Berbicara merupakan suatu kegiatan berbahasa lisan yang dilakukan oleh manusia, kegiatan yang amat mudah dan ringan dilakukan. Siapapun bisa berbicara sesuai dengan kemampuannya, bahkan berbicara pun termasuk dari rangkaian untuk menjalin komunikasi antar tiap individu sehingga timbul interaksi satu sama lain.
Akan tetapi karena berbicara itu mudah, dari situ lah ada hal yang amat disayangkan diantaranya ialah tidak jarang orang berbicara sembarang tanpa dipikirkan terlebih dahulu, sehingga mudah untuk mengadudomba, membicarakan keburukan orang lain, memfitnah, dan perbuatan tercela lainnya. Atas penyelewengan lisan tersebut, alhasil hanya membawa dampak buruk seperti menimbulkan pertikaian, pertengkaran, permusuhan dan kemudharatan.
Padahal dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari, Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wassalam bersabda “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” Pada hadits ini Rasul sudah memberikan pelajaran dan peringatan kepada umat-Nya terutama umat Islam bahwa keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya dalam menjaga lisan.
Tentunya umat Islam meyakini bahwa segala bentuk perbuatan maupun perkataan selama di dunia tidak akan luput dari pengawasan Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala. Segala apa yang keluar dari lisan ini juga mengandung pertanggungjawaban. Sebagaimana dalam firman-Nya di QS. Qaf ayat 18 yang artinya “ Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat). Tidak ada suatu kata yang diucapkannya, yang mengandung kebaikan maupun kejahatan, melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap mencatat dengan sangat teliti.”
Singkat ataupun padatnya, tetap akan menghadirkan sebuah dampak, dan baik buruknya dampat tersebut tergantung atas segala apa yang keluar dari lisan kita. Pada jaman sekarang terlebih adanya sosial media yang dapat di akses oleh kalangan mana pun. Sehingga untuk berkomunikasi tidak hanya lisan saja yang mampu berbicara, jari jemari pun juga bisa ‘berbicara’.
Demikian itu, pilihannya sebagaimana apa yang Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wassalam berpesan ialah berkata baik atau diam. Ketika kita sadar bahwa kita masih lengah dalam menjaga lisan untuk berkata-kata baik, maka ‘diam’ menjadi sebuah pilihan terakhirnya. Apabila ketika kita sudah mampu untuk menjaga lisan tersebut, maka selanjutnya ialah terus menjaganya dengan keindahan.
Sebab apabila kita menjaga keindahan lisan, ada manfaat yang akan didapatkan, diantaranya; Pertama, menjadikan kita sebagai seorang Muslim yang berkedudukan tinggi di padangan Allah Subhanahu Wa Ta’Ala, dengan menjaga keindahan lisan kita pun akan terhindar dari perkataan-perkataan buruk yang bisa berujung pada dosa.
Kedua, seseorang yang lebih banyak diam, sebab ia tak suka banyak berbicara pada hal yang mengandung kesia-siaan, dan ia hanya berbicara apabila hal yang dibicarakan adalah hal yang mengandung kebaikan dan ada manfaatnya, maka keimanannya pun terjaga. Ketiga, menjaga keindahan lisan dapat menghindari kita dari penyakit hati. Keempat, menjaga lisan dengan cara memperbanyak dzikrullah (mengingat Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala). Kelima, menghindari potensi munculnya pertikaian, permusuhan dan hal mudharat lainnya.
Pada intinya, jangan lah kita menyepelekan atas kemudahan lisan kita dalam berbicara. Allah Subhanahu Wa Ta ‘Ala menitipkan Amanah berupa lisan ini untuk dipergunakkan dengan sebaik mungkin yakni dengan berkata yang baik, berkata yang mengandung manfaat, bukan sebaliknya. Sudah seharusnya pula seorang Muslim pun memperhatikan dan menjaga akhlaknya, dan mempunyai keindahan dalam perangai termasuk mencerminkan akhlak seorang Muslim yang baik.
Secercah Cahaya dalam Gua
Sebagai manusia biasa yang menjalani kehidupan didunia yang tidak terlepas dari khilaf dan kesalahan, entah dalam tindakan maupun perkataannya. Selain menjadi sebuah ujian bagi yang lain, dalam hal ini peran dari orang lain pun sangat dibutuhkan, terutama peran dalam mengingatkan di saat salah, meluruskan segala kekeliruan arah hingga mengajak pada kebaikan dan kebenaran.
Sebab setiap sendi dalam agama Islam merupakan nasihat, sebagaimana dalam Hadits Riwayat Muslim No. 55 dari Tamim Ad Dariy radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda; “”Agama adalah nasehat”. Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?”. Beliau menjawab: “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan umat muslim seluruhnya”.” Oleh karenanya, menasihati dan dinasihati sudah menjadi tugas bagi setiap umat Islam.
Nasihat juga merupakan wujud dari saling mencintai dan rasa peduli, dalam menasihati pun perlu dilakukan dengan cara yang lemah lembut. Agar pesan-pesan yang kita sampaikan dapat diterima orang yang dinasihati. Salah satu caranya ialah sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Musa a.s dengan Nabi Harun a.s saat menasihati Fir’aun, Allah SWT memerintahkan dalam QS. Thaha ayat 44;
Artinya: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”.
Dalam ayat ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa, pada saat menasihati seseorang tentunya kita akan dipertemukan oleh beragam sifat dan karakternya. Apapun itu, serangkaian kegiatan dakwah, termasuk halnya menasihati haruslah dengan cara yang lemah lembut.
Mengapa? menurut tafsiran dari al-Zuhaili bahwa jika orang seperti Fir’aun saja yang angkuh dan sombong, Nabi Musa a.s yang menjadi pilihan-Nya Allah SWT masih diperintahkan berkata yang lembut dan santun, apalagi untuk mendakwahi selainnya yang tidak lebih dari Fir’aun.
Penerimaan atau penolakan tentunya dua pilihan tersebut yang harus siap kita hadapi. Saat nasihat diterima oleh orang tersebut, tidak menjadikan kita berbesar hati. Sebab bagaimana pun juga ada taufik dari Allah SWT, sehingga ia mampu untuk menerima nasihat tersebut. Namun, apabila kebalikannya yakni nasihat kita ditolak, tidak menjadikan kita berkecil hati dan menyerah. Serta tidak luput untuk mendoakannya agar kelak ia mampu menerima.
Selain itu, bagi seseorang yang menerima nasihat, memang betul terkadang dalam menerima sebuah nasihat dari orang lain teramat berat, terlebih apabila nasihat tersebut bertolak belakang dengan ekspetasi atau harapannya. Itulah kelemahan sifat-sifat manusiawi, dan apa yang menyebabkan diri merasa berat saat menerima nasihat orang lain? untuk hal itu hanya dirinya lah yang mampu mengoreksi. Namun yang jelas sikap orang yang beriman adalah ia sangat lapang dada dan siap untuk menerima nasihat-nasihat.
Pada intinya, ketika kita berada disebuah Gua yang penuh kegelapan namun Allah SWT hadirkan secercah cahaya jalan keluar. Maka tugas kita adalah segera mencari dan mengejar mentari, agar mampu keluar dari kegelapan tersebut. Begitupula ketika menerima sebuah nasihat berharga, sebab nasihat datang diwaktu yang tepat, maka kita harus sambut dengan cepat.
***********
Penulis: Citra Cantika Salma Sugiarto
(Pengurus FMDKI, TIM FMDKI News dan Alumni Kelas Jurnalistik dan Media Daar Al-Qalam)
Demikian Semoga Bermamfaat…
@Wallahu ‘alam bishowab…
Artikel: www.mujahiddakwah.com (Menebar Dakwah dengan Al-Qur’an dan Sunnah)