tersebut, menurut penulis perlu agar menilik latar belakang kondisi sosio-historis umat Islam yang menyejarah pada waktu itu.
Seperti yang telah kita ketahui, pada akhir abad ke-19, sebenarnya terjadi perubahan-perubahan penting yang sebenarnya dialami oleh kolonialisme Hindia-Belanda. Pengaruh perubahan itu sangat terasa bagi umat Islam di Hindia Belanda saat itu. Tetapi hal ini bukan sekedar dijadikan sebagai pijakan apalagi mengadopsi perubahan-perubahan yang terjadi dari bangsa-bangsa Barat tersebut.
Bagi segolongan umat Islam yang serius merespons penjajahan, menganggap perubahan-perubahan, bahkan sejak kolonialisme itu sendiri, sebagai tantangan yang menyerang sendi-sendi pokok peradaban umat Islam: bukan sekedar persoalan politik dan ekonomi.
Terutama kalangan ulama saat itu, sepanjang abad ke-19 kita dapat melacak perlawanan-perlawanan yang digerakkan oleh ulama, kyai, haji, pemimpin tarekat, atau kalangan santri. Perlawanan-perlawanan itu seringkali bersifat parsial, fragmentatif, bahkan tidak tersatukan dengan kesamaan pandangan antara satu pemimpin dengan pemimpin yang lain.
Bahkan seorang sejarawan mengomentari pergolakan-pergolakan itu dengan nada yang pesimis. Pergolakan itu seringkali hanya dilihat dari aspek jimat, utopia Ratu Adil, atau mileniari.
Seusai Perang Jawa di tahun 1830, pax nederlandica terwujud di Jawa. Jawa diupayakan menjadi negeri yang sangat produktif dalam menciptakan kekayaan tanaman industri bagi kepentingan kapitalisme Eropa. Kemungkinan ini membuat Jawa masuk ke dalam rancangan kolonial yang berbunyi: how to manage a colony for money.
Upaya kapitalisasi Jawa ini tentu tidak dapat dilakukan tanpa kerja-kerja kebudayaan. Studi kebudayaan yang dilakukan oleh kolonialisme Belanda ini sering disebut sebagai satu-satunya kekuatan Belanda dalam memperkuat kekuasaan kolonialnya.
Perdebatan kaum kolonial tidak banyak membawa perbaikan bagi bumiputera. Perdebatan itu hanya berkisar menyangkut masalah apakah sebuah koloni harus terus diperas tanpa diberikan kesejahterahan, atau kesejahterahan yang akan diberikan itu justru membuat kaum penjajah dapat secara maksimal memeras kekayaan bumiputera.
Di tengah-tengah keterpurukan abad ke-19 itu, tradisi pesantren yang pernah menjadi fenomena perkotaan, melihat tantangannya. Dalam situasi perubahan, pesantren biasanya melakukan strategi uzlah dan ishlah masyarakat.
Hemat saya pribadi, berdasarkan pada beberapa rujukan mengenai kebangkitan ulama pada abad ke-20, terdapat lima faktor yang menyebabkan kebangkitan tersebut. Faktor-faktor tersebut telah dimulai pada akhir abad ke-19 secara berkesinambungan dimulai sebelumnya. Tetapi, di sini saya akan menyebutkan dua saja.
Pertama, tradisi pesantren. Seperti yang telah disebutkan bahwa tradisi ini tetap terjaga dan dipertahankan. Tradisi ini membuat para ulama memiliki basis dan mileu keagamaan yang kuat dalam merumuskan strategi perbaikannya. Hanya saja, tradisi ini mengalami perubahan seusai pesantren kini tidak lagi secara langsung terkait dengan pusat-pusat kekuasaan.
Meski demikian, keterputusan ini membuat pesantren menjadi lebih merdeka dan, akan segera kita lihat nanti, dapat mengembalikan elemen keilmuan atau intelektual dalam menghadapi tantangan kehidupan, penjajahan, dan pemikiran.
Kedua, haji dan keterpautan intelektual masyarakat Nusantara dengan Haramayn. Hal ini dapatlah dimengerti, sehubungan dengan menguatnya keterkaitan tersebut bukan lagi dari ikatan politik semata, tetapi perkembangan intelektual yang membawa perubahan baru dan wujud perlawanan baru pada nantinya di Nusantara: perlawanan intelektual.
Pada dua sebab itulah, saya meihat bahwa telah muncul generasi baru perlawanan kolonial, yang dimulai dari reaktualisasi masyarakat Muslim dan pesantren. Kepeloporan generasi ini tentu saja diwujudkan dengan kehadiran Syaikh Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi al-Bantani.
Singkatnya, melalui kepeloporan dan kepemimpinan intelektualnya, telah lahir generasi ulama-ulama seperti Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syaikh Mahfuzh at-Tarmasi, dan Syaikh Zainuddin Sumbawa. Ketiganya juga melahirkan generasi selanjutnya, sampai kita bertemu dengan seorang alim yang menjadi puncak perwujudan generasi gemilang ulama ini: KH Hasyim Asy’ari.
Itulah mengapa guru kami, Ustadz Kholili Hasib, mengatakan, meskipun KH Hasyim Asy’ari juga aktif dalam politik, tetapi keteguhannya dalam memperbaiki umat melalui ishlah dan tradisi keilmuan adalah titik penting yang patut kita tandai dalam sejarah Indonesia. Di masa penjajahan inilah, KH Hasyim Asy’ari menjadi salah satu ulama yang berperan penting dalam menciptakan kondisi kebangkitan bangsa.
Dalam hal dinamika pemikiran, akhirnya dapat kita pahami KH Hasyim Asy’ari menghadapinya untuk memurnikan identitas dan pemikiran umat/masyarakat Islam agar tetap bersama-sama berjalan pada jalur keilmuan dan perjuangan yang tepat.
Oleh karenanya, meskipun kemudian berbenturan dengan beberapa kelompok umat Islam (yang memiliki pikiran berbeda dalam tradisi perjuangan dan keilmuan), KH Hasyim Asy’ari mereaktualisasi berbagai sumber daya umat yang ada, seperti persatuan dan ukhuwah Islamiyah, tradisi dan lembaga pendidikan, dan bangunan besar aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah.
Sebagaimana yang juga dijelaskan Ustadz Kholili pada kuliah kedua “Pemikiran KH Hasyim Asy’ari”, kritik, respons, dan juga risalah-nasihat adalah gaya perjuangan KH Hasyim Asy’ari, selain juga kiprahnya dalam wujud dalam perjuangan fisik.
Oleh karenanya, gaya perjuangan ini memperlihatkan betul rumusan intelektual yang lebih mengakar, melibatkan diri pada ishlah, dan memberi kesempatan seluas-luasnya bagi para ulama untuk membangun kembali umat Islam yang dicabik-cabik oleh kolonialisme. Demikian.
***********
Sumber: Pristac Depok
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)